Memang di dalam Islam terdapat hak dan kewajiban –sebagaimana agama-agama lain dan berbagai komunitas apapun- dimana setiap kewajiban memiliki arti tanggungjawab yang harus dipikul, tapi kewajiban bukan berarti pemaksaan kehendak yang berakhir pada penjerumusan kepada jurang kesulitan karena tidak ada konsekwensi diantara dua hal tersebut, Allah (swt) berfirman:”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”
———————————————————————–
Islam dan Konsep Sahlah
Oleh: Muchtar Luthfi
Suatu saat datang seorang lelaki kepada Imam Ja’far as-Shodiq (as)[1], lantas lelaki tersebut bercerita kepada beliau bahwa ia memiliki teman (sebut saja Sipolan) berhasil mengislamkan seseorang. Setelah orang tersebut masuk Islam lantas ia bertanya kepada Sipolan tentang tugasnya sebagai orang yang baru masuk Islam (baca;muallaf). Kemudian Sipolan mengajaknya ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat Zuhur. Selepas sholat muallaf tadi mohon diri untuk pulang. Akan tetapi Sipolan melarangnya dengan alasan waktu sholat Asar segera tiba. Oleh karena itu sambil menanti tibanya waktu sholat Asar ia mengajak muallaf tadi untuk membaca wirid dan zikir. Dengan dalih karena membacanya ditekankan oleh Islam dan mengandung pahala yang besar maka muallaf tadi pun mengikuti ucapannya dan menahan diri di masjid. Setelah selesai menjalankan sholat Asar, kembali muallaf tadi mohon diri, akan tetapi lagi-lagi Sipolan menghalanginya dengan alasan yang sama. Begitu pula seusai sholat Maghrib –karena jarak antara Maghrib dan Isya sangat berdekatan- setelah tuntas manunaikan sholat Isya muallaf tadi minta izin dan pulang kerumahnya. Menjelang dini hari Sipolan datang kerumah Simuallaf dan membangunkannya dari tidur lantas mengajaknya ke masjid untuk melakukan sholat malam dengan dalih yang sangat ditekankan oleh Islam, lantas Simuallaf pun mengiyakan dan beranjak menuju masjid untuk melakukan sholat malam. Setelah selesai ia hendak pulang kerumahnya tapi kembali dicegah oleh Sipolan dengan alasan waktu sholat Subuh sudah hampir tiba, kembali Simuallaf –dengan agak terpaksa- menyetujui ajakan Sipolan. Setelah selesai sholat Subuh Simuallaf pulang kerumahnya.
Menjelang Zuhur hari kedua sejak memeluk agama Islam kembali Sipolan datang kerumah Simuallaf untuk mengajaknya sholat di masjid tapi kali ini Simuallaf tadi menolak dan berkata: “Jika itu adalah ajaran agamamu yang tidak memiliki rasa belas-kasih pada pengikutnya maka kunyatakan bahwa sejak saat ini aku keluar dari Islam dan kembali keagamaku semula karena kamu pasti tahu aku memiliki tanggungan keluarga dan kemampuan fisikku juga terbatas, jika aku teruskan untuk memasuki agamamu niscaya akan porak-porandalah kehidupanku”. Mendengar cerita tersebut dengan muka memerah tanda marah dan suara lantang beliau berkata: “Beritahukan pada temanmu tadi bahwa ia bakal menjadi penghuni Neraka karena walaupun ia berhasil memasukkan seseorang kedalam Islam tapi pahala hal itu terhapus dengan dosa besarnya yang telah memurtadkan seseorang dari Islam”.
Untuk melengkapi makalah ringkas ini marilah kita perbandingkan kisah diatas dengan kisah lain yang terjadi pada seorang alim besar diakhir abad duapuluh ini, alkisah Sayyid Burujurdi (ra) didatangi seorang yang baru mengikrarkan kalimat syahadatain yang berarti tanda keislamannya. Lalu Simuallaf tadi datang kepada beliau dan bertanya; “Apa yang harus kulakukan wahai orang alim?”. Beliau menjawab; “Selama seminggu ini lakukanlah sholat Zuhur saja!” Lantas seminggu kemudian Simuallaf datang lagi dan bertanya seperti pertanyaan semula. Sebelum Sialim menjawab pertanyaan itu beliau terlebih dahulu bertanya; “Adakah saranku telah engkau kerjakan?” Simuallaf menjawab;”ya”. Kemudian beliau mengatakan;”Tambahkan sholat Asar setelah Zuhur selama seminggu ini!” Lantas Simuallaf pulang dan seminggu kemudian ia datang lagi dan bertanya seperti pertanyaan dahulu dan ternyata Sialimpun menjawab seperti jawaban semula dengan menambah Maghrib lantas Isya kemuadian Subuh secara bertahap dan amalan-amalan wajib lainnya sambil mengajari tatacara pelaksanaannya.
Cara yang ditempuh Sialim tadi membikin bingung banyak orang –yang tergolong masih awam- dan akhirnya setelah sialim mendengar ucapan-ucapan yang tertuju padanya lantas beliau berkata;”Aku lebih tahu apa yang harus kuperbuat terhadap Simuallaf tersebut dan aku yang bertanggung jawab dihadapan Allah (swt)”. Ternyata benar, setelah satu tahun berlalu Simuallaf tadi menjadi sosok muslim yang taat dan yang mengalahkan kebanyakan kaum muslimin yang Islamnya sejak kecil.
Dari dua contoh cerita nyata diatas dapat dapat diambil beberapa pelajaran antara lain: Pertama terdapat perbedaan begitu jauh prilaku orang awam atas agama dengan seorang yang berilmu. Al-Quran sendiri menyatakan: “…Adakah sama antara orang yang mengetahui (alim) dengan orang yang tidak mengetahui (awam)?”.(QS: Az-Zumaar;9). Sebagian orang yang berpengetahuan agamapun bisa dikategorikan awam jika tidak bijaksana, karena Islam agama yang bijak maka ulamanya pun harus bijak. Dalam istilah Quran ulama bukanlah pengetahuan ilmu agama sebagai tolak ukurnya tapi kadar ketakutan mereka terhadap Allah yang disebut ulama (“…sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah ulama…”( QS: Faathir;28).
Akhirnya sering kita dapati berapa banyak orang yang bertindak dengan mengatasnamakan Islam tapi pada hakekatnya –disadari atau tidak- ia telah mencoreng martabat Islam itu sendiri dikarenakan kebodohannya atas ajaran agama Islam yang dianutnya selama ini. Oleh karenanya Imam Ali (as) bersabda dalam sebuah mutiara hikmahnya dengan ucapan: “Jika orang awam (jahil) tidak turut campurtangan –dalam berbagai masalah- maka pasti banyak perbedaan pendapat yang ada bisa diredam”.
Kedua, Islam sangat menjunjung tinggi kemudahan dan menolak segala kesulitan tapi dikarenakan –sebagaimana yang telah disinggung- ketidaktahuan sebagian kaum muslimin akhirnya mereka sendiri yang menyulitkan diri sendiri yang berarti juga menzalimi diri sendiri, bukankah Allah (swt) telah berfirman: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”(QS: Al-Baqarah;185). Di ayat yang lain Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri”(QS: Yunus;44)
Memang di dalam Islam terdapat hak dan kewajiban –sebagaimana agama-agama lain dan berbagai komunitas apapun- dimana setiap kewajiban memiliki arti tanggungjawab yang harus dipikul, tapi kewajiban bukan berarti pemaksaan kehendak yang berakhir pada penjerumusan kepada jurang kesulitan karena tidak ada konsekwensi diantara dua hal tersebut, Allah (swt) berfirman:”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya….”(QS: Al-Baqarah;286). “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”(QS: Alam Nasyrah;5/6)
Bukankah dalam Islam zakat atau haji diwajibkan bagi yang mampu dan bukan terus harus dipaksakan untuk menunaikannya walau dengan hutang seperti yang dilakukan sebagian muslim. Sholat jika tidaak mampu berdiri boleh dengan duduk, tidak bisa duduk bisa dengan rebahan. Singkat kata –dengan analoginya- mustahil Islam mewajibkan anak lima tahun atau orang sakit akut untuk memikul beban yang mereka tidak layak untuk memikulnya karena kalau itu terjadi maka hal tersebut merupakan satu bentuk kezaliman, sedangkan Islam menolak segala macam bentuk kezaliman.
Pemahaman diatas lantas bukan berarti kita dengan seenaknya bisa meremehkan kewajiban yang harus kita pikul, karena memberatkan maupun meremehkan sehubungan dengan kewajiban apapun –negara, agama maupun hal lain- merupakan dua garis ekstrim yang bertentangan dengan rasio maupun ajaran Islam. Akan tetapi Islam -dengan berbagai argumen yang ada- justru mengajarkan untk mengembalikannya pada garis netral yang natural dan sehat yang bisa dicerna oleh akal sehat.
Ketiga, Islam dalam banyak ajarannya selalu menekankan jalan tengah (lepas dari dua garis ekstrim) termasuk dalam memahami Al-Quran juga hadis. Otoritas memahami al-Quran yang sebagai sumber utama ajaran Islam bukan hanya didominasi oleh kaum elit agamawan saja sebagaimana umat Katolik sehingga cenderung dogmatis dan tidak bisa diganggu gugat, juga tidak membiarkannya setiap orang bisa begitu saja mengutak-atik kitab suci dan menafsirkan semaunya sebagaimana kaum Protestan sehingga jika ada sepuluh orang maka bisa ada sepuluh penafsiran.
Islam menyatakan bahwa memang kemampuan memahami tafsir al-Quran secara mendalam ada pada ulama, tetapi hal itu bukan berarti kaum awam dilarang untuk memahami maksud beberapa ayat Quran yang sudah jelas maknanya (muhkamaat) –karena ayat ada yang muhkamaat ada juga yang samar (mutasyabihat)- walaupun yang mutasyabihaat hanya orang multi khusus –bukan sembarang ulama- saja yang bisa memahami dan punya otoritas menjelaskannya. Sehingga dalam bagian ayat-ayat seperti itu saja semua orang harus merujuk pendapat mereka, dan ini merupakan hal yang wajar, bukankah seorang yang awam tentang kesehatan jika sakit harus merujuk kepada dokter? Dan bukankah tidak ada larangan dalam penyakit biasa pasien mencoba mengobati diri sendiri dengan membeli obat bebas tanpa resep dokter? Kecuali dalam penyakit-penyakit jenis kronis ia harus merujuk pendapat dokter spesialis karena jika tidak ia akan terjerumus pada kehancuran, Allah berfirman dalam surat Ali Imran ayat ke-7: ” …diantara isinya (Quran) ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al-Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihaat, adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-caru takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya…”
Jika dikatakan bahwa hanya ulama saja yang punya otoritas memahami al-Quran -walaupun yang muhkamaat- jelas pendapat ini bertentangan dengan al-Quran sediri. Bukankah dalam al-Quran sendiri disebutkan bahwa Quran sebagai petunjuk bagi manusia “…Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia”(QS: Al-Baqarah;185). Bukankah manusia mencakup alim dan awam? Apakah mungkin kita tidak dapat memahami bahwa sholat, puasa, zakat, haji dan lainnya diwajibkan oleh al-Quran? Jelas jawabannya, kitapun dengan bekal terjemahan Quran bisa memahaminya walaupun sangat global. Adapun detailnya harus merujuk para ulama.
Keempat, Pembahasan tentang kemudian juga berlaku dalam pelaksanaan syariat Islam seperti yang telah kita singgung, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa hukum syariat mencakup: Mubah/halal (boleh dilakukan ataupun ditinggal), Wajib (harus dilakukan dan dosa jika ditinggal), Haram (kebalikan wajib), Sunnah (jika mengerjakannya dapat pahala dan tidak dosa jika ditinggalkan), dan Makruh (kebalikan sunnah).
Kelima hukum diatas merupakan hukum asli dalam syariat yang obyek-obyeknya sudah ditentukan dalam hukum fiqih (Islamic laws). Akan tetapi dalam Islam ada suatu kaidah yang disepakati oleh ulama mazhab, bahwa Islam menentang kesulitan. Kaidah itu biasa disebut dengan “penafian akan bahaya dan kesulitan” (Qoidah nafyu ad-dharar wal haraj), yang mana obyek yang wajib bisa jadi haram seperti berkata jujur yang wajib menjadi haram jika membahayakan jiwa orang yang tidak berdosa. Apakah jika ada seorang nabi umpamanya dikejar-kejar oleh orang zalim untuk dibunuh lantas nabi tadi bersembunyi di rumah kita dan sewaktu orang zalim tadi tanya kepada kita akan keberadaan nabi tadi apakah kita akan berkata jujur kepada orang zalim yang mengakibatkan terbunuhnya seorang nabi? Apakah berkata jujur lebih baik atau menyelamatkan nyawa nabi dengan berbohong? Ataukah haram jadi wajib, haram jadi halal, sunnah jadi wajib, yang semuanya itu biasa disebut dengan hukum yang bersifat kondisional dan eksidental? Orang biasa menyebutnya situasi darurat. Hal itulah yang menunjukkan bahwa syariat Islam sangat fleksibel dan tidak kaku sebagaimana yang digambarkan oleh sebagian oknum.
Kesimpulan dari pembahasan kita kali ini adalah Islam adalah agama fleksibel dan mudah serta menjunjung tinggi kemudahan, dalam beberapa permasalahan penentuan kemudahan ada pada ulama akan tetapi dalam banyak hal otoritas pemraktekannya ada pada diri kita masing-masing. Karena hukum kondisional hanya pemilik kondisi yang tahu keadaan dirinya bukan para ulama. Oleh karena itu para ulama sendiri menyatakan bahwa banyak dari hukum kondisional penentuan akan penerapannya ada pada pelaku. Misalnya saya lebih tahu kondisi saya tentang apakah saya mampu sholat sambil berdiri atau tidak? Dan para ulama sepakat bahwa hukum asli akan berubah menjadi hukum eksidentil jika berakibat membahayakan jiwa kita, jiwa keluarga dan sesama muslim juga membahayakan harta benda kita. Akan tetapi terkadang nafsu, setan dan musuh-musuh Islam yang selalu mempropagandakan pada kita tentang bahwa Islam adalah agama yang sulit, memberatkan, ruwet, repot, tidak memberi kebebasan dan sebagainya. Segala propaganda semacam itu bisa kita tangkis dan kita hadapi hanya dengan kekuatan iman dan membekali diri dengan keilmuan tentang Islam. Jika itu tidak kita lakukan niscaya –disadari atau tidak-kita akan menjadi musuh agama kita sendiri.
Sekali lagi tulisan yang bagus dan mencerahkan.
Saya salut dengan uraian-uraian anda dalam medeskripsikan ajaran Islam dalam konteks kepraktisannya.
Setelah tulisan anda tentang ma’rifat dan sekarang konsep sahlah kembali mengajak saya untuk merenung, betapa mudah dan indahnya Islam sebenarnya.
Terima kasih untuk artikelnya…
Islam itu ditengah-tengah.
Assalamu’alaika ya Rasullalah…
Assalamu’alaika ya Amirul Mukminin…
Assalamu’alaiki ya Fatimah…..
Sangat bagus uraiannya, logis dan mudah dicerna. Semakin menguatkan saya akan kebenaran Islam. Saya Muslim yg non Syiah namun bersimpati akan konsep2 Syiah. Semoga perbedaan yang ada dalam intern Islam bukan merupakan perbedaan yg harus dipertentangkan jika memang sulit untuk disamakan pendapatnya. Terimakasih