Ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah (haji tamattu’ .red) dan nikah mut’ah”. Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua?
—————————————————-
Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?
Oleh:Muchtar Luthfi
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.
Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan di bahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.
Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.
Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah
Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:
“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)
Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.
Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah
Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.
Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?
Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?
Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)
Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?
Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.
Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.
Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.
Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.
Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”
Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .
Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.
Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.
Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).
Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.
Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.
Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?
Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).
Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.
Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
- Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
- Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
- Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
- Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.
Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).
2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?
Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.
Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?
Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.
Penutup
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).
Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59)
Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)
Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.[islamalternatif]
bagaimana dengan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib ra ini:
“Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari 5115, Muslim 1407).
jika diperhatikan, hadits ini dengan sendirinya menggugurkan pernyataan Ali bin Abi thalib ra diatas yang berbunyi:
“jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
jika kita hanya melihat dua pernyataan diatas (sekali lagi hanya melihat dua pernyataan diatas), yang nota bene sama-sama sanadnya pada Ali bin Abi Thalib ra, maka terdapat keanehan dan kontradiksi. Tidak mungkin kedua pernyataan tersebut benar karena kontradiksi isinya, yang satu mengharamkan yang lain mendukung mut’ah.
jadi manakah yang benar? silahkan dinilai sendiri:
pernyataan pertama mempunyai derajat hadits shahih (Bukhari & Muslim) sedangkan pernyataan kedua bukan hadits.
mengenai Annisaa:24
kata “istamta’a bih” sama sekali tidak merujuk kepada kata “mut’ah”, karena kedua kata itu sangat berbeda arti:
istamta’a bih berarti menikmati, mendapat kesenangan dari …, (diambil dari Aqrab Al Mawrid)
kata mut’ah lebih diartikan sebagai pernikahan sementara.
sehingga terjemahan dari “istamta’a bih” tidak ada sangkut pautnya dengan kata “mut’ah”.
Wallahu ‘alam.
———————-
Jawab:
Anda benar bahwa ada beberapa hadis yang menyatakan hal itu dalam kitab Ahlusunah. Tetapi kita juga harus melihat bahwa ada hadis-hadis lain (dalam kitab yang sama-sama shohihnya yaitu yang diriwayatkan dari Ibn Abi Nadhrah yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8) yang menyatakan bahwa Rasul hingga akhir hayat beliau tidak pernah mengharamkannya, bahkan khalifah kedualah yang mengharamkannya…dan terbukti bahwa para ulama Ahlusunah tidak ada kesepakatan pendapat tentang kapan mut’ah diharamkan, yang jelas, pendapat-pendapat mereka masing-masing memakai dalil hadis yang berbeda-beda…
Adapun mengenai surat an-Nisa tentang ayat mut’ah itu, kita tidak bisa mengarang-ngarang penafsirannya dan terbukti bahwa ayat itu turun untuk mut’ah. Silahkan anda melihat kembali beberapa kitab tafsir Ahlusunah sendiri -spt: Tafsir al-Kabir karya Fakhrur Razi, Durrul Mantsur karya as-Suyuthi, Fathul Qadir karya as-Syaukani, Ruhul Ma’ani karya al-Alusi, Tafsir al-Quranul Karim karya Ibnu Katsir…dsb- yang menyatakan bahwa ayat itu (an-Nisaa: 24) turun untuk nikah mut’ah, walaupun kembali mereka menyatakan bahwa ayat itu lantas dihapus (mansukh)…dihapus dengan apa? Itulah yang menjadi masalah…apakah mungkin hadis (yang tidak terjaga oleh Allah) akan dapat menghapus ayat al-Quran (yang dijaga oleh Allah)? apakah mungkin sebuah ayat akan dapat dihapus oleh statemen sahabat? Silahkan anda renungkan…!?
Annisa itu ayat menerangkan tentang syah perkawinan dan siapa saja yang diharamkan untuk dinikahi!.. Bukan perkawinan sementara..
Hei.. Kalian syiah terlalu banyak hadis hadis sesat!. Sedikit sedikit hadist..
—————————-
Islam Syiah:
Sudah cek kitab-kitab tafsir anda sendiri? Jangan terlalu emosional begitu, justru akan menunjukkan rendahnya tingkat intelektual anda di depan publik nanti
assalamualaykum saudara..
Saya adalah pembaca laman web saudara ini maka saya ingin bertanyakan soalan.
1. Memang benar akan keharusan mut’ah itu di masa zaman peperangan ( zaman Rasul s.a.w ),antara kebaikkannya adalah untuk menjaga nafsu. Memang di akui nafsu manusia tidak kira lelaki atau perempuan sama sahaja bahkan nafsu perempuan itu bahkan lebih lagi dari kita sebagai seorang lelaki. jadi keharusan mut’ah itu benar kerana nafsu tidak bermata dan tidak mengenal tempat walaupun di kawasan peperangan. Jadi hukumnya HALAL untuk ber mut’ah. Soalnya sekarang ini,kita tidak lagi di dalam zaman peperangan bersenjata ( walaupun negara muslim yang lain ber situasi perang ). Jadi bagi fikiran saya yang kurang ilmu ini,adalah tidak wajar sama sekali mut’ah ini diteruskan lagi bersamaan dengan ayat al-quran yang mengatakan kalau tidak silap “nikahilah oleh kamu 2,3 atau 4 perempuan,dan jika kamu tidak boleh berlaku adil maka cukupilah dengan seorang sahaja”. Maaf ya kalau ayat ini salah aturannya tapi saya yakin ayat ini wujud dalam al-quran.) Jadi saya suka sekali ingin mengambil contoh tentang pengharaman arak yaani minuman yang memabukkan. Saya percaya saudara tentu tahu sekali tentang pengharaman ayat ini. Mengapa arak di HARAMKAN? Mengapa pada zaman nabi s.a.w,minuman yang memabukkan ini di benarkan dan selepas turunnya wahyu Allah,ianya lantas di haramkan? Kita semua harus tahu bahawa semua benda yang di haramkan Allah dan Rasul adalah berkaitan dengan Nafsu juga pengharamannya adalah untuk kebaikan. Berbalik dengan kisah mut’ah tadi, saya berpendapat tiada kebaikkan mut’ah untuk di teruskan di waktu ini kerana kalian sendiri melihat jangan dikatakan hendak bermut’ah sehingga 10 orang isteri, cukup seorang sahaja isteri kita masih belum mampu untuk berlaku adil.
Rasulullah s.a.w sendiri menangis di setiap solat malamnya,antara tangisannya mengenai keadilan dalam beristeri lebih dari seorang!! Nah!, Jika Rasul s.a.w begitu,kenapa kita yang bukan Rasul,yang jauh dari kasih sayangnya amat berani bercerita dan berangan-angan ingin memiliki lebih dari 4 isteri dan sebagainya?? Cuba ya renungkan di malam hari ketika bersujud,mudah -mudahan Allah memberi taufik dan hidayah. JUga saya berharap dengan penuh kasih sayang sesama muslim,janganlah kita mempertikaikan 4 orang sahabat kesayangan Rasul s.a.w kerana dengan bantuan 4 sahabat serta ahlul bayt serta bantuan Allah,Islam tertegak di bumi Allah ini dan kita semua yang mengikuti setiap permasalahan di dalam situs ini bisa bernafas dengan udara yang di pinjamkan Allah s.wt atas perjuangan mereka.
Solla annabi..
——————————————————
Islam Syiah:
Pak, yang berhak menghalalkan dan mengharamkan itu Allah, bukan Rasul, apalagi manusia biasa seperti anda dan saya…itu hak mutlak Ilahi.
Dan kita juga harus tahu bahwa, sewaktu Allah menghalalkan atau mengharamkan itu berdasarkan ilmu Allah yang bersifat Absolut, bukan kira-kira seperti yang anda katakan itu.
Dalam kasus nikah Mut’ah, terbukti bahwa Allah tidak pernah menghapus (naskh) hukum itu, begitu juga dengan penjelasan Rasul atas syariat Ilahi…tetapi sahabat Umarlah yang mengharamkannya berdasarkan pendapat pribadinya…Apakah mungkin hukum Allah akan terhapus dengan pendapat pribadi? Siapapun tidak berhak mengganti hukum Allah, walaupun itu manusia termulia seperti Rasulullah, apalagi manusia biasa. Silahkan direnungkan!
Sdh sy renungkan. Tp apkh benar, makna/ tafsir dr ayat yg saudara ambil ttg nikah mut’ah itu adalh benar ? (Bukan arti bahasanya, tp makna/penafsiran nya). Krn dg ayat yg sama, bs mpunyai tafsir dg pemahaman yg berbeda. Ada hadist yg mngatakn bhwa Rasulullah saw telah mengharamkan nikah mut’ah, mngapa saudara msh sj mnyebutkn bhwa Umar yg mharamkannya ?
Lalu, jk saudara menafsirkan/memaknai bhwa ayat tsb sbg dasar dibolehkannya nikah mut’ah, maka bgm dg nasib anak yg dihasilkan dr nikah mut’ah? Bgm dg wanita yg telah habis masa kontrak nya dg nikah mut’ah ? Islam sangat mnjaga kehormatan n martabat wanita, tidak mungkin Islam mghargai wanita dg nilai kontrakan. Astaghfirullaah….
Mohn maaf, sy yg fakir ilmu ini hanya ingin belajar dg pemahaman yg benar, smg Allah sll mberi petunjuk yg benar menurutNYA. Amiin..
………………
Islam Syiah:
Ayat tersebut membuktkan diperbolehkannya nikah Mut’ah sebagaimana pendapat Ahli Tafsir Ahlusunah sendiri, silahkan cek lagi. Namun, penyebab pengharamannya versi Ahlusunah sendiri, masih mereka perdebatkan, karena versi mereka ada riwayat yang mengatakan Umar-lah yang menghramkan, ada juga yang Rasul. Tetapi, yang -konon- Rasul mengharamkannya pun mereka gak ada kepastian, kapan Rasul mengharamkan, bukti bahwa mereka sendiri masih tidak sepakat akan kapan dan dimana Rasul mengharamkan?
Masalah status istri pasca Mut’ah, sama persis seperti istri setelah nikah da’im yang ada di masyarakat. Perlu dicatat, ketika Islam dan Syiah dengan bersumber dari Al-Quran dan Hadis MEMBOLEHKAN nikah Mut’ah, namun bukan berarti PENGHARUSAN. Syiah tetap meyakini bahwa nikah Da’im lebih utama untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan tolong jangan mencampuradukkan penghukuman antara perasaan dengan hukum agama. Karena banyak yang mungkin gak sesuai dengan perasaan orang. Masalah perbedaan waris lelaki-perempuan, konsep jihad, taat mutlak kepada Rasul, dst merupakan contoh2 yang tidak bisa kita hukumi dengan Perasaan. Akal manusia biasa mana yang bisa menerima kasus penyembelihan Ismail oleh Ibrahim AS dimana setelah sekian lama tidak mendapat anak, eh setelah punya dan beranjak dewasa terus disuruh menyembelih? Kalau Ibrahim AS memakai perasaan, apa yang bakal terjadi? Tentu anda tahu sendiri jawabnya..
syiah hanyalah sederaten tai anjing !!!
—————————————————-
Islam Syiah:
Silahkan kafirkan kami, tapi paling tidak anda juga harus melakukan sesuatu untuk saudara anda di Palestina yang sedang dibantai Zionis (manusia-manusia terkutuk)
Islam Syiah:
Pak, yang berhak menghalalkan dan mengharamkan itu Allah, bukan Rasul, apalagi manusia biasa seperti anda dan saya…itu hak mutlak Ilahi.
Dan kita juga harus tahu bahwa, sewaktu Allah menghalalkan atau mengharamkan itu berdasarkan ilmu Allah yang bersifat Absolut, bukan kira-kira seperti yang anda katakan itu.
Dalam kasus nikah Mut’ah, terbukti bahwa Allah tidak pernah menghapus (naskh) hukum itu, begitu juga dengan penjelasan Rasul atas syariat Ilahi…tetapi sahabat Umarlah yang mengharamkannya berdasarkan pendapat pribadinya…Apakah mungkin hukum Allah akan terhapus dengan pendapat pribadi? Siapapun tidak berhak mengganti hukum Allah, walaupun itu manusia termulia seperti Rasulullah, apalagi manusia biasa. Silahkan direnungkan!
————————————————————————–
berarti kita ga perlu syahadat seperti yg diajarkan oleh rasulullah SAW, karena apa-apa yang diharamkan oleh Allah SWT maka diharamkan oleh rasul-Nya, dan apa-apa yang diharamkan oleh Rasul-Nya allah pun mengharamkannya…
—————————————–
Islam Syiah:
Kesimpulan (konklusi) yang tidak nyambung dengan premisnya. Anda tentu khan ttg fungsi ‘Syahadat’? Saran saya, belajarlah berargumen dengan baik dan logis.
assalamu’alaikum wr. wb.
secara dalil, memang nikah mut’ah tidak bisa saya nafikan. tetapi banyak orang yang kemudian menyalahgunakan semua itu lantaran nafsu semata, atau bagi wanita adalah untuk mendapatkan uang seperti halnya pekerja seks komersial.
itu terbukti seperti di bandung, seorang wanita bercadar mendatangi seorang dokter kemudian divonis menderita sipilis. ketika ditanya, “anda mengikuti islam syiah ya? tinggalkanlah!” tetapi wanita itu justru marah-marah.
di daerah jakarta selatan, ada yang melakukan itu dan imagenya buruk dan tidak memuliakan wanitanya meski wanitanya jadi kaya.
lalu bagaimana kita memandang fakta itu? apakah kita akan menutup mata dengan kembali pada hukum mutah yang diyakini kebenarannya tanpa merujuk berdasarkan nilai moral?
————————————————
Islam Syiah:
Alaikumsalam Wr Wb
Pertama, saya pernah mengecek kebenaran kisah2 yang anda sebutkan itu, dan ternyata itu hanya bikinan dan tidak ada realitanya, sengaja dibikin untuk menjatuhkan Syiah.
Kalaulah benar, apakah sipilis itu mesti diidap oleh pengobral nafsu? Ternyata jawabannya tidak. Jika anda kencing sembarangan pun bisa teridap penyakit itu, karena loncatan virus. Ini telah terbukti secara medis. Begitu juga HIV yang penularannya bukan hanya karena hubungan seksual saja. Anda tahu itu bukan?
Kedua, penyimpangan yang mungkin saja terjadi dikarenakan pelaku tidak melakukannya sesuai prosedur yang telah ditentukan oleh Islam. Karena kita yakini, jika Islam membolehkan (baca: mensyariatkan) sesuatu maka disitu terdapat hikmah yang besar, selama dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh Allah. Jika tidak maka bukan hanya membikin petaka di masyarakat, juga mengakibatkan murka Ilahi. Jadi harus dibedakan antara hukum dan prosedur Ilahi dengan penyimpangan oknum.
Ketiga, kalaulah ada penyimpangan, maka apakah itu lantas meniscayakan pengharaman, sebagaimana banyak dalam kasus nikah daim (nikah biasa) juga terdapat penyimpangan, seperti kawin-cerai sampai puluhan kali dalam jangka waktu setahun umpamanya? Begitu juga pada kasus2 hukum2 agama lainnya, seperti perceraian, pengumpulan zakat, poligami (spt menelantarkan istri tua), dst.
Islam Syiah:
“Dalam kasus nikah Mut’ah, terbukti bahwa Allah tidak pernah menghapus (naskh) hukum itu, begitu juga dengan penjelasan Rasul atas syariat Ilahi…”
bung, bisa nggak bantu saya, di nash qur’an yang mana tentang kebolehan nikah mut`ah…..?
please 🙂
————————————-
Islam Syiah:
Silahkan ditelaah kembali rujukan-rujukan yang ada dalam tulisan di atas, yang kesemuanya bersumber dari al-Quran maupu hadis dan riwayat dari kitab-kitab standart Ahlusunah sendiri.
maksud saya, kalimat mana yang dianggap memiliki makna nikah mut’ah dalam surat an-nisa’ ayat 24 itu…
——————————————
Islam Syiah:
1- Pengunaan kata istimta’ berkaitan dengan wanita-wanita itu.
2- Penggunaan ujrah yang berarti bayaran, bukan mahar sebagaimana kawin biasa.
3- Penafsiran banyak ahli tafsir (plus berdasarkan hadis dan riwayat para sahabat), sebagaimana yang tertulis dalam tulisan di atas.
sebab, jika yang dimaksud adalah kata istamta’a, maka pendapat mas agus, menurut saya lebih tepat.
sebagaimana dikatakannya:
kata “istamta’a bih” sama sekali tidak merujuk kepada kata “mut’ah”, karena kedua kata itu sangat berbeda arti:
istamta’a bih berarti menikmati, mendapat kesenangan dari …, (diambil dari Aqrab Al Mawrid)
kata mut’ah lebih diartikan sebagai pernikahan sementara.
sehingga terjemahan dari “istamta’a bih” tidak ada sangkut pautnya dengan kata “mut’ah”.
kenapa saya katakan pendapat mas agus lebih tepat…?
mau tau nggak…?
hehe…
kalau anda lebih teliti melihat ayatnya, maka anda akan mengetahuinya…
biarlah anda sendiri yang mencari kebenaran itu..
pesan terakhir utk hari ini adalah: nggak usahlah anda pakai kitab2 tafsir ahli sunnah, sebab bukankah anda tidak meyakini kebenarannya…
—————————————————
Islam Syiah:
Kalau kita hanya bertumpu pada kajian philologi maka kata istimta’, mut’ah atau tamattu’ berasal dari kata yang satu ma-ta-a’ yang berarti kesenangan atau kenikmatan. Istimta’ berarti mencari kesenangan, mut’ah berarti senang/nikmat dan tamattu’ berarti bersenang-senang. Itu dari segi bahasa.
Tapi penafsiran ayat al-Quran tidak dapat bertumpu pada sekedar kajian bahasa saja bukan? Kembali kepada penafsiran para ulama anda sendiri yang mengartikan ayat itu –dimana ada kata istimta’- sebagai nikah mut’ah, berdasarkan asabab nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) dan penjelasan Rasul maupun banyak sahabat beliau. Di sini anda tidak akan mampu lari dari kenyataan bahwa ayat itu turun untuk nikah mut’ah. Adapun apakah telah diharamkan (dihapus validitas ayatnya) atau tidak maka silahkan baca lagi tulisan di atas dengan baik dan teliti…silahkan mencoba!?
Tidak meyakini kebenarannya? Hatta anda tidak meyakini kebenaran Injil umpamanya apakah sewaktu di Injil ada pelarangan berzina maka lantas tetap anda ingkari, padahal itu juga sesuai dengan ajaran Islam? Saya menggunakan dalil anda agar anda memahami bahwa ternyata kitab anda juga mengatakan sebagaimana apa yang diyakini Syiah, bahwa bukan Rasul yang mengharamkan nikah Mut’ah, tapi orang biasa seperti anda dan saya. Itu pengakuannya sendiri koq, gak percaya, silahkan cek rujukan yang sudah kami berikan. Itulah kitab anda yang berbicara! Kalau kami memakai kitab Syiah, pasti anda tidak akan menerimanya bukan?
Syiah……….syiah coba saudara mengunakan logika jangan terhayut dengan dokrin dokrin yang ada, karena logika salah satu nikmat Allah yang membedakan manusia dengan mahluk lainya (binatang)
——————————————
Islam Syiah:
Doktrin? Silahkan anda perhatikan kembali tulisan di atas, apakah berdasarkan doktrin tak berdalil ataukah sebaliknya, berdalil dengan kitab anda sendiri? Berbicara ttg logika, logikamana yang anda inginkan? Silahkan sebutkan mana argumen di atas yang tidak sesuai dengan kaedah-kaedah logika sepanjang yang anda ketahui?
assalam…
jika anda berpendapat: “Islam Syiah:
Pak, yang berhak menghalalkan dan mengharamkan itu Allah, bukan Rasul, apalagi manusia biasa seperti anda dan saya…itu hak mutlak Ilahi”
trus apa fungsinya Allah menurunkan para rasul dan nabi di muka bumi
mungkin kita harus meninjau kembali dihalalkannya nikah mut’ah waktu zaman nabi -yang kemudian diharamkan-
——————————————
Islam Syiah:
Allah mengutus para nabi/rasul hanya untuk penyampai syariat, bukan pembuat syariat. Ini sangat jelas sekali buat yang sering membaca al-Quran.
Semua ahli tafsir -bahkan ulama Islam secara umum- sepakat bahwa nikah mut’ah pernah dihalalkan. Lantas kapan dan siapa yang mengharamkan? Ini terjadiperbedaan pendapat. Yang mengatakan bahwa Rasul dan di zaman Rasul-lah diharamkan, ini akan terbentur dalam banyak kontradiksi dalam penetapan dan berargumennya. Sementara, banyak dalil yang menjelaskan bahwa sahabat Umar-lah yang mengharamkan, termasuk pengakuannya sendiri seperti yang telah dicantumkan dalam artikel di atas..
Assalamualaikum wr.wb.
Saya masih awam ttg syiah tapi saya tertarik karena logis.
Bisakah saya konsultasi ttg nikah mut’ah? Bagaimana syari’ahnya?
Saya sedang menjalin hubungan dgn seorang pria dan seperti dijelaskan di atas, ada saat2 kami bicara/pergi berdua dalam rangka mengenal satu sama lain.
Saya tidak ingin melakukan hal2 yg diharamkan, jadi saya harus bagaimana?
Adakah perbedaan dalam pelaksanaan nikah mut’ah bagi gadis dan janda?
Betulkah Islam membolehkan poliandri?
Terima kasih ats jawaban2nya.
———————————————
Islam Syiah:
Waalaikumsalam Wr Wb
Silahkan pelajari semua mazhab dalam Islam, termasuk Syiah, karena semakin anda mengenal banyak agama dan mazhab maka anda akan semakin berpikir terbuka dan berwawasan luas. Hanya saja, saran saya, pelajarilah juga dari si pemilik agama dan mazhab secara langsung, baik langsung kontak person maupun karya2 mereka, jangan hanya cukup informasi dari pihak luar.
Silahkan jika anda ingin berkonsultasi. Terserah, mau di sini (blog) ataupun JAPRI via e-mail. Adapun tentang legalitasnya, anda bisa baca sendiri di sini, hingga saat ini tidak ada argument yang kuat dalam pengharamannya melalui lisan suci Rasul, secara konkrit. Adapun tata caranya, tidak jauh beda dengan nikah biasa, walupun terdapat perbedaan sedikit, termasuk adanya penentuan jangka waktu pada nikah mut’ah.
Dalam Islam, tidak ada istilah pacaran (perkenalan secara pribadi tanpa ikatan pernikahan) yang sering dipraktikkan oleh masyarakat. Namun di sisi lain, hampir mustahil nikah tanpa perkenalan sebelumnya, terkhusus berbicara dari ati ke hati yang hanya melibatkan dua orang saja. Dan Islam harus memberi solusinya. Nikah mut’ah adalah solusi terbaik dalam hal ini.
Dalam nikah mut’ah, pihak perempuan bisa memberi syarat -sewaktu akad nikah- kepada pihak lelaki untuk tdk melakukan hubungan selayaknya suami-istri, hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja. Ini juga salah satu perbedaan antara nikah mut’ah dengan nikah biasa (da’im), adanya syarat untuk tidak berubungan intim. Jadi saran saya, untuk perkenalan dengan pasangan anda, lebih baik anda menikah dengan akad mut’ah, tetapi dengan syarat tanpa ada hubungan intim dengan bentuk apapun. Dengan begitu, anda bisa terbebas dari dosa pacaran yang tanpa ikatan, selain anda juga tetap terjaga dari ‘kemungkinan buruk’ pra nikah da’im.
Perbedaan bagi seorang gadis dan janda, antara nikah da’im dan mut’ah sama, yaitu untuk gadis HARUS dengan izin wali yang dalam mazhab Syiah adalah ayah, kakek dari ayah, buyut dari ayah dst. Namun jika status perempuan itu janda maka tidak disyaratkan untuk izin wali. Itu hukum aslinya (hukum primer). Namun perlu diingat bahwa, untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan -apalagi kita sebagai orang timur yang halus tata krama- dan jangan sampai berbenturan dengan adat istiadat setempat, maka tidak ada salahnya kita juga meminta izin ibu atau pribadi yang dekat lainnya.
Dalam Islam, dari mazhab manapun, tidak pernah mengizinkan seorang perempuan untuk berpraktik polyandri. Hanya oknum-oknum yang mengatasnamakan Islam akan tetapi mengusung bendera kebebasan ala Barat (Liberal) yang ingin membikin syariat sendiri saja yang berusaha melegalkannya.
Itu saja jawaban saya yang ringkasnya. Jika anda ingin lebih banyak berkonsultasi, terkhusus mengenai tata cara nikah mut’ah yang lebih praktis maka silahkan lontarkan di sini (tanpa perlu saya moderasi), dan akan saya jawab via e-mail ke e-mail anda.
Assalamuaikum Wr. Wb.
Tingggalkan yang remang-remang alias nikah Mut’ah
———————————————
Islam Syiah:
Waalaikumsalam
Bagaimana anda menyarankan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasul? Bukankah itu yang namanya Bid’ah?
Saran saya; “Sarankanlah, janganlah kalian menyalahgunakan penghalalan Mut’ah, sebagaimana janganlah kalian menyalahgunakan legalitas Poligami!”
Assalamu’alaikum
terima kasih.
namun jika ada dilema begini:
1. katakanlah orang yang menikah mut’ah di usia muda, kemudian berjanji untuk tidak melakukan aktifitas seksual dalam bentuk apapun, namun, kalau pada praktiknya, mereka tidak kuasa sehingga akhirnya melakukannya, apakah itu dihitung zina mengingat mereka tidak menepati janjinya?
2. di QS. Al-Mukminun Allah berfirman, “Yaitu mereka yang memelihara kemaluannya, kecuali kepada istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, barangsiapa yang mencari dibalik dari itu, maka mereka melampaui batas.”
dalam hal ini, saya berfikir bahwa ini juga mencangkup istri-istri mut’ah, lalu apakah yang dimaksud memelihara kemaluan itu sebatas hubungan seks mengingat di nikah mut’ah dapat menggunakan perjanjian untuk tidak melakukan ini?
Catatan: pertanyaan ini dalam rangka memahami.
————————————————–
Islam Syiah:
Waalaikumsalam
Pertanyaan yang bagus…
Jawaban dari keumgkinan-kemungkinan (postulat) itu sudah dijawab oleh para Marja’ Syiah Imamiah Istna Syariyah (Jakfary) di dalam buku-buku ‘Kumpulan Fatwa’ (risalah amaliyah) mereka. Di sini, saya akan menjawab sesuai dengan fatwa Imam Khumaini ra. Beliau dalam karyanya yang berjudul ‘Tahrir Wasilah’ pada kitab Nikah, dan pada kajian ttg ‘Syarat-syarat dalam nikah’ di masalah ketiga menyatakan bahwa; Jika terdapat syarat dalam nikah maka syarat tersebut harus dijalankan (selama tidak bertentangan dengan syariat, sebagaimana yang disinggung dalam masalah kedua). Namun, jika ditengah-tengan pernikahan terdapat kesepakatan antara kedua pasangan maka, diperbolehkan untuk membatalkan (meninggalkan) syarat tersebut. Dan tidak ada bedanya antara nikah Da’im ataupun nikah Mut’ah. Ini adalah kesimpulan dari fatwa beliau. Jadi, pada prinsipnya, pemberian syarat diperbolehkan. Namun melanggar syarat dalam nikah pun diperbolehkan selama ada kesepakatan untuk menghapusnya. Jika tidak ada kesepakatan maka hukumnya tetap, HARUS dijalankan.
Namun, jika nikah Mut’ah itu bertujuan untuk pengenalan (baca: pacaran) dan status perempuan adalah perawan (gadis) maka untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan negatif yang dapat merugikan pihak perempuan maka selayaknya pihak perempuan tidak memberi izin pihak lelaki untuk melanggar syarat tersebut. Sekali lagi, demi kemaslahatan perempuan.
Mengenai pertanyaan kedua. Jelas bahwa seorang muslim/mukmin harus menjaga kemaluannya dari yang diharamkan oleh Allah. Adapun maksud dari kata ‘maa malakat aimaan’ adalah budak yang dimilikinya. Sementara sekarang ini sistem perbudakan tidak lagi dapat diterapkan, karena syarat-syarat tertentu yang tidak terpenuhi, ini versi Syiah. Adapun masalah istri-istri dalam ayat itu, lebih umum dari istri Da’im. Karena hubungan antara lelaki dan perempuan dengan akad nikah Mut’ah pun tergolong perkawinan yang meniscayakan perempuan menjadi istrinya. Jadi, menjaga kamaluan dari yang diharamkan oleh Allah adalah hukumnya WAJIB, dan dihalalkan kepada budak dan istri-istri, baik dari nikah Da’im maupun Mut’ah. Jika tidak, dan jika penghalalan khusus pada nikah Da’im saja, maka pertama; berarti Mut’ah bukan nikah, dan ini bertentangan dengan argumen di artikel di atas. Kedua; pertama kali yang membolehkan dan melanggar ayat di atas adalah Rasuldan sahabat-sahabat mulia Rasul, karena mereka melakukan nikah Mut’ah dan berhubungan dengan istri-istri Mut’ahan mereka. Apakah mungkin Rasul beserta sahabat melanggar perintah al-Quran untuk menjaga kemaluan mereka, bahkan melakukan Zina? Naudzubillah min dzalik
Jadi ayat di atas tidak mungkin dipakai untuk dalil pengharaman nikah Mut’ah, dengan alasan menjaga kemaluaan. Karena nikah Mut’ah adalah nikah (bukan diluar nikah yang berhubungan dengan perempuan hasil mut’ah berarti zina) yang meniscayakan pelakunya memiliki hubungan suami-istri yang syah (legal secara syar’i). Apalagi kalau nikah Mut’ah itu dilakukan hanya untuk penghalalan sekedar ngobrol-ngobrol saja, tidak lebih….
assalamualaikum.wr.wb
syukron atas penjelasannya…
sekarang saya jadi tau apa itu nikah mu’tah
semasa kuliah hingga sekarang saya begitu anti dengan ni’kah mu’tah ini…
namun begitu saya membaca blog ini..
saya jadi paham.
ass. wr wb
dalam ayat 24 surat An Nisaa’ istilah ujrah itu diterjemahkan dengan mahar menurut terjemahan Dep. Agama. Sedangkan dalam segi bahasa ujrah itu artinya upah. Nah, pertama, yang saya tanyakan dalam segi bahasa apa bedanya mahar dan ujrah itu ?
yang kedua, apakah sama prosedur akad nikah mut’ah dengan nikah da’im
wassalam
—————————————–
Waalaikumsalam
1- Dalam memahami penafsiran ayat hukum, kita tidak boleh berpegangan kepada terjemahan versi DEPAG yang syarat dengan kesalahan penerjemahan, terkhusus berkaitan dengan penggunaan kata yang kurang tepat dan tidak sesuai dengan redaksi al-Quran. Jadi perlu kepada kamus “Mufradat al-Quran” (Pilologi kosa kata al-Quran), minimnya.
2- Tentu, disaat ada dua hal yang berbeda (seperti terdapat dua jenis nikah; Da
im dan Mut’ah) maka mesti meniscayakan perbedaan. Perbedaan yang prinsip adalah;
a- Terdapat penentuan jangka waktu.
b- Tidak ada kewajiban memberi nafkah, baik zahir maupun batin.
c- Tidak ada saling mewarisi antar pasangan.
Namun dari sisi-sisi yang lain, prosedur nikah ini adalah sama.
@ syiah tai anjing
Kalau memang anda dan mazhab anda kelimpungan dan bangkrut dalil manghadapi argumen blog ini, alangkah terpujnya bila anda santun. Sikap anda apakah mencerminkan watak mazhab anda? Bila begitu cara penyampaian anda, maka dapat kita yakini bahwa MAZHAB ANDA BUKAN BAGIAN DARI ISLAM. Kalau demikian alangkah indahnya mazhab Syiah dalam berargumen dan tentu dapat mewakili Islam secara kaffah.
ada lagi,
1. saya pernah membaca buku yang ditulis Husein* al Musawi, terbitan Al-Kautsar, dia mengatakan pernah pergi bersama Imam Khomeini ke sebuah rumah seseorang dan ketika malam, Imam Khomeini tertarik kepada anak gadis pemilik rumah yang masih kecil karena kecantikannnya kemudian meminta mut’ah. maka akadpun dilaksanakan dan Husein al Musawi pada saat itu mendengar teriakan sakit dari si anak gadis itu sehingga pagi harinya ia menunjukkan ketidaksukaannya kepada Imam Khomeini. imam kemudian menangkap ketidaksukaan itu kemudian menjelaskan bahwa anak kecil itu boleh dimut’ah namun ‘hal itu’ tidak boleh dilakukan.
apakah kabar ini benar?
kalau memang benar, sisi baik dari mut’ah jenis ini apa?
*nama penulisnya agak lupa, sepertinya Husein, karena saya banyak mendapati nama yang berujung pada Musawi yang kemudian tidak setuju dengan beberapa pemikiran syiah.
2. saya membaca buku fiqh dewasa, buku syiah juga, penulisnya… sya lupa, di sana ada penjelasan bahwa Mut’ah tidak boleh dilakukan jika hal itu membuat istri daim kita terzalimi, atau tidak setuju, atau cenderung jadi menafikan kebenaran islam. itu artinya Mut’ah pada situasi tertentu dilarang? lalu menurut Islamsyiah, hal-hal apa saja yang menjadikan tidak bolehnya melakukan mut’ah?
3. Setujukah anda bahwa tidak semua orang diperbolehkan mut’ah?
————————————————
Islam Syiah:
1- MAsalah buku itu, aslinya berjudul ‘As-Syiah wa At-Tashih’ buku yang dipakai oleh pembenci Syiah untuk menyerang Syiah. Banyak kejanggalan-kejangalan di buku itu. Dikatakan bahwa penulisnya adalah mantan Syiah yang tobat, dan dia mujtahid. NAmu sayang, sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga. Ternyata buku itu adalah rekaan kaum Wahaby dan dicetak atas dana dari Saudi, untuk menyerang Syiah. Penulisnya tidak diketahui asal muasalnya. Pemberi gelar ijtihadnya juga gak jelas, bukti kebodohannya tentang konsep Ijtihad dalam Syiah. Mengaku-ngaku sekelas denga ulama-ulama kaliber di jajaran Syiah namun usianya masih kecil sekali (muda dan gak sebanding)….dst. Ini bukti kebodohan mereka.
KArena gak punya argumen yang baik untuk menyerang Syiah maka dibikinlah kisah-kisah bohong murahan semacam itu.
2- Itu kembali kepada konsep hukum primer dan hukum sekunder. Jangankan nikah mut’ah, nikah daim pun juga sama persis. Jika anda mau nikah lagi (daim, bukan mut’ah) dan sebab dari hal itu istri tua akan teraniaya (menganiaya muslim adalah perbuatan HARAM) maka apakah boleh anda melakukan hal mubah/yang dibolehkan (nikah daim) dengan cara haram (menzalimi istri)? Saya kira ini merupakan ukum yang jelas sekali, bak matahari di siang hari.
3- Sekali lagi, jika anda memahami konsep hukum primer dan hukum sekunder maka pertanyaan ini tidak perlu diulang. Jangankan nikah mut’ah, minum kopi saja tidak semua orang diperbolehkan…kalau kopi membikin dia sakit yang parah dan membahayakan maka di saat itu kopi menjadi haram baginya. Jelas?
Seandainya kita nikah mut’ah untuk 1 hari atau kurang dr itu boleh gk?Adakah batasan wktù nikah mùt’ah?
—————————————–
Islam Syiah:
Tidak ada, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Umpamanya, bagi seorang dokter yang ingin memeriksa bagian dalam wanita (tentu yang bukan bersuami) dan pemeriksaan itu tidak terlalu urgen (dharurat, meniscayakan boleh dalam syariat Islam) maka ia bisa mengakad mut’ah pasiennya hanya untuk 1/2 jam saja, atau bahkan kurang dari itu. Ini sekedar contoh kasus saja.
Mohon maaf, pertanyaan saya kok tdk dijawab?
alangkah mudah untuk mempercayai syariat, tetapi akan lebih sulit untuk dapat meyakininya. saya berharap benar-benar mendapat titik terang di mana sesuatu akan benar-benar tidak tersamar. penulis Intisari Islam (… Bahesyti) penerbit lentera, mengatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah pernikahan monogami, namun karena kondisi-kondisi tertentu menuntut seseorang untuk melakukan poligami maka seorang muslim dapat melakukan poligami itu, dan tentang nikah mutah, beliau menjelaskan tentang nikah mut’ah ditinjau dari permasalahan remaja dan beliau tidak membahas nikah mut’ah jenis lain. hal ini jadi memunculkan pertanyaan kepada saya, apakah nikah mut’ah memiliki kebolehan pada kondisi yang tertentu atau dibolehkan selama ada akad antara pria dan wanita pelaku mutah (kalau masih gadis dengan orang tuanya)?
kalau memang pilihan kedua yang menjadi aturannya, mengapa syariat itu dimunculkan saat genting atau saat kondisi berdilema yaitu saat masa perang. sementara syariat nikah daim yaitu diturunkan saat di madinah dan dalam kondisi tidak segenting turunnya syariat mut’ah, saya jadi sempat berfikir bahwa syariat nikah mut’ah memang diberikan untuk masa-masa tertentu. mohon komentarnya.
———————————————————-
Islam Syiah:
Dari pertanyaan anda, terdapat dua pokok permasalahan;
1- Asal muasal penghalalan Mut’ah
2- Batas waktu penghalalan Mut’ah
Memang, asal pensyariatan suatu hukum seringnya -bukan selalunya- diawali dengan fenomena tertentu. Ini yang biasa disebut dengan asbabul wurud al-hukum (sebab kemunculan hukum). Namun, pada masalah yang kedua, sampai kapan hukum syariat itu diberlakukan. Ini kembali kepada kesepakatan para ulama Islam yang menyatakan: “penghalalan (syariat) Muhammad hingga akhir zaman, begitu pula dengan pengharamannya”. Mut’ah pun termasuk dalam bagian ini. Kita coba membaca kembali apakah Rasul pernah menghapus hukum nikah Mut’ah hingga akhir hayat beliau?
Saya dari Mazhab Sunni,setelah saya baca artikel ini dan juga baca hadits bukhari maka saya katakan sebenarnya nikah mut’ah telah diharamkan bersamaan haramnya memakan daging keledai,jadi apabila syi’ah ingin memperselisihkannya silakan saja,karena seperti kita ketahui bersama Syiah tak bisa menerima Hadits dari Sunni maupun sebaliknya. Hal tersebut disebabkan Syiah tak mau menerima Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakr,Umar,dll selain Ali
——————————————
Islam Syiah:
Anda baca lagi di buku hadis muslim yang disinggung dalam tulisan di atas, bagaimana pendapat dan ungkapan beberapa sahabat tentang pelarangan Mutah?
Kita (Syiah) kadang berdalil dengan kitab anda sebagai bukti bahwa;
1- keyakinan kami ada dan disinggung juga dalam kitab-kitab anda.
2- ulama anda -disadari atau tidak- telah membenarkan keyakinan kami, yang mungkin dalam beberapa hal tidak sesuai dengan keyakinan mereka.
3- kitab-kitab anda (sunni) tidak serta merta kami tolak karena kesunnian anda. Sunni menurut Syiah bukan kafir sehingga dengan serta merta harus diisolir. Tolok ukur kebenaran hadis (baik dalam kitab Sunni ataupun Syiah) adalah Al-Quran, kitab suci yang tidak bakal terkena polusi dalam bentuk apapun.
Dasar Agama Sunni dan Syi’ah sudah berbeda,jadi saya rasa Sunni-Syi’ah tak akan bisa bersatu
——————————————————-
Islam Syiah:
Jangan salah antara penggunaan kata ‘agama’ dan ‘keberagamaan’. Tidak ada dalam sejarah agama yang bernama agama Sunni ataupun agama Syiah. Yang ada adalah agama Islam dari mazhab Sunni atau mazhab Syiah.
Masalah persatuan. Jika yang anda maksud dari persatuan adalah ‘peleburan’ maka itu mustahil, sebagaimana antara mazhab-mazhab dalam tubuh Sunni sendiri peleburan juga mustahil. Namun jika yang dimaksud persatuan adalah saling tenggangrasa dan hidup rukun dan damai, kenapa tidak? Dengan pemeluk agama lain saja Rasul telah mengajarkan persatuan dalam arti tenggangrasa koq, kenapa dengan sesama muslim tidak bisa yang hanya berbeda mazhab saja?
assalamu’alaikum,
kalau tidak salah, sebelumnya ada pertanyaan saya… kok hilang? ada apa ini?
—————————————-
Islam Syiah:
Waalaikumsalam
Tidak hilang mas….karena belom dimoderasi. Perlu diketahui, kami akan memoderasi di saat akan memasukkan tulisan baru. Selain itu, setiap komentar yang ada akan terpending dengan sendirinya, karena kami tidak membuka internet setiap hari. 🙂
kalau dalam rangka modernisasi, saya tunggu yaa…
saya trtarik dengan pembahasan ini dan saya igin bertanya
1. Apa perbedaan antara nikah sirri dan mut’ah?
2. Ketika seseorang memutuskan untuk ber mut’ah dan ia ingin melanjutkan dengan nikah da’im bgmana hukumnya? dan bagaimana dengan sisa wkt yang masih ada dlm perjanjian mut’ahnya?
3. Bagaimana cara nikah mut’ah itu sendiri? apakah akadnya HARUS dan WAJIB dengan menggunakan bhs. Arab? atau boleh dengan menggunakan redaksi bhsnya sendiri?
sy sangt tertarik dengan pembahasan ini mengingat zaman yang seperti saat ini sangatlah rentan bagi siapa saja untuk dapat melakukan hal-hal yanng diharamkan oleh agama.
nah..dengan mengenal dan mengetahui ajaran yang ada dlm aga ini smg dpt menambah perbendaharaan ilmu sy dan dpt mempertebal iman sy shg tdk mudah terpengaruh oleh DUNIA.
—————————————————
Islam Syiah:
Sebagaimana namanya, nikah Sirri itu adalah nikah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dalam arti, nikah yang dilakukan tanpa tercatat di KUA. Namun jenis akadnya biasanya sama seperti nikah daim (bikah permanen), bukan nikah mut’ah. Walaupun bisa saja nikah sirri tetapi akad nikahnya menggunakan akad nikah mut’ah, walaupun nikah mut’ah sendiri tidak akan diakui oleh KUA, maka dengan sendirinya nikah mut’ah itu sendiri sudah sirri. Adapun kenapa nikah mut’ah tidak diakui oleh KUA, tentu anda tau sendiri penyebabnya.
Bisa, perpindahan dari nikah mut’ah ke nikah daim secara langsung. Kalau jangka waktunya (nikah mut’ah) masih tersisa maka pihak lelaki bisa menghadiahkannya (hibah) ke pihak perempuan, sehingga dengan sendirinya terputus nikah mut’ahnya. Si lelaki hanya tinggal mengatakan: “Aku hibahkan waktu yang tersisa kepadamu”. Lantas si lelaki kembali berakad dengan akad nikah daim. Mungkin anda bertanya, bagaimana dengan masa iddah si perempuan seusai nikah mut’ah? Dalam fikih Ahlul Bait dinyatakan, jika pelakunya (dari nikah mut’ah ke nikah daim) adalah lelaki sama (bukan lelaki lain) maka tidak perlu iddah. Namun jika lelakinya lain maka perlu iddah, kalau sudah berhubungan badan. Namun jika tidak pernah berhubungan badan maka tidak perlu iddah, walaupun berlainan lelaki.
Perbedaan antara akad nikah mut’ah dan nikah daim adalah dari sisi penentuan jangka waktu saja. Kalau nikah mut’ah harus menyebutkan jangka waktu, sedang nikah daim tidak. Jika seseorang melakukan nikah mut’ah dan lupa atau sengaja tidak menyebut jangka waktu maka jatuhnya hukum nikah daim. Secara hukum aslinya, dalam fikih Ahlul Bait, penggunaan bahasa Arab diharuskan. Jika tidak bisa maka bisa menggunakan teks yang dibaca, tentu dengan dipahami terlebih dahulu maksudnya (dengan proses penerjemahan). Jika tidak bisa membaca huruf bahasa Arab, maka kalimat perkalimat bisa ditulis dengan tulisan latin. Jika tidak bisa membaca maka bisa dituntun. Jika itupun tidak bisa juga maka bisa diwakilkan. Jika tidak ada yang bisa diwakilkan maka baru bisa dengan bahasa sendiri, dengan tidak merubah kandungan akad nikah mut’ah.
Pada prinsipnya, kurang lebih arti dan kandngan akad nikah mut’ah sebagai berikut:
Pihak perempuan mengatakan: “Aku nikahkan diriku kepadamu dengan mahar …. dengan jangka waktu ….(bisa ditambahkan syarat di sini, seperti hanya untuk perkenalan (pacaran) saja, tidak lebih)”. Maka pihak lelaki menjawab: “Aku terima…..”.
Assalamualaikum Wr. Wb
Allahummasoliala Muhammad Wa Ali Muhammad
Saya ingin bertanya sekaligus berpendapat.
1. Syarat apa saja harus dipenuhi dalam nikah Mut’ah,
2. apakah tidak melakukan hubungan badan itu juga termasuk syarat? Jika dalam nikah mut’ah ada syarat tersebut dan wajib dipenuhi saya bisa menerima diperbolehkannya nikah mut’ah
3. Jika dalam nikah mut’ah diperbolehkan berhubungan intim dengan kesepakatan kedua belah pihak. Namun jika Kedua pihak sebenarnya tidak berniat meneruskan hubungan setelah batas waktu yang ditetapkan apa itu diperbolehkan? Jika jawabannya iya, bagaimana jika seseorang
nikah mut’ah-berhubungan intim-selesai
nikah mut’ah lagi-berhubungan intim-selesei
nikah mut’ah lagi-berhubungan intim-selesei
dan seterusnya. Apa seperti itu juga diperbolehkan? Sungguh mebayangkanya saja itu tidaklah berbeda dengan laki-laki yang sering gonta-i pasangan(dlm hal yang intim), perbedaannya dengan nikah mut’ah si laki-laki dapat status yang jelas.
4. Apa yang menjadi sebab seseorang melakukan nikah mut’ah?
5. Apa tujuan Nikah mut’ah?
Pertanyaan saya tersebut diatas semata2 hanya keingintauan saya. Mohon penjelasanya.
Wass.
————————————————–
Islam Syiah:
Wah banyak neh pertanyaannya? he he he
Ringkasnya begini..
1- Secara umum syarat nikah mut’ah gak beda dengan nikah daim. Namun karena ada dua jenis nikah maka pasti ada perbedaan yang membedakan keduanya. Salah satunya masalah, waktu, wajib nafkah, beberapa bentuk syarat.
2- Sebagaimana yang sudah dijelaskan. Di nikah Mut’ah pihak perempuan atau lelaki bisa memberi syarat itu. Tetapi di nikah daim tidak boleh memberi syarat itu. Jika syarat itu dilontarkan dalam akad maka WAJIB bagi keduanya untuk mentaati syarat itu, kecuali mereka sepakat untuk membatalkan syarat tadi. Yang jelas pembatalan syarat itu tidak bisa sepihak. Saya kira jelas di sini. Jika tidak ada syarat maka kewajiban memenuhi syarat tentu akan tiada, lha wong syaratnya aja gak ada koq mau diwajibkan mengikuti syarat?
3- Jika anda berbicara pada hukum primer (hukum asli / awwali) maka itu tidak mengapa. Tapi jika anda bicara ttg hukum sekunder (hukum tsnawi) maka dikarenakan -mungkin- hal itu menyebabkan fitnah maka bisa menjadi haram ataupun makruh, tergantung besar kecilnya madharat yang ada. Makanya kalau anda lihat dalam beberapa kitab Syiah maka anda akan temui Imam Jakfar Shadiq pernah mengharamkan Syiahnya untuk melakukan nikah mutah di Makkah dan MAdinah, itu berdasarkan hukum sekunder, bukan hukum primer. Toch apa yang anda jelaskan tadi juga bisa juga diterapkan di nikah daim bukan? Ada lelaki kawin daim, setelah dua minggu istri dicerai. Kawin lagi dengan yang lain, setelah dua mingu cerai lagi. dan seterusnya….Dan ingat! Dalam kawin mut’ah juga sama dengan kawin daim, istri muta’ahan setelah kawin dan bersetubuh dengan pria, untuk menikah lagi ia harus melakukan iddah, sebagaimana istri daim. Tidak bisa seenaknya dia seperti pelacur yang ganti-ganti pasangan aja. Islam sudah menjabarkan semua itu.
4- Sebab itu kembali kepada pribadi masing-masing, persis seperti nikah daim khan sebabnya macam2…ada yang nikah daim karena memuaskan nafsu saja, ada yang karena mencari warisan karena sang istri kaya, ada yang karena Allah..dst. Jadi masalah motivasi nikah mutah sama persis dalam nikah daim, TERGANTUNG ORANGNYA.
5- Tujuan pensyariatan atau tujuan pelaksanaan? Adapun tujuan pensyariatan sudah disinggung dalam artikel di atas. Jika tujuan pelaksanaan sudah disinggung dalam poin 4.
saya tidak mendapati kesepakatan ulama dalam hal kapan berlakunya dan siapa yang mengharamkan mut’ah.
satu sisi mengatakan dengan bangganya bahwa Umarlah yang mengharamkannya, namun pada redaksi hadits yang lain, dikatakan bahwa Nabilah yang mengharamkannya hingga hari kiamat. saya juga pernah membaca bahwa mereka memang tidak ada kesepakatan, ada yang bilang, bahwa dulu nikah jenis ini pernah diharamkan, dihalalkan kemudian diharamkan lagi hingga hari kiamat.
saya pernah membaca penjelasan dari ali Umar al Habsyi mengenai hal larangan nabi ini yang diriwayatkan oleh Ali bin Abuthalib, dan dia membenarkan bahwa Rasul tidak mengharamkannya, melainkan supaya para sahabat merelakan waktu yang tersisadan segera meninggalkan istri-istri itu. mungkin ini bisa sedikit membuat saya percaya. tetapi alangkah baiknya jika islamsyiah juga membahas hadits yang menguatkan pengharamkan nikah mut’ah.
lagipula, pembahasannya bukan dari segi itu. saya membaca pembahasan ini yang ditulis oleh M.T. Muddaresi dalam bukunya fikih dewasa, ia mencatat adanya suatu kondisi yang tidak memperbolehkan seseorang untuk melakukan mut’ah. kalau memang demikian, perlulah melalui diskusi ini atau melalui pembahasan yang lain mengenai batasan-batasan pelaksanaan mut’ah. kalau memang menurut islamsyiah tidak ada batasan yang dimaksud (artinya siapapun boleh bermut’ah yang penting melaksanakan akad dan disaksikan oleh saksi lantas bisa bergandengan tangan bahkan melakukan sesuai kesepakatan), maka saya jadi punya pertanyaan baru, di manakah sisi baik dari nikah jenis ini?
————————————————-
Islam Syiah:
Jika anda memahami konsep hukum primer dan hukum sekunder dalam kajian usul fikih Syiah maka kebingungan anda itu akan terjawab. Bukan hanya nikah mut’ah, nikah daim pun hukum sekundernya bisa jadi haram, bisa jadi makruh, dan bisa jadi wajib jika kembalikan kepada mafsadah dan madharatnya.
Adapun mengenai pengharaman nikah mut’ah. Jelas menurut Syiah itu tidak pernah ada, kecuali pada kasus hukum sekunder tadi, bukan hukum primernya.
Adapun dalam masalah pengharaman versi ikhwan Ahusunnah, di sini mereka tidak pernah ada kesepakatan. Justru yang mengharamkan atas dasar -katanya / konon- hadis Rasul maka itu dengan mudah dapat dielakkan. Karena problem mereka adalah, mereka akan berbenturan dengan hadis / riwayat yang terdapat dalam kitab yang TERLANJUR dianggap semua isinya SAHIH. Beranikah menentang kitab Sahih yang situ enjelaskan bahwa pengharam nikah Mut’ah bukan Rasul?
Allah tidak pernah membuat hukum yang meremehkan manusia oleh manusia lainnya. Pernikahan adalah sesuatu yang mulia dan tidak ada permainan didalamnya. Poligami adalah sesuatu yang mulai dan sangat sulit dilakukan, kalaupun kita melakukan harus dengan tujuan yang mulia, membentuk keturunan, mendidik anak dan istri menuju Allah. Tapi kalau poligami dilakukan oleh orang yang hanya hamba nafsu sex, pasti kemuliaan itu berganti kehinaan. Dan ajaran yang seharusnya bagus akan menjadi ajang setan untuk menjerumuskan manusia lewat pernikahan. Dan inilah yang sering terjadi, kemuliaan syariat dimanfaatkan oleh oknum untuk mengumbar nafsu berjatnya dan meninggalkan kesengsaraan para istrinya dan dosa kepada pelakunya yang zalim.
Apalagi Nikah Mut’ah yang merupakan khilafiah, bahkan kalau saya pribadi meragukan kehalalannya. Kenapa Nikah Mut’ah diperjuangkan dengan semangat? Apakah hanya karena nafsu? Kenapa perkara yang masih samar dibela habis2an? Bukankah Rasul telah menyuruh kita untuk meninggalkan yang samar2 demi tidak jatuhnya kita ke yang haram? Bukankan setan begitu pintar menjerumuskan kita dalam dosa meskipun dalam beribadah apalagi ibadah yang bernama nikah? Apakah jika yang memperjuangkan Nikah Mut’ah ini, kalau mempunyai anak atau saudara perempuan juga dengan rela menikahkannya dengan orang lain dengan pola Mut’ah yang sebentar?
Islam hanya satu, tidak ada syiah dan sunni. Sungguh saya sangat malu menyaksikan perdebatan pada hal-hal yang tidak penting dan mengabaikan persaudaraan. Mari kita buang jauh-jauh nafsu dalam tindakan apapun, karena setan begitu jeli menjerumuskan manusia.
Kenapa sampai ada yang berpendapat bahwa syiah dan sunni tidak bisa menyatu? Antar mazhab yang dibangun manusia tidak menyatu? Sungguh dia telah menentang Allah karena Allah telah menegaskan bahwa yang menyembah Allah dan mengakui Muhammad sebagai Rasul terakhir adalah saudara Muslim.
Syiah, sunni dan orang2 yang mengkotakkan dirinya menjadi aliran tertentu adalah orang yang tidak bisa menerima pendapat orang lain. Mari kita tinggalkan kotak-kotak yang hanya menimbulkan peperangan dan dosa, kita hanya Islam. Dan kita wajib saling mengingatkan bukan memusuhi dan berdebat yang tidak berguna. Islam menanti persatuan kita.
Allahu Akbar!
———————————————
Islam Syiah:
Kita hanya mengomentari ungkapan anda yang mengatakan: “saya pribadi meragukan kehalalannya.”…anda memiliki dalil Al-Quran dan Hadisnya? Mas, ini masalah hukum Islam lho..jadi jangan main hanya ragu doang, harus berdalil dengan sumber-sumber Islam yang telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Hukum Allah tidak bisa dikira-kira dengan pendapat pribadi (Birra’yi)!!
Loh knapa komentar saya ga dicantumkan ? Padahal saya menulisnya sebelum ksatriaTsugami, kira2 tgl 27. Knapa?
————————————————
Islam Syiah:
Tahu kenapa? Karena bukan ADMIN yang asli yang memoderasikannya. Karena pertanyaan anda agak perlu jawaban sedikit panjang yang gak boleh di-ok-kan selain ADMIN.
Maaf.
1. dalam nikah mut’ah apa juga perlu adanya saksi?
2. dan seandainya harus ada saksi apa saja syarat2 nya yang harus dipenuhi?
3. bagaimana hukum bagi seorang yang melakukan akad dengan tanpa meggunakan b.Arab pdhal dia mampu melakukannya? apakah nikahnya batal/tidak
———————————————-
Islam Syiah:
Pertanyaan 1 & 2 sudah kita jawab dalam pertanyaan sebelumnya.
3- Kabanyakan -hampir semuanya- para ulama pakar fikih dari mazhab Ahlul Bait mensyarati penggunaan bahasa Arab, dan itu syarat syah, kecuali jika terpaksa. Hal itu meniscayakan batal jika tidak dipenuhi. Sekali lagi, kecuali terpaksa.
ASS.WR WB
Salam bagi semua pecinta keadilan. saya terus terang baru masuk dalam forum ini. terus terang saya aga gerah dengan penghujatan-penghujatan yang di lemparkan kepada kaum syiah!saya bukan orang syiah tapi atas nama akal dan keadilan. saya siap berbaris melawan para penghujat tersebut vdengan akal dan keilmuan. terima kasih
nanya nih…
akad nikah mut’ah antara calon suami dan calon istri saja ya? trus,, saksi dan wali bgm? apakah boleh punya istri lebih dari 4, yang semuanya dimut’ah?
trus, kalo hasil pernikahan tsb menghasilkan anak, yang menafkahi siapa?
———————————————
Islam Syiah:
Itu syarat utamanya. Saksi tidak wajib, walaupun kalau ada juga lebih bagus.
Wali harus terlibat dalam masalah perizinan sebelum praktik akad, itu jika gadis. Jika janda maka izin bukan syarat tetapi kalau izin lebih bagus, agar tidak terjadi fitnah, baik yang berkaitan dengan sosial maupun etika.
Keberadaan wali saat akad tidak harus walaupun kalau ada ya jelas lebih baik.
Salah satu perbedaannya dengan nikah daim (selain perbedaan2 yang pernah kita singgung, termasuk keberadaan syarat untuk tidak berhubungan intim) adalah mengenai jumlah. Diperbolehkan melakukan nikah muta’h lebih dari 4.
Jika dalam nikah mut’ah ternyata terjadi hubungan intim dan menghasilkan anak, maka dalam hal ini status anak seperti nikah daim, nafkahnya harus ditanggung suami (ayah sang anak).
Ass..wr..wb
Kebetulan saya baru di blog ini. Setelah melalui kajian secara seksama, Alhamdulillah saya menemukan bahwa syiah-lah yang benar2 mengikuti sunnah Nabi saw yaitu berpegang teguh kepada Al-Quran dan Ahlul Baitnya yang suci. Melalui blog ini, saya ingin tanyakan kepada pak admin maupun saudara2 yang ikut berdiskusi dalam blog ini, di mana saya dapat menemukan komunitas syiah ataupun juga pengajian pengajian syiah terutama di Malang, karena kebetulan saya tinggal di Malang. Mungkin Pak Admin dan Saudara2 lainnya bisa mengenalkan saya dengan orang2 syiah di Malang (kalau bisa juga nomor telponnnya) atau memberi alamat2 yayasan syiah di Malang, karena saya ingin sekali ikut dalam pengajian syiah karena selama ini saya tidak punya kenalan dengan orang syiah, jadi saya hanya bisa belajar syiah dari buku-buku yang di jual di toko buku. Saya juga ingin berkenalan dengan saudara2 syiah dalam blog ini, silahkan hubungi saya di 085646695456. terima kasih sebelumnya. Wassalam…
———————————————–
Islam Syiah:
Waalaikum salam wr wb
Ahlan wa Sahlan….
Silahkan hubungi sayid Mohammad Zen Alatas (085655586857). Insya-Allah beliau akan bisa mengajak anda untuk berkenalan dengan ikhwan Syiah di kota Malang.
Wassalam
salam,
sdr Islam Syiah, anda belum menjawap pertanyaan dari sdr kesatria sughani tentang Imam Khumaini, tentang beliau memut’ah anak kecil ( tgl 3 februari 2009 ) saya juga pernah mendengar berita ini sebelumnya. apakah anda ada bantahan tuk berita ini ?
————————————————
Islam Syiah:
Sudah saya jawab…maaf terlewatkan.
Masalah buku itu, aslinya berjudul ‘As-Syiah wa At-Tashih’ buku yang dipakai oleh pembenci Syiah untuk menyerang Syiah. Banyak kejanggalan-kejangalan di buku itu. Dikatakan bahwa penulisnya adalah mantan Syiah yang tobat, dan dia mujtahid. NAmu sayang, sepandai-pandai menyembunyikan bangkai pasti akan tercium juga. Ternyata buku itu adalah rekaan kaum Wahaby dan dicetak atas dana dari Saudi, untuk menyerang Syiah. Penulisnya tidak diketahui asal muasalnya. Pemberi gelar ijtihadnya juga gak jelas, bukti kebodohannya tentang konsep Ijtihad dalam Syiah. Mengaku-ngaku sekelas denga ulama-ulama kaliber di jajaran Syiah namun usianya masih kecil sekali (muda dan gak sebanding)….dst. Ini bukti kebodohan mereka.
Karena gak punya argumen yang baik untuk menyerang Syiah maka dibikinlah kisah-kisah bohong murahan semacam itu.
Saya pribadi selalunya meminta teman-teman Ahlusunnah yang ingin mengetaui Syiah atau mau diskusi dengan orang Syiah untuk membaca terlebih dahulu buku-buku anti Syiah seperti buku di atas dan buku-buku karya Ihsan Ilai Zahir. Agar kalau mereka bertemu dengan Syiah ada yang bisa didiskusikan, dan mempertanyakan argumen baliknya.
Sedang kita orang2 Syiah “sama sekali tidak gentar” dengan fitnah2 murahan semacam itu. KArena selain kita punya dalil ilmiah yang cukup, kita juga memiliki negara seperti Iran yang juga turut bekerja. Jadi Syiah bukan hanya bisa NGOMONG DOANG…tapi ada contoh konkritnya…belum lagi kelompok-kelompok Syiah lain seperti Hizbullah di Lebanon, yang juga punya link dengan Iran.
Hanya kaum awam dan intelektual rendah saja yang mudah termakan dengan isu-isu murahan itu.
terima kasih atas jawaban anda yang berapi api, saya secara pribadi tidak percaya dengan berita itu, tetapi beritakan harus diklarifikasi.
sahabat saja bisa diragukan kesolehannya. ngomong2 anda punya soft copy dari buku ihsan ilahi zahir ?
apakah mirip buku Al-murajaat, cuma versi anti syiah ?
syukran
—————————————————–
Islam Syiah:
Saya tidak tahu, apakah kitab-kitab itu (karya2 Ihsan I.Z) masih ada atau tidak. KArena kita mendapatkan kitab2nya dulu jauh2 hari sebelum memutuskan diri pindah dan masuk Syiah. Yang saya ingat, waktu itu, di SBY buku2 itu dibagi cuma-cuma. Dan kalau gak salah penerjemahnya adalah pak Bey Arifin.
Lain dengan Murajaat. Kalau Murajaat (Dialog Sunnah-Syiah) itu adalah surat menyurat antara ulama Sunni-Syiah, tetapi karya Ihsan I.Z itu langsungan tulisannya sendiri. Ia tokoh bermazhab Hanafi di Pakistan.
buku yang menyerang syiah karya dari Ihsan IZ, dan beberapa yg dibagikan secara gratis. Ya begtiulah…
TERIMA KASIH ATAS JAWABANNYA.
KESIMPULAN:
pokoknya hukum primernya, nikah mut’ah tidak dilarang.
sedangkan hukum skundernya, nikah jenis itu juga bisa sangat dilarang.
mengenai berita tentang Imam Khomeini yang menikahi anak kecil, boleh jadi memang kabar bohong. terlebih penulisnya, katanya meyakini syiah lantaran keturunan.
untuk para pembaca, mungkin ada sedikit cerita dari saya,
Istri saya adalah orang yang menolak nikah mut’ah. ia membaca kitab Al-Azl tulisan ahlussunnah. ia membaca bahwa Nabi pernah ‘melakukannya(hubungan)’ dengan seorang budaknya bernama, kalau tidak salah Maria Qitbhi. lalu dia berkata: kalau nabi saja boleh melakukan itu, maka… BOLEH JADI MEMANG MUTAH TIDAK PERNAH DIHARAMKAN.
sepertinya saya yakin dengan konsep ini (hukum primer nikah mutah: halal)!
salam…
pa ustad, tulisannya bagus-bagus.
minta izin copy, buat referensi dan disebarin.
boleh kan
terimakasih
——————————-
Islam Syiah:
Waalaikumsalam
Terimakasih, Silahkan.
mas gaseng, untuk yang mirip dengan al murajaat ada, judul terjemahannya “sunni yang sunni”, ini juga termasuk buku yang menyerang syiah. By the way.. syiah tidak akan pernah kawatir dengan hujatan dari pembencinya, justru malah semakin memperkuat karena isunya ya hanya begitu0begitu saja dari dulu.. salam ustadz, kalo pulang jangan lupa dibawakan turbah ya… syukron katsiro..
salam
pa ustad mau tanya, apakah dalam mazhab ahlul bait akad nikah mesti menggunakan bahasa arab? (baru tahu)
kalau ya, bagaimana dengan saya?, ketika nikah tidak menggunakan bahasa arab. padahal saya mampu kalau memang diharuskan.
terima kasih.
Komentarnya bagus2 semua, cuma kaedah nikah mutaah yang lebih detail dari segi peraktiknya juga harus di jelaskan, sebabnya kebanyakan komentarnya lebih banyak membahas soal halal atau tidaknya nikah mutaah, katakan banyak telah sepakat bahwa nikah mutaah itu halal, tinggal penjelasan yang lebih detail soal prakteknya.. seperti bagaimana jika nikah mutaah dengan non muslim misalnya, apa halal atau haram?
—————————————————
Islam Syiah:
Artikel di atas hanya berbicara tentang hukum dan masalah-masalah teoritis saja. Adapun mengenai masalah-masalah praktis yang detail maka silahkan membuka buku-buku fatwa ulama Syiah tentang hal itu…atau merujuk ke yayasan-yayasan Syiah terdekat untuk mendapat informasi yang akurat tentang hukum nikah mut’ah sesuai dengan prosedur hukum Islam yang ada, bukan kira-kira atau kata orang saja. Trimakasih.
ada berita dari koran http://dutamasyarakat.com/1/02dm.php?mdl=dtlartikel&id=15388 . kalau boleh saya poskan
Selasa, 21 April 2009
Nikah Mut�ah Resahkan Kedubes Saudi
JAKARTA�Maraknya nikah berjangka (semacam mut�ah) pria Arab dengan perempuan-perempuan Indonesia membuat Khaled Al-Arrak, Kepala Konsuler pada Kedubes Arab Saudi di Jakarta, resah. Ia khawatir pernikahan macam itu cenderung meningkat jika ulama tidak tegas melarangnya.
�Beberapa orang Indonesia miskin menikahkan gadis mereka dengan orang Arab Saudi dan berharap akan mengakhiri kemiskinan dan penderitaan mereka. Jika Dewan Ulama Senior Islam Arab Saudi tidak melarang jenis perkawinan ini, maka sesuatu di luar kontrol akan terjadi, � kata Khaled sebagaimana dikutip harian Arab News.
Banyak kantor di Indonesia yang memfasilitasi perkawinan semacam itu. Menurut harian Al-Watan, perkawinan dilakukan di hadapan saksi dan seorang wali.
Perempuan ini tidak tahu bahwa pernikahan mereka akan berakhir dalam waktu beberapa hari dan mereka harus menanggung anak-anak dari orang yang akan meninggalkan mereka. Tahun lalu, di Kedubes Saudi di Jakarta menerima 82 anak-anak hasil perkawinan sesaat ini.
�Kami telah menerima pengaduan 18 perempuan yang menjadi korban,� kata Khaled. Kedubes Saudi mengatakan, kasus-kasus yang terdaftar di Kedutaan hanya 20 persen.
Aysha Noor, 22, seorang perempuan Indonesia asal Sukabumi (Arab News menulisnya Sikka Bhumi), 160 km sebelah timur Jakarta, menikah muda dengan laki-laki Saudi. Ketika itu ia berumur 16 tahun. Menurutnya, perkawinan itu akan memberi manfaat bagi keluarga mereka dan mengakhiri kemiskinan.
�Kita di Indonesia menganggap orang-orang dari Mekah dan Madinah sebagai orang yang diberkati. Dia memberi saya mahar Rp 6 juta (sekitar 2.024 Riyal). Mahar itu membantu kita memecahkan beberapa masalah ekonomi. Keluarga saya tidak tahu jika laki-laki Saudi itu hanya ingin mengawini sementara. Setelah beberapa hari dia bayar kami sisanya Rp 3 juta, kemudian ia meninggalkan kami,� katanya. Noor kemudian menikah lagi dengan laki-laki Saudi, sebelum ia menjadi penyanyi dan penari pada sebuah kelab malam.
Ada banyak perempuan Indonesia yang memiliki cerita serupa. Beberapa dari mereka sulit mengurus anak-anak mereka dari suami warga Arab Saudi.
Kedutaan Arab Saudi di Jakarta mencatat, banyak anak-anak hasil perkawinan ini dan kemudian memberinya visa untuk mengenali ayahnya di Arab Saudi. Tapi, banyak bapak-bapak mereka menolak menerima mereka.
Kedutaan juga menerima permintaan visa untuk pernikahan, khususnya untuk warga Indonesia yang ingin menikahkan anak perempuannya di Arab Saudi. Tapi, pernikahan ini seringkali gagal karena masyarakat Saudi memperlakukan mereka sebagai pembantu dan mereka tidak dapat bergabung dengan masyarakat karena hambatan bahasa. Biaya perkawinan itu antara 5.000 Riyal hingga 10.000 Riyal.
SP Dharmakirty, Kepala Bagian Informasi pada Konsulat Jenderal RI di Jeddah, membenarkan hal itu. �Pihak yang berwenang di Indonesia telah mengambil langkah-langkah yang tepat untuk membatasi praktik ini,� katanya kepada Arab News. Ia menambahkan, beberapa orang yang terlibat dalam pernikahan ilegal ini telah ditahan.
Dharmakirty mengingatkan, perkawinan semacam itu cacat hukum dan melanggar peraturan. �Kami menghadapi banyak masalah karena perkawinan yang tidak terdaftar ini dan perempuan yang berasal dari Indonesia menggunakan visa pembantu (pekerja) untuk datang ke Arab Saudi,� ujarnya.
�Beberapa dari mereka kemudian datang ke konsulat untuk meminta nasihat,� tambahnya. (ihj/hdc)
————————————————–
Islam Syiah:
Maaf, jangan salah…itu ‘nikah misyar’, bukan ‘nikah mut’ah’. Para ulama Saudi -dan beberapa negara Arab lainnya- yang terlanjur mengikuti fatwa haram nikah mut’ah namun tidak dapat memberi solusi banyak kasus yang mengharuskan penghalalan nikah mut’ah, akhirnya mereka membikin nikah baru yang dinamai ‘nikah misyar’. Walaupun namanya beda namun dalam banyak hal hampir sama dengan nikah mut’ah, sama-sama kawin kontraknya.
Atas dasar untuk menambah ilmu pengetahuan, saya ada bebarapa persoalan tentang nikah mutaah ini,
1.Jika hukum wali adalah Harus, bagaimana sekiranya wali tidak mengizinkan lantaran ia berfahaman sunni, adakah nikah mutaah masih bisa di jalankan?
2.Adakah mahar itu di berikan selepas akad nikah, atau pun selepas masa tempoh di tetapkan tamat, maka mahar itu baru di bayar?
3.Adakah nikah mutaah itu mewajibkan suami memberi nafkah zahir seperti pakaian, tempat tinggal dan minum dan kewajiban memberi nafakah batin? (adakah berdosa sekiranya tidak memberi nafkah)
sekian, terima kasih atas penjelasan..
—————————————-
Islam Syiah:
Kita jawab secara ringkas;
1- Izin Wali adalah syarat buat mempelai yang masih perawan, kecuali janda. Jika Wali tidak mengizinkan maka nikah tidak akan dapat dilaksanakan.
2- Pemberian mahar tergantung kesepakatan. Jika suami meminta pembayarannya setelah mau habis masa berlaku -mungkin karena masih belum punya uang- dan istri mengizinkan maka tidak mengapa. Tapi jika istri mensyarati kontan maka selepas akad harus langsung dibayar. Yang jelas, Mahar adalah hak istri yang harus diberikan sesuai permintaannya.
3- Salah satu perbedaan nikah Mutah dengan nikah daim (permanen) adalah pemberian nafkah. Suami tidak diwajibkan memberi nafkah zahir maupun batin terhadap istri. Namun jika suami memberi bafkah zahir maka itu tergolong kebaikan (ihsanan) kepada istri saja, bukan melaksanakan kewajiban. Oleh karenanya, nikah mut’ah ini bisa dipakai hanya sekedar untuk ‘mengikat’ saja, biar tidak berdosa di saat berjalan kesana-kemari dengan lawan jenis yang tidak mahram.
ASS..
BAGAIMANA HUKUMNYA NIKAH MUT’AH JIKA TANPA SEPENGETAHUAN ORANGTUA
SOALNYA ANA SUDAH TERLANJUR
DAN SEPENGETAHUAN YANG SAYA BACA SYARTA2NYA KAN TANPA SAKSI SUDAH SYAH
MAJLIS TA’LIM SYIAH DIMALANG ALAMATNYA DIMANA?
WASS…
—————————————–
Islam Syiah:
Salam.
Sesuai dengan fatwa mayoritas Marja’ Syiah, hal itu tidak diperbolehkan. Jika terlanjur maka harus dibenahi ulang, akad ulang dengan meminta izin terlebih dahulu itu jika pihak perempuan tidak berstatus janda.
Kalau boleh tahu, anda membaca dari kitab apa dan karya siapa? Karena dalam Syiah, dibedakan antara buku fikih teoritis dan fikih praktis. Ini yang seringnya membikin rancu sebagian ikhwan yang baru mengenal Syiah, beramal dengan buku fikih teoritis.
Untuk di Malang, silahkan hubungi 085655586857
Assalamu’alaikum,kepada teman2 Ahlu Sunnah, jangan terlalu terpancing dengan omongan teman2 Syiah, karena bisa saja mereka bartaqiyyah. Sekeras apapun teman2 Ahlu Sunnah berargumen dgn data valid, akan dgn mudah dipatahkan oleh teman2 Syiah dengan taqiyyah. Hati2 thdp taqiyyah. Jika teman2 Ahlu Sunnah merasa pengetahuan agamanya “pas2an”, sy sarankan untuk meninggalkan situs ini.
Sudahlah,jgn diambil pusing perkara fitnah-fitnah yang ada, yg penting kita jgn menghina sahabat2 Rasulullah, shalat yang betul, puasa yang betul, omongan yang jujur, berakhlak, jangan bertaqiyyah alias mengibuli orang lain.
Tidak mencaci org seenak jidat…
Kamu-kamu, saya-saya.
Ente bisa saja menghina Umar, Ustman,dan Abu Bakar, tapi ane gak bisa ngehina Ali Bin Abi Thalib karena ane menghormati dan mencintainya. Hal ini mirip2 kayak…orang2 Kristen bisa saja menghina Nabi Muhammad, tapu kita selaku org Islam gak bisa ngehina Nabi Isa, krn kita cinta Nabi Isa.
Sbg bahan referensi temen2 sunni&syiah, silakan baca buku Bidayah Wa Nihayah karya Ibnu Katsir. Bagi yg blm punya, silakan hubungi email sy. Insya Allah akan saya kasih link utk mendownload buku digitalnya…GRATIS!!!
Wassalamu’alaikum.
——————————————
Islam Syiah:
Argumen anda itu akan menggelitik orang yang berakal. Mungkin saja ungkapan anda itu bisa anda ungkapkan ke teman-teman pengikut sekte Wahabi, pengikut setia Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka (kaum Wahabi) bukan hanya dengan Syiah, dengan Ahlusunnah lain pun masih bermasalah. Mudah menuduh syirik, bid’ah, khurafat, sesat dan lain-lain yang sifatnya doktrinal dari ulamanya. Dan hanya ajaran ulamanya saja yang diterima.
Anda tidak tahu apa, bagaimana dan batasan Taqiyah koq bicara dan menvonis kita bertaqiyah. Kalau mau taqiyah, kita tidak menggunakan nama Blog ini sebagai “Islam Syiah”, ini jelas sekali. Bukan seperti teman-teman Wahabi yang memakai nama Sunah, Islam, Muslimah, dst yang bersifat umum (yang dipakai muslim lainnya) tetapi isinya doktrin Wahabisme dari ulama-ulama mereka saja.
Masalah sahabat, saya tidak mau panjang lebar…silahkan baca lagi artikel2 ringkas di blog ini berkaitan dengan sahabat, anda akan tahu bagaimana pendapat Syiah tentang sahabat.
Assalamuailakum,
Islam akan terkotak-kotak menjadi 72 golongan. Hanya satu golongan yang akan selamat kelak, semoga kita termasuk dalam golongan yang selamat , Ya Rabb Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, tunjukkan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, amin .
Wassalam,
Ass. Wr. Wb…
Saudara saudaraku kaum sunni , Bicara pernikahan Mut’ah bukan wajib dan Harus melakukan Mut’ah bagi kaum Syiah sekalipun , ini bicara masalah HUKUM , jika anda mengomentari sesuatu hal yang baru sifatnya KATANYA atau DOKTRIN BUTA maka anda dalami kebenarannya , tidak semua kaum syiah melakukan ini ( Perlu anda catat ) Tapi bicara Kehalalan Nikah Mut’ah ini Mutlak hukum Allah ( Proteslah anda kepada Allah ) jika anda kurang senang dengan hukum itu . Cerdaslah dalam belajar agama , Buang fanatisme dan selimut atas nama kebenaran semu tanpa dasar , cari kebenaran islam yang hakiki apapun itu namanya selama BENAR menurut Allah , Qur’an dan Rosullulah serta keluarga sucinya , Hilangkan kebencian kepada sesama umat manusia di muka bumi ini , kecuali kepada musuh2 Allah yang NYATA.
Semoga Allah membukakan pintu hati kaum muslimin se dunia dan mencerdaskan umat islam agar faham dengan kebenaranNYA ….salam
Allahuma Shali ala Syaidina Muhammad wa ala Ali Syaidina Muhammad..
Assalamu’alaikum Wr Wb
terserah bagaimana saudaraku seiman menanggapinya, yg jelas cara pandang seseorang dalam menafsirkan Al Qur’an berbeda-beda. kalau kami (Ahlussunnah) menafsirkan ayat yg anda sebutkan diatas adalah yg dimaksud nikah pd umumnya (bukan nikah mut’ah/sebentar).
begini saja coba renungkan dari apa yang saya minta beriktu :
“Saudaraku, seandainya engkau beriman kepada ALLAH & Rasulnya, dan engkau punya anak perempuan yang cantik jelita; BOLEHKAH SAYA LAMAR ANAK ANDA UNTUK SAYA NIKAHI MUT’AH UNTUK SATU MALAM SAJA??
trimakasih 7 mohon maaf atas kelancangan saya!
——————————————-
Jawab:
Jawabnya sama dengan pernyataan:
“Saudaraku, seandainya engkau beriman kepada ALLAH & Rasulnya, dan engkau punya anak perempuan yang cantik jelita; BOLEHKAH SAYA LAMAR ANAK ANDA UNTUK SAYA NIKAHI DAN MENJADI ISTRI ke-4 saya”…..
atau sekarang ulama Saudi (yg Wahaby) atau Mesir (yg Sunni) membolehkan nikah Misyar (yg mirip mut’ah) maka jawaban saya sama dengan jawaban anda ketika saya katakan:
“Saudaraku, seandainya engkau beriman kepada ALLAH & Rasulnya, dan engkau punya anak perempuan yang cantik jelita; BOLEHKAH SAYA LAMAR ANAK ANDA UNTUK SAYA NIKAHI MISYAR UTK BEBERAPA SAAT (jam/hari/minggu/bulan) SAJA
assalaamu’alaikum……
alannabi wa ali shalawat……(allaahumma shalli’alaa muhammad wa ali muhammad)
buat sodara sodara yg seiman. bahwa islam di tuntut bagi yg berakal dan mau menggunakan akalnya. (jadi tdk cukup hanya “berakal” saja, tetapi harus bs menggunakan akalnya.) jadi,, apa yg telah di jelas oleh kami (islam syi’ah) semuanya dapat di cerna dg mudah. baik itu dari yg awam maupun yg intelektual…
wassalaam……
nikah Mut’ah…. sudah jelas Haramnya….knapa sih pengen di da’wahin lagi. teman teman saya penganut Syiah. begitu nikah Mut’ah g jadi berpisah karena takut Haram. maka jadilah mereka suami Istri Yang sah dan semuanya tidak ingin lagi ngaji pada guru guru Syiah. orang indonesia g bisa nganut Paham Islam Syiah. terlalu menyesatkan. tolong jangan berda’wah maksiat. kalaulah Mut’ah itu halal tentu semua Ulama dan Ayatullah sedang antri di pintu pintu panti pijat dan rumah rumah pelacuran. yang serinf terjadi di kawasan Puncak. janganlah sekali kali perzinaan jadi syariat… katakanlah dengan golongan anda…berzina diam diam… Ali saja mengaharamkan apalagi Umar, Rosulullah dan ALLAH. sudah pasti haram
——————————
Jawab:
Beda antara teori hukum dan praktik hukum… Hukum ya tetap hukum, sedang praktiknya disesuaikan dengan SIKON…
Anda yakin Islam ‘membolehkan’ nikah sampai 4, kenapa gak anda, guru anda dan teman2 anda lakukan? Semua kawin 4….
Tidak ada argumentasi yang bisa mematahkan ‘dibolehkannya’ nikah mut’ah kecuali berdasar hadis yang masih ada tanda tanya atau perasaan/emosional…
Bukti? Silahkan suruh guru2 anda menjawab artikel itu dengan argumen yang baik dan benar….
…di Cisarua Bogor arah ke Puncak-Cianjur banyak sekali perempuan sundal yg siap setiap saat untuk melakukan “nikah mut’ah”, bahkan konon ada seorang perempuan yg mengaku rata-rata dalam seminggu ia kawin cerai sebanyak 27 kali. ini terungkap saat diwawancarai sebuah TV swasta.
..di Gang Dolly Surabaya juga tersedia fasilitas lengkap “nikah mut’ah” yg buka 24 jam sehari.
bahkan di setiap sudut di kota Jakarta tersedia layanan hotel yg menyediakan perempuan bagi para muslim yg ingin berjuang di jalan Alloh ini, yaitu melakukan nikah mut’ah bayaran….
waouww….
———————————
Jawab:
Jujur saja…silahkan anda datang ke tempat2 yang anda sebutkan itu, ambil sensus dan data…apakah YANG BERKUNJUNG dan YANG DIKUNJUNGI di tempat2 maksiat itu bermazhab SYIAH atau semazhab dengan anda? Bicaralah yang jujur dengan realita hasil survey anda, krn Allah dlm Quran melaknat pembohong…
ya allah membacanya membuat hati menangis…. mengapa masalah penyaluran nafsu membuat 2 mazhab ini bertengkar dan saling menyalahkan ?? kalo memang merasa benar lakukanlah…. kalo merasa tidak benar tingalkanlah… kelah di hari perhitunagn semua akan di adili dengan seadil adilnya..Bukankah Allah itu hakim yang seadil adilnya…
Salam kenal buat admin disini, saya seorang yang awan tentang Mut’ah ingin minta penjelasan bagaimana jika:
1) Satu waktu seorang laki2 (si A) mut’ah dengan seorang perempuan (si B) lalu .,….katakanlah mut’ahnya selesai, menghasilkan seorang anak perempuan (si C) lalu si perempuan (si B) meninggal. laki2 itu terpisah meninggalkan perempuannya selama 20 tahun dgn anak perempuan (si C) kini telah menjadi wanita dewasa.
2) Tanpa mengetahui kalau (si B) meninggal (si A) Mut’ah lagi dengan anaknya (si C)
PERTANYAAN????? HALALKAH (si A) mut’ah dengan (si C) sementar meraka adalah AYAH dan ANAK????
———————-
Islam Syiah:
Semua ulama Syiah tanpa terkecuali sepakat, hukumnya H.A.R.A.M. Silahkan lihat buku2 fatwa mereka secara langsung…
Salam. Saya mau nanya dalam mut’ah kan saksi tidak wajib ya? bagaimana kalau dua orang pemuda pemudi berzina dan ketika mereka ditangkap mereka berbohong sebelumnya melakukan akad mut’ah? mohon pencerahannya.
—————————
Islam Syiah:
Dalam nikah Mut’ah sama dengan nikah Daim, kecuali masalah tidak wajib nafkah, adanya jangka waktu dan tidak saling mewarisi, itu saja…selainyya sama persis. Jadi Mut’ah tdk bisa dilakukan dengan sembrono, harus ijin wali si perempuan dan ijab-qabul yang benar serta prosedural. Ini semua sdh dijelaskan secara detail dalam kitab-kitab fikih Syiah. Tidak seperti yang difitnahkan oleh orang2 yang anti terhadap Syiah