Ada khalifah-khalifah yang iba, ada baduwi-baduwi yang rakus, ada pula khalifah-baduwi yang rakus dengan cara tampil iba dan alim. Begitu menjijikkan, hingga Ali bin Abi Thalib menaksir harga mereka tak lebih dari ‘afthatu ‘anzin (tetesan ingus onta). Sekedar tidak dijijikkan orang, Ali menganjurkan kita jadi anak onta saja, la dhohrin fa yurkab wa la labanin fayuhlab (yang punggungnya tidak siap untuk ditunggangi, tidak juga susunya untuk diperahi). Cara terkecil yang paling mudah dijalani untuk itu ialah mempertahankan kesadaran akan rasa jijik terhadap segala perilaku politik busuk tetap hidup dalam jiwa.
—————————————————————-
Politik Hanibebal
Oleh: Ammar Fauzi Heryadi
Seorang anak menceritakan dongeng serigala dan kambing kepada ayahnya. Segera setelah si anak menamatkan cerita, sang ayah tangkas menyimpulkan, “Terang aja, coba kambing itu nggak nakal, pasti nggak bakalan dimakan serigala.” “Memangnya kenapa?” debat si anak, “Kalaupun kambing itu nggak dimakan serigala, kan kita juga yang makan, Pak!”Ada kemiripan antara manusia dengan serigala; sama-sama makan kambing untuk bertahan hidup. Kemiripan ini tidak membuat keduanya bersahabat. Hukum Et similia tam falicia tidak berlaku pada mereka. Tidak sekali serigala makan manusia. Apakah juga sebaliknya; manusia makan serigala? Entahlah. Tapi kalau ditanya, Apakah manusia memakan sesamanya? Barangkali perlu kita renungkan.
Ada empat modus bagaimana manusia bisa memakan sesamanya. Pertama, korban dihabisi dulu nyawanya lalu dihidangkan atau disantap langsung. Kedua, korban dibiarkan hidup, didudukkan sambil menyaksikan sendiri batok kepalanya dikikir sebelum otaknya diiris dan digoreng seperti dalam Hannibal. Ada kesamaan dalam dua modus ini, bahwa agar benar-benar nyaman disantap, korban harus dipastikan diam. Sudah banyak yang ragu terhadap dua modus ini, apakah masih berlangsung atau tidak. Modus ketiga, korban dibunuh lalu dirogoh mata, hati, ginjal dan organ lain yang disekitarnya untuk disimpan awet. Modus ini baru saja dan masih berlangsung di Irak. Dokter-dokter militer Amerika di sana membayar 40 USD untuk satu bola mata yang dicongkel dari kelopak korban sipil yang tak berdosa, untuk kemudian “diselamatkan”. Modus keempat, korban tidak diapa-apakan, malah dipelihara agar tetap hidup, diberdirikan untuk diperas dan ditunggangi. Misalnya, rakyat Irak harus dikorbankan agar bisa diperas minyaknya dan ditunggangi pemerintahannya, lagi-lagi oleh Amerika. Suasana korban dijaga ‘stabil’ sebagai pembenaran akan kehadiran kekuatan asing di kawasan.
Jenis korban keempat ini pun harus dipastikan diam. Kalau Amerika secara vulgar melakukannya dengan teror nyawa, politisi busuk melakukan hal yang sama dengan kebulusan, sedemikian rupa sampai korban mau bungkam, tidak ugal-ugalan, melongo ke depan persis sapi perah. Sigmund Burke mengatakan: “Persyaratan utama bagi kekuasaan jahat untuk berkuasa hanyalah bahwa orang baik-baik tidak berbuat apa-apa”. Seperti kata si bapak dalam cerita di atas, rakyat yang tidak nakal tentu tidak akan dimakan manusia serigala.
Ada kondisi lain yang biasa dijalani sapi perah supaya tetap anteng dan tidak nakal, ia disuguhi sekeranjang rumput. Marcheavelli bilang, politisi akan berhasil bila tampil alim, santun memberi tunai atau fasilitas untuk mendidik rakyat jadi “soleh”, mengajarkan politic spiritualisation, dan diskusi dengan membisikkan keuntungan melalui gumbling yang diusahakan sebagai nilai yang tidak perlu lagi dirahasiakan. Sadar atau tidak, mendidik dengan cara kontrak dan untung rugi demikian itu hanyalah membuat keawaman rakyat ditindih pembodohan dan pembebalan. Oleh karenanya, jiwa-jiwa yang tidak nakal itu lebih merupakan hasil menonjol pendidikan yang membebali. Dan, partisipasi politik mereka terlalu memalukan untuk disebut-sebut sebagai indikator kesadaran demokratis bangsa, apalagi untuk dibanding-unggulkan dengan kesadaran politis bangsa lain.
Terserah jadi elite atau rakyat, merestui hidup politik dalam takaran kontrak dan untung rugi itu sama artinya menggalang tim sukses pembodohan di balik pendidikan politik nasional yang terprogram. Gambaran kita yang sudi diam di dalamnya seperti Khalifah atau si Baduwi yang sedang menyantap anak domba panggang. Badui itu duduk dan makan dengan rakus. Khalifah berkata kepadanya, ”Alangkah teganya kau cabik-cabik anak domba ini dan melahapnya. Memangnya kau ditanduk ayahnya?” Baduwi itu menjawab, ”Bukan begitu Tuan, justru kau pun terlihat begitu iba pada anak domba ini, jangan-jangan kau juga disusui oleh induknya”.
Ada khalifah-khalifah yang iba, ada baduwi-baduwi yang rakus, ada pula khalifah-baduwi yang rakus dengan cara tampil iba dan alim. Begitu menjijikkan, hingga Ali bin Abi Thalib menaksir harga mereka tak lebih dari ‘afthatu ‘anzin (tetesan ingus onta). Sekedar tidak dijijikkan orang, Ali menganjurkan kita jadi anak onta saja, la dhohrin fa yurkab wa la labanin fayuhlab (yang punggungnya tidak siap untuk ditunggangi, tidak juga susunya untuk diperahi). Cara terkecil yang paling mudah dijalani untuk itu ialah mempertahankan kesadaran akan rasa jijik terhadap segala perilaku politik busuk tetap hidup dalam jiwa. Biar tidak jadi khalifah, biar tidak jadi baduwi, biar tidak jadi khalifah-baduwi. Tapi malah jadi senasib anak domba itu; hanya tidak masa bodoh saat dibebali, tidak bodoh saat di-manjakan, tidak pasrah saat dijudi, tidak pula diam saat diusik oleh ketidakadilan. Sebegitu getirnya Gibran Khalil Gibran mengantarkan kita ke dalam baitnya:
Pencuri kembang itu dihina dan dihujat
Pencuri hektaran malah disanjung hebat
Lihat pembunuh badan itu digantung
Sedang pembunuh jiwa, tak lagi disinggung
Tinggalkan komentar