Selama keberagaman agama berada dalam satu garis vertikal dengan sebab pertama diatas, maka setiap agama akan dinilai benar pada ordenya masing-masing dan semua pengikutnya telah menempuh jalan keselamatan abadi. Namun, bila keberagaman itu berada dalam satu garis vertikal dengan sebab kedua diatas, maka logika tidak dapat menghukumi bahwa semua agama itu benar atau semuanya salah. Logika tidak dapat menghukumi bahwa semua agama layak diikuti karena dua hal kontradiktif tidak akan pernah bersatu. Lebih dari itu, dan mengikuti agama yang kurang adalah buruk.
——————————————————————-
Pluralisme Agama
Oleh : Nasir Dimyati
Mukadimah
Di era relasi dan informasi ini, keberadaan agama yang beragam menjadi masalah yang dianggap signifikan, sehingga pada abad dua puluh muncullah paham pluralisme agama. Namun bukan berarti masalah keberagaman agama ini permasalahan baru, karena sejak dulu tokoh-tokoh agama berusaha membuktikan bahwa agamanyalah satu-satunya kebenaran. Lalu apakah yang menyebabkan masalah ini menjadi menghangat sehingga muncul paham pluralisme ?.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang justru meng-alien-kan-membuat manusia terasing dari dunia kemanusiaannya sendiri- perhatian manusia kepada permasalahan-permasalahan manusiawi menjadi semakin besar. Agama menjadi salah satu pusat perhatian karena sepanjang sejarah, agama selalu mewarnai kehidupan manusia. Konflik- konflik yang terjadi diantara manusia seringkali mengatasnamakan agama. Di sisi lain, agama justru menawarkan ketentraman batin, sesuatu hal yang dicari-cari manusia setelah mengalami alienasi yang ditimbulkan oleh teknologi.
Kontradeksi yang ditimbulkan oleh agama – disatu sisi memberikan ketenangan batin dan di sisi lain menimbulkan konflik antar agama-agama yang berbeda—membuktikan bahwa pengaruh suatu agama tertentu pada kehidupan manusia berbeda dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh agama lain. Oleh karena itulah, agama dan keberagamannya sangat menarik perhatian manusia di abad ini.
Keberagaman Agama
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut tentang keberagaman agama, ada dua premis yang perlu disepakati terlebih dahulu. Pertama, agama-agama itu ada. Kedua, bahwa umat manusia dari sisi agamanya adalah plural atau beragam. Kedua premis ini perlu disepakati terlebih dahulu karena adalah tidak mungkin kita melakukan pembahasan tentang sesuatu hal yang masih dipertanyakan atau bahkan tidak diyakini keberadaannya.
Keberagaman agama mengandung makna bahwa diantara agama-agama yang ada terdapat kesamaan sekaligus berbedaan. Dari sini, muncul beberapa pertanyaan yang kemudian dapat dibahas lebih lanjut:
1. Apakah semua agama itu benar dan sah (semua pengikutnya selamat) ?.
2. Apa sebab munculnya agama yang berbeda ?.
3. Bagaimana pengikut agama tertentu bersikap dengan pengikut agama lain ?.
Dalam tradisi filsafat, ketika kita bertanya tentang benar atau tidaknya sesuatu, itu artinya kita sedang mengajukan pertanyaan epistemologis dan ketika kita mempertanyakan tentang atau tidaknya sesuatu, itu berarti kita sedang mengajukan pertanyaan filosofis. Karena itu, pertanyaan pertama adalah pertanyaan epistemologis walaupun memiliki konsekuensi filosofis. Artinya, pertanyaan itu pada akhirnya mengejar hakikat tentang ada atau tidaknya sesuatu. Ketika seseorang meyakini kebenaran sebuah proposisi (masalah epistemologis), orang itu harus terlebih dahulu meyakini keberadaan proposisi tersebut (masalah filosofis) sebab tidak mungkin orang akan mempercayai kebenaran sesuatu yang wujudnya saja tidak ada.
Adapun pertanyaan kedua sama sekali tidak membicarakan benar atau tidaknya agama-agama, akan tetapi mempertanyakan mengapa muncul berbagai macam agama. Tidak ada kolerasi antara jawaban pertanyaan kedua dengan jawaban pertanyaan pertama, meski terkadang saling mempengaruhi. Begitu pula, tidak ada kolerasi antara jawaban ketiga dengan jawaban pertanyaan pertama. Seseorang bisa saja ekslusif –mengapa agamanya sendiri yang benar—dan pada saat yang sama bersikap toleran.
Dalam membahas masalah keberagaman agama ini, kita harus menggunakan metode filosofis, yang dengan parameter yang diterima oleh semua orang yang berakal. Pembahasan ini tidak bisa dilakukan dengan metode teologis jika tolak ukur yang dipakai teks-teks yang berasal dari dalam agama itu sendiri, karena tidak semua orang bisa menerimanya. Metode teologis bisa diterima jika parameter yang dipakai adalah logika. Dalam hal ini, ada beberapa teori yang dikemukakan, antara lain materialisme, eksklusivisme, inklusivisme, holisme, dan pluralisme.
1. NATURALISME / MATERIALISME
Kaum materialis selalu berupaya memberikan penjelasan material –dengan kata lain, berusaha menaturalkan– terhadap semua fenomena, termasuk agama. Pada kenyataanya, naturalisme agama berusaha menghancurkan keberadaan agama itu sendiri, dan dengan itu tidak perlu lagi membahas keberagaman agama.
Ada dua teori terpenting yang bertujuan menaturalkan agama, yaitu sosialisme agama dan psikologisme agama.
1. Sosialisme Agama
Setiap masyarakat membentuk tuhan, agama, dan semacamnya sesuai dengan budaya dan konsepsi-konsepsi masing-masing. Oleh karena itu, bersamaan dengan perbedaan budaya, agamapun berbeda-beda.
Kritik atas teori ini adalah sebagai berikut.
Teori ini tidak lebih dari sebuah konsep yang tidak ilmiah dan tidak berdalil. Teori ini tidak mampu menjelaskan semua atau sebagian besar ajaran-ajaran agama khususnya anjuran-anjuran individual atau bahkan metasosial (diatas sosial). Di samping itu, telah tercatat dalam sejarah bahwa pembawa atau penyampai agama (nabi, rasul, dll) justru membawakan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan budaya, etika, dan konsepsi masyarakat dimasa itu. Mereka – para nabi atau rasul—tidak merasa takut atau lemah karena bersandar bada sumber kekuasaan, yaitu Tuhan. Oleh karena itu, anggapan bahwa agama terbentuk dari masyarakat adalah salah.
2. Psikologisme Agama
Agama adalah satu bentuk reaksi pertahanan manusia terhadap kekuatan-kekuatan yang menakutkan seperti gempa bumi, petir, atau banjir. Tuhan adalah khayalan manusia belaka; bagi manusia kekuatan-kekuatan alam tersebut adalah bapak langit. Mereka menuhankan bapak langit karena mereka melihat bapak bumi tidak mampu menahan kekuatan-kekuatan tersebut.
Kritik atas teori ini adalah sebagai berikut.
Teori ini sama sekali tidak memiliki dalil yang logis, tidak lebih dari khayalan belaka. Kalaupun kita sependapat dengan teori ini, filosof atau teolog bisa mengatakan bahwa penggambaran “Bapak” dan kronologi kemunculannya merupakan pemberian tuhan yang di letakkan dilubuk hati atau benak setiap manusia sehingga dapat mengenal dan kembali kepada bapak mahapenguasa. Oleh karena itu, teori ini salah dan –kalaupun dianggap benar—tidak dapat menjelaskan agama secara psikologis.
Kesimpulannya, kaum materialis memandang segala sesuatu dengan kaca mata materi, tidak memandang sesuatu apa adanya. Oleh karena itu, teori-teori mereka tentang sesuatu yang non-materi terasa sangat dipaksakan, tidak ilmiah, dan tidak berdalil.
2. Eksklusivisme
Disepanjang sejarah peradapan manusia, telah –bahkan sedang—terjadi peperangan akibat fanatisme agama dan mazhab (aliran-aliran dalam sebuah agama) yang menelan korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya. Sebagian orang memandang tragedy ini adalah akibat dari eksklusivisme agama. Padahal antara eksklusivisme dan kekerasan tidak memiliki hubungan ekivalen. Boleh jadi dalam mencari kebenaran, seseorang sampai pada eksklusivisme dan disaat yang sama dia toleransi terhadap pengikut agama lain.
Eksklusivisme menyatakan bahwa hanya satu agama yang memiliki kebenaran mutlak dan agama tersebut satu-satunya jalan keselamatan dan kesuksesan. Oleh karena itu, pengikut agama lain walaupun dia orang baik tidak akan selamat atau sukses. Argumentasi yang dikemukakan kaum eksklusif antara lain adalah sebagai berikut.
1. kebenaran hanya satu dan keselamatan tergantung pada pengenalan hakikat kebenaran tersebut. Orang yang tidak mengenali sesuatu tidak akan pernah mengimaninya, maka setiap orang yang tidak mengenali kebenaran tidak akan mengimaninya dan tidak akan meraih keselamatan.
Kritik atas argumen ini adalah sebagai berikut.
Teori ini tidak memperhatikan nasib orang yang telah berusaha mencari kebenaran, akan tetapi dikarenakan beberapa hal yang bukan kesalahan dia, dia tidak dapat meraih kebenaran tersebut. Eksklusivisme telah memukul rata orang yang lemah (tidak mampu) sehingga tidak berhasil mencapai kebenaran dengan orang yang tidak perduli terhadap usaha mencari kebenaran. Padahal, akal sehat, norma kemanusiaan, dan bahkan sebagian ajaran agama tidak menerima kalau orang yang tidak mampu harus menanggung siksa atau derita selamanya.
2. Satu-satunya kebenaran dan jalan keselamatan adalah manifestasi Tuhan yaitu Isa Al-Masih. Kalaupun agama Kristen itu benar, itu tidak lain dikarenakan manifestasi tersebut. Usaha manusia tanpa dukungan Tuhan dengan sendirinya pasti kalah. Oleh karena itu, orang yang selamat adalah orang yang mengenal manifestasi dan mendapatkan kasih sayang-Nya.
Kritik atas argumen ini adalah sebagai berikut.
Argumen ini bersifat teologis. Karena itu, selama dasar-dasar teologisnya masih belum terbukti kebenarannya, argument ini tidak dapat diterima dalam pembahasan keberagaman agama. Tidak semua orang dapat menerima pernyataan bahwa usaha manusia pasti gagal. Disamping itu, semua agama menyatakan dirinya manifestasi Tuhan. Ini kembali membuktikan bahwa pembahasan keberagaman agama harus bersandar pada logika, bukan teologis.
3. Inklusivisme
Aliran ini menyatakan bahwa satu agama kebenaran mutlak dan dialah jalan utama kebenaran umat manusia. Namun demikian, agama-agama lain juga memiliki saham kebenaran. Karena itu, pengikut jujur agama-agama itu relatif selamat.
Inklusivisme memiliki macam-macam penafsiran, singkatnya adalah sebagai berikut.
1. Hanya ada satu agama yang benar mutlak, dan selain itu kesesatan, tetapi pengikut jujur agama lain disuatu saat akan diberi petunjuk oleh Tuhan.
2. Hanya ada satu agama yang benar mutlak, namun agama-agama lainpun memiliki saham kebenaran, bukan murni kebatilan. Olehkarena itu, sesuai dengan kebenaran yang dimilikinya, tiap agama akan menjadi jalan keselamatan.
3. Hanya ada satu agama yang benar, yaitu Kristen dan satu-satunya jalan adalah pengorbanan Isa a.s. yang berkahnya menaungi seluruh manusia.
4. Semua agama, khusunya agama yang mampu menjawab tuntutan-tuntutan para pengikutmya, pasti memiliki saham kebenaran. Namun, bukan berarti semua agama memiliki saham kebenaran yang sama besarnya.
Ada rentang panjang antara kebenaran mutlak dan kebatilan mutlak. Agama-agama berada didalam rentang itu. Karenanya, hubungan antar agama bukan hubungan antara kebatilan murni dengan kebenaran murni, melainkan hubungan antara kebenaran lebih dengan kebenaran kurang. Tidak ada agama yang mutlak benar. Setiap agama yang mampu merealisasikan inti atau ruh agama –yaitu meninggalkan egoisme menuju theisme—sekedar itulah kebenaran yang dimiliki dan sekedar itulah keselamatan yang dijanjikan.
Kritik atas teori-teori diatas adalah sebagai berikut.
Ketika sebuah agama mengaku dirinya kebenaran dan mengajak manusia untuk menganutnya, berarti agama itulah yang harus dipilih. Hal itu dikarenakan agama itulah yang menjadi kumpulan dari kebenaran, sebab agama bukanlah satu atau dua proposisi prenus. Oleh sebab itu, tidak bisa dikatakan bahwa satu agama apabila memiliki saham kebenaran – walaupun sedikit—boleh kita anut dengan meninggalkan agama yang pada hakikatnya kebenaran mutlak.
Oleh karena itu, tidaklah rasional ungkapan bahwa hanya karena agama tertentu memiliki sedikit kebenaran maka berarti dia telah memiliki jalan menuju keselamatan.
4. Holisme
Aliran ini menyatakan bahwa mutiara semua agama adalah satu. Inti semua agama adalah mengajak kepada kesempurnaan mutlak, ketenangan, serta kebahagiaan abadi. Perbedaan diantara agama-agama adalah kulit luarnya saja. Alasan yang dikemukakan dalam hal ini adalah bahwa ekspresi religius memiliki satu substansi. Artinya, ajaran holisme ini bersifat esensialistis, berbeda dengan kaum pluralis yang berprinsip konstruksialis.
Kritik atas teori ini secara ringkas adalah bahwa sesungguhnya teori ini belum bisa mengajukan data substansi bagi ekspresi-ekspresi yang berbeda-beda. Bahkan, diantara ekspresi-ekspresi itu terdapat perbedaan-perbedaan paradoksional yang merupakan bukti mustahilnya persatuan diantara mereka.
5. Pluralisme
Kata pluralisme berarti menerima keberagaman, berasal dari kata plural yang artinya banyak. Kata ini memiliki banyak penggunaan, contohnya: dalam filsafat pluralisme diartikan bahwa tidak ada sisi persatuan antara wujud-wujud; dalam filsafat etika pluralisme dimaksudkan sebagai tidak ada satu tolak ukur kebaikan dan keburukan, dalam artian menerima beberapa tolak ukur kebenaran; dalam politik kata pluralisme bermakna bahwa kekuasaan harus dibagi rata diantara kelompok-kelompok yang berbeda sehingga semua kelompok saling menyempurnakan.
Dalam pembahasan keberagaman agama, pluralisme berusaha menjawab pertanyaan pertama (apakah semua agama itu benar dan sah). Terkadang, pluralismepun bisa menjadi alternatif jawaban pertanyaan kedua (apa penyebab munculnya agama-agama yang berbeda) dengan argumen bahwa pada hakikatnya kebenaran agama itu banyak, oleh karena itu, tidak ada satu agamapun yang mengumpulkan semua kebenaran; karena setiap agama melihat sebagian dari kebenaran yang beragam, maka agamapun ikut beragam. Akan tetapi, sesungguhnya, pluralisme agama (religius pluralism) tidak berusaha menjelaskan sebab munculnya keberagaman agama, tetapi berusaha mencari jalan keluar untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan diantara agama-agama.
Sebagian orang mendifinisikan pluralisme agama dengan kehidupan yang damai dan saling menghormati diantara pengikut agama yang berbeda. Namun, definisi ini tidak diterima oleh orang-orang yang menyebut dirinya pluralis karena menurut mereka, sikap saling menghormati itu adalah toleransi, bukan pluralisme. Bagi mereka, permasalahan dalam pluralisme bukanlah mencari jalan keluar bagi cara hidup diantara umat agama yang berbeda.
Pluralisme agama adalah keyakinan bahwa kebenaran berada didalam setiap agama dan pada hakikatnya, agama yang beragam merupakan tampilan-tampilan kebenaran mutlak. Oleh karena itu, setiap agama merupakan jalan keselamatan dan kesempurnaan manusia. Pluralisme agama adalah salah satu teori dalam menjawab benar atau tidaknya semua agama. Pluralisme menyatakan bahwa tidak ada satu kebenaran mutlak, melainkan ada banyak kebenaran. Hal ini dikarenakan didalam agama terdapat banyak sudut dan sisi yang berbelit-belit sehingga menyebabkan bahasa dan pikiran manusia terjebak dalam kontradiksi.
John Hick –orang pertama yang mencetuskan atau yang menuangkan pluralisme—dalam bukunya berusaha memberi argumen atas teori ini, yaitu sebagai berikut.
1. Dengan bersandar pada pemisahan antara nomena dan fenomena (antara kenyataan apa adanya dan kenyataan yang muncul di benak manusia) dan pada anggapan bahwa sesungguhnya inti semua agama adalah pengaruhnya dalam merubah kehidupan manusia, maka agama tidak lebih hanya sebuah ekspresi psikologis manusia yang dituangkan dalam penafsiran.
Berangkat dari tidak terbatasnya kebenaran mutlak atau puncak kenyataan, maka segala macam gambaran dalam agama tentang kenyataan itu sampai batas-batas tertentu bisa dibenarkan. Hal ini bisa dianalogikan dengan cerita gajah dan beberapa orang buta. Mereka, ketika disuruh menceritakan bentuk gajah, akan memberi jawaban yang berbeda-beda.
Ada yang menyatakan bahwa gajah seperti pohon besar (karena ia hanya menyentuh kaki gajah), ada yang mengatakan bahwa gajah seperti kipas tebal dan lebar (karena ia memegang kuping gajah), dan lain-lain. Pada hakikatnya kata-kata yang digunakan untuk menceritakan ekspresi seseorang akan kenyataan adalah metafora belaka yang cepat mengubah kehidupan manusia, begitu pula halnya agama.
2. Karena Tuhan Maha baik dan merindukan hamba-Nya, konsekuensinya adalah Dia harus menunjukkan hamba-Nya kepada jalan yang benar sehingga mencapai keselamatan. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa kebenaran hanya satu atau dua dan yang lain dalah kesesatan sementara disaat yang sama diyakini adanya kebaikan, dan petunjuk Tuhan yang tidak terbatas.
3. Variasi dalam memahami teks suci agama terjadi karena dua hal: kebisuan teks agama –seperti alam natural yang pada hakikatnya adalah sesuatu yang samar dan dapat diartikan dengan beberapa macam makna- dan pengaruh asumsi-asumsi pribadi dalam menafsirkan teks agama. Oleh karena itu, semua penafsiran itu menggambarkan kebenaran dalam teks tersebut. Akibatnya, tidak ada satu penafsiran pun yang dapat mengaku dirinya telah menggambarkan semua kebenaran dalam teks tersebut karena hal ini bertentangan dengan samarnya semua teks.
Analisis Kritis
I. Analisis atas Argumentasi Pertama
Pemisahan anatara nomena dan fenomena sehingga semua persepsi dianggap tersusun dari pengaruh luar dan dalam, muncul dari kesalahan atau kelemahan dalam memahami intelektual sekunder dan logika, serta hubungannya dengan objek realitas intelektual primer, khususnya dalam memahami tempat dan zaman (karena keterbatasan ruang, pembahasan ini tidak dapat diuraikan lebih lanjut. Silahkan merujuk pada buku-buku yang relevan).
Oleh karenanya, pemisahan antara inti agama dan kulitnya –dengan anggapan bahwa inti agama adalah pengaruhnya dalam merubah kehidupan manusia dari egoisme menjadi theisme dan kulit agama adalah ajaran-ajaran agama; karenanya tidak boleh dipegang teguh dan tidak dapat dihukumi benar atau salah—sama sekali tidak memiliki sandaran baik teori maupun sejarah. Ketika seseorang tidak meyakini atau tidak berpegang teguh terhadap satu ajaran bagaimana mungkin ajaran itu dapat mempengaruhi pribadinya. Dari sisi lain, sejarah menceritakan betapa manusia memberikan perhatian, iman, penghormatan, dan dukungan terhadap agama, mazhab, atau bahkan premis yang diyakininya. Lebih lanjut lagi, dengan sedikit penelitian akan sangat jelas bahwa ajaran-ajaran agama dan keberagamannya bukan merupakan permainan bahasa, melainkan keberagaman nyata dalam satu obyek yang sama. Oleh sebab itu, ajaran-ajaran agama dapat dihukumi benar atau salah, yakni, sesuai dengan kenyataan obyek tersebut atau tidak. Kemudian, tidak mungkin semua itu dihukumi benar karena hal itu akan menjadi kontradiksi sehingga hanya satu diantara mereka yang benar.
Paham pluralisme juga menyatakan bahwa sumber munculnya agama adalah ekspresi psikologis pribadi ketika berhadapan dengan yang Mutlak dan Mahatinggi. Keberagaman agama muncul dari keterbatasan sudut pandang mereka. Ini pun tidak benar karena dua alasan. Pertama, mendefinisikan ekspresi psikologi religius ketika berhadapan dengan yang Mutlak dan Mahatinggi, artinya meyakini satu substansi untuk beberapa ekspresi yang berbeda-beda. Masalahnya, hal ini bertentangan dengan pondasi lain pluralisme, yaitu bahwa semua persepsi manusia dibentuk oleh asumsinya; artinya tidak ada satu substansi murni. Kedua, kalaupun perbedaan sudut pandang kita terima, maka hal itu hanya dapat menjelaskan sebab munculnya mazhab atau agama dan tidak dapat membuktikan benar atau salahnya agama atau mazhab tersebut, apalagi membuktikan benarnya semua agama.
Adapun pemisahan antara ekspresi dan representesinya –ekspresi rilegius semua orang hanya satu, dan perbedaan ada dalam penafsiran dan pengungkapannya yang dipengaruhi oleh benak dan bahasa—adalah tidak benar. Contoh yang dibawakan pun tidak tepat, karena dari mana bisa mengetahui kalau semua orang buta tersebut membicarakan satu kenyataan, yaitu gajah?
Ada dua jalan yang bisa diajukan dan kedua-duanya tidak tepat.
(1) Jalan pertama, melalui berita orang yang melihat dan dipercaya. Maka, orang-orang buta –yang meyakini bahwa tidak mungkin pendapat mereka bisa disatukan—akan menyadari bahwa meeka semua salah dalam menafsirkan kenyataan, dan hanya pembawa beritalah yang mengetahui kenyataan. Tapi siapakah pembawa berita itu ? kalaupun pembawa berita itu ada, dia tidak akan membenarkan pendapat semua orang buta itu, justru membuktikan kesalahan mereka semua. Oleh karena itu, contoh ini berakhir pada skeptisme
epistemologis (meragukan semua persepsi dan ekspresi, bahkan meragukan apakah ada kenyataan atau tidak).
Menanggapi hal ini, Hick menjawab bahwa kenyataan itu harus kita perumpamakan. Tetapi, dari mana kita dapat mengumpamakannya ketika kita –menurut kaum pluralis—tidak mampu berbicara tentang kenyataan mutlak. Oleh karena itu, orang seperti Hick harus memilih antara dua jalan: kalau dia mengatakan manusia tidak mampu berbicara tentang kenyataan mutlak, maka semua manusia menjadi atheis, atau, kalau dia mengatakan manusia mampu berbicara tentang kenyataan mutlak, maka manusia bukan seperti orang buta, dan contoh yang dibawakan pun tidak benar.
(2) Jalan kedua, melalui pendapat adanya substansi yang sama untuk semua ekspresi rilegius yang berbeda. Namun, untuk itu seorang pluralis harus esensialis (meyakini bahwa fenomena terdiri dari unsure luar; artinya apa yang ada dalam pikiran manusia adalah sama dengan apa yang ada di alam nyata.). Pada hal, sebelumnya pluralisme menyatakan penentangan terhadap esensialisme; seorang pluralis adalah konstruksialis (meyakini bahwa fenomena terbentuk dari unsur luar dan dalam; artinya apa yang ada dalam pikiran manusia tentang kenyataan yang ada diluar adalah hasil perpaduan antara kenyataan itu sendiri dengan proses penafsiran di dalam pikirannya tersebut).
Mungkin juga kaum pluralis berargumen dengan rasionalisme dan menyatakan bahwa kita berada di posisi “penetapan” bukan “ketetapan”. Artinya, kebenaran disini diartikan sebagai “kebenaran untuk” bukan kebenaran apa adanya. Namun, argumen ini tidak bisa menyelesaikan masalah pluralisme yang mengatakan semua agama itu benar karena kebenaran –dimanapun juga—artinya sesuai dengan kenyataan.
Kesimpulan benar yang diambil dari cerita orang buta dengan gajah adalah bahwa panca indra bukan alat mencari atau mengenal Tuhan. Tuhan harus dikenal melalui kesaksian, rasio, dan wahyu. Segala sesuatu harus di cari dan di kenal melalui alatnya masing-masing, karena kalau tidak, maka setiap orang akan salah dalam mengenal sesuatu tersebut.
II. Analisis atas Argumen kedua
Luasnya petunjuk dan rahmat Tuhan sama sekali tidak diragukan, namun bukan berarti semua orang pasti meraih petunjuk dan rahmat tersebut, karena manusia adalah makhluk yang bisa memilih. Oleh karena itu, kalau memang realitasnya adalah mayoritas manusia tidak mau memilih petunjuk dan rahmat Tuhan, tidak bertentangan dengan luasnya petunjuk Tuhan tersebut. Demikian pula, tidak bertentangan dengan kekuasaan atau kehendak Tuhan, karena justru Dia-lah yang berkehendak untuk menciptakan kemampuan memilih pada diri manusia. Oleh karena itu, tidak ada ekivalensi antara luasnya petunjuk dan rahmat Tuhan dengan kepastian bahwa semua manusia memilih petunjuk tersebut.
Begitu pula, tidak ada ekivalensi antara kesesatan banyak orang dengan kesengsaraan abadinya. Kalaupun kita terima secara praktikal bahwa kebaikan, kasih sayang, dan kelembutan Tuhan mencakup banyak orang dan menjanjikan kebahagiaan relatif mereka, bukan berarti mereka diatas kebenaran atau petunjuk Tuhan.
III. Analisis atas Argumentasi Ketiga
Teks agama boleh jadi memiliki beberapa makna, tetapi semua itu dalam garis vertical; tidak saling bertentangan. Adalah mustahil bila beberapa pengetahuan saling bertentangan ketika menceritakan satu kebenaran. Tidak semua teks itu butuh penafsiran, karena hal itu mengakibatkan tasalsul (=infinitive regress; proses sebab akibat yang tidak ada ujungnya). Memang benar sebagian teks agama butuh penafsiran dan mungkin saja asumsi penafsir mempengaruhinya tetapi tidak akan pernah membuktikan pluralisme agama. Hal ini hanya menjadi alasan munculnya keberagaman mazhab atau kelompok dalam satu agama. Di samping itu, hal ini tidak bisa menghapuskan paradigma benar dan salah dari lembaran pemikiran manusia dan juga tidak bisa menetapkan kebenaran atau kesalahan satu penafsiranpun. Oleh karena itu, untuk membahas kesalahan ini kita harus bersandar pada tolak ukur yang terjaga dari kesalahan dan satu-satunya tolak ukur yang diterima semua orang adalah pokok apriori rasional (=badihiyyaat awwaliyah; hal-hal primer yang aksiomatis).
Perubahan dan perkembangan pemahaman manusia bukan berarti sama sekali tidak ada pendapat yang tetap dalam dunia ilmu ataupun agama. Banyak ditemukan perubahan pemahaman dalam satu garis besar vertikal dan tidak paradoksional. Kalau kita berbicara mengenai arti sesungguhnya dari teks tertentu bukan berarti makna itu bagaikan wujud meteri di alam luar (realitas) sehingga dalam memahaminya kita harus mencari wujud tersebut. Akan tetapi, maksudnya adalah menemukan arti terdekat dari beberapa kemungkinan arti yang diinginkan pembicara atau penulis dalam satu kalimat. Bila hal ini tidak diterima, tertutuplah pintu penyampaian informasi dan saling memahami antar manusia akibatnya, tak seorangpun dapat menghukumi ucapan/tulisan seseorang.
Sebagian pluralis mengatakan bahwa pemahaman sama halnya dengan kehidupan dan budaya manusia, yaitu pasti memiliki keberagaman. Mereka mencontohkan hal ini dengan sebuah perlombaan yang minimalnya di ikuti dua peserta. Keberagaman adalah sebuah konsekuensi dan di dalamnya, tidak ada pihak yang salah. Pemikiran semacam ini bisa dibenarkan apabila diterima bahwa manusia itu makhluk terpaksa (tidak memiliki kemampuan untuk memilih). Namun, semua orang merasakan sendiri kalau dirinya makhluk yang mampu memilih. Oleh karena itu, ketika keberagaman ini muncul dari pilihan manusia, tidak bisa menjadi alasan benarnya semua pemahaman tersebut. Contoh yang diberikan pun tidak tepat. Berbilangnya peserta lomba bukan bukti kemenangan mereka semua. Di samping itu, dalam perlombaan pun harus ada wasit –baik itu oaring ataupun perjanjian—yang menentukan siapa pemenangnya. Karenanya, realitas keberagaman agama tidak membuktikan kebenaran masing-masing, melainkan harus ada wasit atau tolak ukur lain yang menentukan mana yang benar.
Pada akhirnya, perlu diketahui bahwa keyakinan akan kebisuan teks agama bertentangan dengan sisi pengajaran agama sebagai petunjuk. Teks-teks agamalah yang menjadi petunjuk bagi manusia, bukan sebaliknya, manusia menjadi petunjuk bagi teks agama.
Dari penjelasan tersebut di atas, jelaslaj bahwa bukti-bukti yang dibawakan John Hick sama sekali tidak relevan. Bila kita membahas pluralisme agama lebih luas lagi –tanpa terbatas pada penjelasan John Hick—ada beberapa sudut pandang yang dapat dipakai, yaitu ontologi, epistemologi, dan sosiologi.
Pluralisme Secara Ontologis
Dari aspek ontologi, pluralisme agama tidak bisa diterima karena beberapa alasan, yaitu sebagai berikut.
1. Realitas keberagaman agama dan hidup damainya umat yang berbeda agama tidak dapat diingkari, tetapi bukan bukti bagi kebenaran semua agama.
2. Anggapan bahwa inti semua agama adalah logika dan fitrah (penciptaan) –dan inilah tolak ukur semua kebenaran—adalah tidak benar. Hal ini dikarenakan rasio dan fitrah adalah satu keniscayaan, tapi bukan berarti niscaya sama. Keduanya hanya dapat menghasilkan sesuatu yang universal. Sementara itu, masalah parsial dan ajaran-ajaran yang tidak mungkin bisa dijangkau panca indra, logika, dan fitrah, harus berpedoman kepada utusan Tuhan sebagai penyempurna atau penuntun. Rasio mengatakan bahwa untuk pasrah pada Tuhan, manusia harus mengikuti petunjuk-petunjuk utusan-Nya. Rasio dan fitrah mengatakan bahwa manusia harus mencari agama yang sempurna dan benar, yaitu yang sesuai dengan beberapa kriteria, seperti kemampuan menjawab semua kebutuhan manusia, tidak mengalami perubahan, sesuai fitrah, dan lain-lain.
3. menggunakan alasan tidak murninya setiap agama untuk menetapkan kebenaran relatif setiap agama adalah tidak benar. Karena, apabila yang dimaksud agama –oleh pluralis—adalah agama langit (dari Tuhan Mahaesa) maka adalah mustahil dari “sebab yang satu” (Tuhan) muncul sesuatu yang lebih dari satu. Kalaupun tampaknya muncul beberapa hal yang banyak, pada hakikatnya semua itu adalah keberagaman vertikal, bukan paradoksional. Apabila yang dimaksud sebagai agama adalah jiwa kepasrahan, maka tidak ada keberagaman. Apabila agama dimaksudkan sebagai syariat (jalan) yang berbeda-beda, maka sesungguhnya rasio dan fitrah mengharuskan manusia untuk memilih dan mendahulukan agama yang lebih sempurna. Hanya dengan alasan tidak murninya setiap agama –kalaupun kita anggap benar—tidak menghapus kemungkinan pendahuluan dan pemilih salah satu dari mereka yang lebih sempurna; dan tidak membuktikan kebenaran semua agama.
Pluralisme Secara Epistemologis
Dari aspek epistemologi, pluralisme agama tidak benar karena beberapa argumentasi sebagai berikut.
1. Adalah salah apabila kita bersandar pada variasi pemahaman manusia akan satu hakikat (agama) –dengan membedakan fenomena dari nomena dan menggunakan keterbatasan benak manusia—karena konsekuensi hal ini adalah relativitas ilmu, skeptisme, dan idealisme. Kalau pemahaman manusia selalu terbatas atau bercampur kesalahan, lalu dari mana anda bisa mengetahui pokok agama dan kebenarannya ?. Bukankah ini harus diragukan juga?. Kalau anda menjawab tidak tahu, mengapa berpendapat?. Variasi pemahaman artinya terlebih dahulu ada teks agama yang benar. Jika kaum pluralis ingin membuktikan kebenaran itu, mengapa mereka beralasan dengan sesuatu yang ingin dibuktikan?. Disamping itu, variasi pemahaman merupakan bukti sebab munculnya keberagaman agama, tetapi tidak membuktikan kebenarannya.
2. Keberagaman sudut pandang dengan mencontohkan gajah dan orang buta, tidak membuktikan pluralisme agama. Karena, kebijakan, ilmu, dan kekuasaan Tuhan –atau dengan istilah pluralis kebaikan Tuhan—menolak hal itu. Bagaimana mungkin Tuhan memilih seseorang yang tidak mampu memandang atau memahami dengan benar agamaNya, untuk mengarahkan umat manusia. Selanjutnya, keberagaman itu vertikal dengan syariat yang berkembang karena –sebagaimana diyakini oleh pluralis bahwa kebenaran hanya satu tapi sudut pandang berbeda—kalau paradoksional, salah satunya pasti benar.
3. Keberagaman manifestasi Tuhan tidak bisa diterima sebagai alasan pluralisme. Karena, manifestasi tidak bisa didefinisikan dan keberagaman manifestasi Tuhan hanya menunjukkan bilangan potensi para saksi (nabi), tidak menunjukkan kenabian, agama atau syariat. Diantara keduanya, tidak ada hubungan ekivalen. Kalaupun kita terima, keberagaman itu vertikal dan hanya milik syariat, dan tidak membuktikan kekalnya kebenaran semua agama.
4. Kalaupun agama tergolong ekspresi psikologis, maka perlu di ketahui bahwa ekspresi tergolong ilmu hushuli (pengetahuan yang didapat setelah dipelajari, bukan yang telah hadir dengan sendirinya dalam diri manusia) yang bisa salah. Karenanya, tidak bisa dijadikan alasan atas benarnya semua agama. Begitu pula, anggapan bahwa penafsiran ekspresi tersebut juga bisa salah, bukan bukti kebenaran semua agama. Pluralisme yang seharusnya menyelesaikan paradoksionalitas agama-agama malah mencabut akar agama dengan menganggap intinya adalah ekspresi relegius. Padahal, wahyu lebih tinggi dari indra, akal, dan kesaksian relegius. Bagaimana mungkin keberagaman ekspresi relegius menjadi inti agama dan menjadi bukti kebenaran semua agama, ketika dia masih saling bertentangan dan mungkin salah.
5. Adanya kemungkinan bahwa agama lain juga benar, tidak membuktikan kebenaran semua agama. Hal ini justru mendorong setiap manusia untuk mencari agama yang sempurna. Dari aspek sosiologi, pluralisme diartikan sebagai hidup damai dan berdampingan antara umat berbagai agama. Hal ini dapat diterima oleh akal, fitrah, dan sebagian besar ajaran agama-agama. Namun, jelas bahwa hal ini keluar dari pembahasan pluralisme yang kita maksudkan dalam tulisan ini. Ringkasnya, konsekuensi pluralisme agama adalah penurunan sakralitas wahyu sampai ketingkat “ekspresi psikologis pribadi”; pengosongan inti makrifat agama, khususnya masalah metafisika; penggusuran syariat praktis dari agama; pemisahan agama dari etika; kesamaan semua agamasehingga tidak dapat dihukumi benar-salahnya; iman hanya akibat beberapa sebab, bukan bersandar pada dalili; penafsiran material ajaran agama; agama minus teologi; agama minus undang-undang; agama minus etika khusus; dan lain sebagainya. Pluralisme tampaknya membenarkan semua agama, tetapi pada hakikatnya menafikan kebenaran semua agama dan rasio. Pada akhirnya, pluralisme akan berujung pada skeptisme epistemologis.
Konklusi
Secara sederhana, agama adalah sekumplan keyakinan, perintah, atau larangan (dengan kata lain, syariat atau etika) yang –menurut pengakuan pembawanya—berasal dari Tuhan. Keberagaman agama adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri, tetapi pluralisme tidak bisa menjawab sebab munculnya keberagaman itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya, keberagaman itu muncul karena: (1) Potensi dan kemampuan intelektual manusia yang berbeda-beda dan berkembang. (2) Pengakuan bohong, perusakan, dan perubahan yang dilakukan manusia sendiri.
Selama keberagaman agama berada dalam satu garis vertikal dengan sebab pertama diatas, maka setiap agama akan dinilai benar pada ordenya masing-masing dan semua pengikutnya telah menempuh jalan keselamatan abadi. Namun, bila keberagaman itu berada dalam satu garis vertikal dengan sebab kedua diatas, maka logika tidak dapat menghukumi bahwa semua agama itu benar atau semuanya salah. Logika tidak dapat menghukumi bahwa semua agama layak diikuti karena dua hal kontradiktif tidak akan pernah bersatu. Lebih dari itu, dan mengikuti agama yang kurang adalah buruk.
Oleh karena itu, bila kita terima keberagaman vertikal dan horisontal agama sebagai sebuah realitas, ada kemungkinan bagi rasio untuk membahas benar atau tidaknya setiap agama. Untuk itu pula, harus diterima oleh semua manusia berakal bahwa satu-satunya tolak ukur kebenaran bagi semua orang adalah rasio. Oleh sebab itu, jalan terbaik adalah penelitian rasional terhadap setiap agama, sehingga kita dapat menemukan di zaman ini agama manakah yang benar dan layak diikuti.
Sebagaimana telah kita sepakati, bahwa inti agama adalah pasrah pada yang Mahabenar dalam semua aspek kehidupan, baik itu pikiran ataupun perbuatan; bukan pasrah minus syariat, pasrah minus etika, atau pasrah minus ajaran-ajaran religius. Rasio mengatakan bahwa manusia harus memilih agama yang sempurna dan unggul atas semua agama yang lain. Ringkasnya, agama-agama langit lebih unggul dari agama dunia atau agama hasil ekspresi psikologi. Langkah berikutnya adalah memilih agama langit yang paling sempurna dan unggul.
Salah satu metode rasional untuk mencari keunggulan satu agama dari agama lainnya adalah meneliti ajaran agama yang dituangkan dalam teks agama masing-masing. Al-Kitab bukan wahyu Ilahi dan juga bukan sabda-sabda Musa atau Isa, melainkan tulisan murid-murid mereka seperti Yohanes, Lucas, Markus, dan Matius. Di samping itu, beredar pula Al-Kitab yang dinisbatkan kepada penulis-penulis diatas. Akibatnya, sangat diragukan didapatkannya tulisan-tulisan asli Al-Kitab. Selain itu, karena hasil tulisan manusia biasa, Al-Kitab telah mengalami perubahan-perubahan yang fatal dan tidak rasional, seperti tuduhan-tuduhan jelek terhadap para nabi, dongeng-dongen yang tidak beralasan, anggapan adanya dosa fitri yang diwarisi dari Adam, adanya paradoksi, dan lain-lain. Sementara itu, Al-Quran adalah wahyu Ilahi, bukan buatan manusia. Di dalamnya tidak ada kontradiksi. Terbukti dengan tidak ada seorang pun yang mampu membuat satu ayat pun yang menyerupai ayat-ayat Al-Quran.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan, yaitu penjelasan Al-Kitab akan datangnya seorang utusan dengan agama baru. Berita gembira ini menyatakan berakhirnya masa kebenaran agama Kristen bersamaan dengan munculnya utusan tersebut. Tetapi sayangnya, Injil-Injil sekarang tidak memuat lagi berita ini.
Dari penjelasan ringkas diatas kita dapatkan tiga proposisi benar: pertama, logika mengharuskan manusia untuk mengikuti agama yang sempurna. Kedua, agama selain Islam itu kurang sempurna (bahkan pada yang kurang sempurna itu telah terjadi perubahan). Ketiga, Islam agama murni, memiliki mu’jizat abadi, dan terjaga dari perubahan.
Kalaupun kita terima realitas keberagaman agama langit, harus kita anggap bahwa pada awalnya, keberagaman itu vertikal, tidak horisontal. Yang satu lebih unggul dari yang lain. Karena Islam datang paling akhir sebagai penyempurna agama-agama, yang harus kita pegang tentulah yang paling sempurna yaitu Islam. Namun, kalaulah kenyataan menunjukkan bahwa keberagaman yang kita dapati itu horizontal dan satu sama lain saling bertentangan, di sini kita harus memilih salah satunya. Tidak bisa kita memilih hal-hal yang berbeda dan bertentangan secara bersamaan. Telaah yang mendalam akan menghantarkan kita kepada keyakinan dan kepastian mutlak bahwa yang benar itu adalah Islam. [islamalternatif]
——————————-
Sumber-sumber rujukan:
1. Hadi Shadiki, “Pluralisme Dini: Din, Haqiqat, Kasrat”, makalah pada majalah “Tazeh-ha-ye Andisyeh Vol. 4,
Qom, 1999.
2. Ali Rabbani Golpaygani, “Tahlil va Naqd-e P;uralisme Dini”, Muassase-ye Farhanggi-ye
Danesy Va Andisye-ye Moaser,
Cetakan pertama,
Tehran, 2000.
3. Muhamad Hasan Qadr Dan, “Kandukavy dar Suyeh-ha-ye Pluralisme”, Kanun-e Andisye-ye Javan, cetakan pertama,
Tehran, 2000.
4. Majalah ilmiah “Kitab-e Naqd” Vol.4,
Tehran.
5. Ali Syiravani, “Darsname-ye Aqaid”, Markaz-Jahani-e Ulum-e Islami, cetakan kedua,
Qom, 2000.
Artikel ini sangat menarik:
http://komunitas-nuun.blogspot.com/2006/12/agama-islam.html
semoga kesalahpahaman yang ada dapat teratasi dengan pendekatan kajian ilmiyah menuju kearah yang lebih membangun, jazakallah