Dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma’rifat. Namun, jika kita lihat hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah. ————————————————————————————-
PERAN MA’RIFAT DALAM MENCAPAI KESEMPURNAAN
Oleh: Muchtar Luthfi
“…Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (Q.S. Az-Zumar:9)
Landasan utama kesempurnaan setiap individu ataupun suatu komunitas terletak pada kualitas ma’rifat (pengetahuan) dan pola fikir mereka. Kesempurnaan tersebut tidak mungkin terealisasi secara utuh tanpa didukung kualitas pengetahuan yang tinggi.Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu dan pengetahuan. Pesan Islam tentang pentingnya peningkatan intelektual dan keilmuan akan banyak kita dapati di berbagai rujukan tradisional yang tidak terhitung jumlahnya. Sebagai contoh, hadis yang berbunyi,: “Tafakur sesaat lebih utama dibanding ibadah tiga puluh tahun.”
Sedemikian tinggi nilai ma’rifat di mata Islam, sehingga ia dikategorikan sebagai paling mulianya ibadah, yang jika dibandingkan dengan ibadah sekian puluh tahun lamanya dan tanpa didasari ilmu dan ma’rifat, maka ia jauh lebih baik dari pada ibadah tersebut.
Allah swt dalam al-Quran menjelaskan bahwa salah satu fungsi diutusnya rasul adalah untuk meningkatkan kualitas keilmuan dan pola fikir manusia, ” ….dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah ….” (Q.S. Jum’ah : 2).
Dalam pandangan Islam, kualitas sebuah perbuatan bisa diukur dari tingkat ma’rifat si pelakunya. Jika pelaku tidak melandasi perbuatannya dengan pengetahuan atau ma’rifat, perbuatannya itu tidak bernilai sama sekali. Dengan kata lain, tingkat kualitas suatu tindakan ditentukan sesuai dengan derajat ma’rifat pelakunya. Semakin tinggi derajat ma’rifat seseorang, semakin tinggi pula kualitas perbuatannya, meskipun perbuatan itu secara lahiriah nampak remeh, sebagaimana yang ditegaskan dalam riwayat “Tidurnya orang alim adalah ibadah.”
Di sisi lain, penekanan Islam dalam pengutamaan kualitas ibadah dibanding kuantitasnya sangat mencolok, seperti yang kita amati dari ayat 2 surat Al-Mulk: “… supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya… “
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt lebih menekankan amal yang terbaik, bukan yang terbanyak. Jelas bahwa amal terbaik adalah amal yang dilandasi dengan ma’rifat.
Imam Abu Ja’far a.s. bersabda, “Wahai anakku! Ketahuilah bahwasanya derajat syiah (pengikut) kita akan sesuai dengan kadar ma’rifat mereka karena aku pernah melihat di dalam “Kitab Ali” (Mushaf Ali) tertulis bahwa nilai kesempurnaan seseorang ditentukan oleh kadar ma’rifat-nya” (Ma’ani al-Akhbar).
Tentu saja, riwayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan ayat yang mengatakan, “… Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu …” (Q.S. Al-Hujurat : 13) karena kalau ditelusuri lebih dalam lagi kita akan ketahui bahwa ketakwaan diperoleh berkat amal saleh dan amal saleh sendiri tidak akan lahir kecuali dari sumber keimanan, sedangkan keimanan ini mustahil dicapai tanpa landasannya, yaitu ma’rifat.
Ringkasnya, ketakwaan tidak mungkin didapati kecuali dengan ilmu dan ma’rifat. Di samping itu, kemuliaan manusia yang dinilai dengan ketakwaannya, juga dinilai dengan sumber ketakwaannya tersebut; yaitu ma’rifat.
Maka, betapa besar perhatian dan penekanan ajaran Islam terhadap nilai ilmu dan ma’rifat, sebagaimana yang ditegaskan firman Allah swt dalam hadis qudsi berikut ini: “Aku ibarat harta yang terpendam, maka Aku senang untuk diketahui. Oleh karena itu, Kuciptakan makhluk agar diriku diketahui” (Bihar al-Anwar).
Penciptaan makhluk yang ada di alam semesta ini, khususnya manusia yang memiliki berbagai potensi, adalah untuk ber-ma’rifat kepada Allah yang merupakan tujuan utama penciptaan. Imam Ja’far Shadiq a.s. dengan menukil riwayat dari kakek beliau, Imam Ali Zaenal Abidin a.s. menafsirkan kata “al-Ibadah” yang tercantum dalam ayat “Tidaklah Kucipta-kan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” (Q.S Al-hujarat : 13), bersabda, “Wahai para manusia! Sesung-guhnya Allah swt tidak menciptakan hamba-hamba-Nya kecuali untuk mengenal (ber-ma’rifat) kepada-Nya” (Biharul Anwar).
Jelas, dilihat dari sisi definisi, ibadah berbeda dengan ma’rifat. Namun, jika kita lihat hubungan keduanya, maka kita akan dapat menilai eratnya hubungan itu, karena bagaimana mungkin kita akan beribadah kepada Zat yang tidak kita kenal, dan mungkinkah kita merasa sudah mengenal Zat Mahasempurna, yang selayaknya disembah dan harus kita tuju untuk kesempurnaan jiwa kita, sementara kita tidak melakukan ibadah kepada-Nya, padahal kita tahu bahwa kesempurnaan jiwa mustahil dicapai tanpa ibadah.
Imam Ali a.s. dalam Nahjul Balaghah membuka khutbah pertamanya dengan ucapan, “Awal agama adalah mengenal-Nya.” Maka, awal yang harus diraih seorang hamba dalam ber-ma’rifat adalah pengetahuan tentang penciptanya yang melahirkan suatu keyakinan. Ia tidak akan mencapai suatu keyakinan tanpa pengetahuan.
Lawan ma’rifat adalah taqlid. Kata ini berarti mengikuti ucapan seseorang tanpa landasan argumen. Maka, taqlid tidak dikategorikan sebagai ilmu. Ia sama sekali tidak akan meniscayakan keyakinan.
Sehubungan dengan ma’rifatullah dalam pandangan Islam, khususnya mazhab Ahlul Bayt, setiap manusia harus meyakini keberadaan Allah swt dengan berbagai konsekuensi ketuhanan-Nya, karena keyakinan tidak mungkin muncul tanpa landasan ilmu dan argumen. Oleh karena itu, Islam melarang taqlid dalam masalah ini.
Tentu saja, manusia tidak mungkin ber-ma’rifat dan mengenal Zat Allah SWT haqqu ma’rifatih (secara utuh dan sempurna), sebagaimana yang dibuktikan oleh akal. Karena, bagaimana mungkin sesuatu yang terbatas (makhluk) dapat mengetahui dan menjangkau zat yang tidak terbatas (al-Khaliq) dari berbagai sisi-Nya. Oleh sebab itu, rasul sebagai makhluk yang paling sempurna pernah bersabda dalam penggalan munajatnya, “Wahai Tu-hanku, diriku takkan pernah mengetahui-Mu sebagaimana mestinya.”
Hal ini tidak berarti kita bebas dari kewajiban1 mengenalnya2, Imam Ali a.s. pernah menegaskan, “Allah swt tidak menyingkapkan hakikat sifat-Nya kepada akal, kendati Dia pun tidak menggugurkan kewajibannya untuk mengenal diri-Nya” (Nahjul Balaghah).
Setiap ilmu dan ma’rifat, khususnya ma’rifatullah, yang dimiliki oleh setiap individu ataupun suatu komunitas sangat berpengaruh pada perilaku moral dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kita bisa bandingkan mereka yang meyakini pandangan dunia Ilahi dengan mereka yang menganut pandangan dunia materialis. Kelompok kedua ini menganggap bahwa kehidupan manusia tidak memiliki kepastian dan kejelasan tujuan yang harus ditempuh, anggapan yang bermuara dari keyakinan bahwa kebermulaan alam ini dari shudfah (kebetulan), sehingga mereka melihat bahwa kematian merupakan titik akhir dari kehidupan dan manusia menjadi tiada hanya dengan kematian. Kematian itu akan menghadang setiap orang tanpa pandang bulu, zalim maupun adil, berbudi luhur maupun tercela.
Maka, ketika anggapan-anggapan tersebut menjadi dasar pengetahuan, sekaligus menjadi dasar keyakinan, mereka hidup sebagai hedonis yang selalu berlomba untuk mencari segala bentuk kenikmatan duniawi dan menganggapnya sebagai kesempurnaan sejati yang harus dicari oleh setiap orang, sebelum ajal mencengkeram mereka. Menurut mereka, tidak ada sesuatu yang lebih sakral dibanding kenikmatan hidup ini, dan nilai-nilai moral seseorang akan terus berubah seiring dengan perubahan situasi dan kondisi dunia dengan berbagai atributnya, sehingga standar etika mereka adalah segala hal yang berkaitan dengan prinsip materialisme dan hedonisme.
Berbeda dengan pandangan agama samawi, khususnya Islam. Bertolak dari prinsip tauhid3 muncullah keyakinan-keyakinan, seperti adanya tujuan-tujuan pasti yang tak pernah sia-sia di balik penciptaan alam semesta ini, termasuk penciptaan manusia, sebagaimana firman Allah SWT, “Apakah engkau menyangka bahwa telah kami ciptakan dirimu (manusia) dengan kesia-siaan, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?” (Q.S. Al-Mu’minun : 115)
Oleh karena itu, kematian menurut mereka bukanlah akhir dari kehidupan. Sebaliknya, ia lebih merupakan gerbang awal dari kehidupan abadi. Maka, suatu keniscayaan bagi Allah swt Zat yang Maha adil dan Maha tahu akan setiap gerak perilaku makhluk-Nya, untuk menjadikan suatu alam selain alam dunia ini sebagai tempat pertanggung-jawaban atas setiap perbuatan manusia selama masa hidupnya di dunia.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa hanya Allah swt satu-satunya Zat yang Mutlak dari berbagai sifat kesempurnaan, sehingga jika kita dapati kebaikan dan keindahan di alam fana ini, maka itu merupakan bentuk manifestasi (penjelmaan) kebaikan dan keindahan-Nya.
Yang dimaksud dengan “manusia sempurna” adalah suatu derajat di mana manusia telah mampu mencapai bentuk penjelmaan sifat-sifat Ilahi dalam dirinya, sekaligus berhasil menjauhkan diri dari berbagai sifat yang harus dijauhkan dari sifat-sifat Allah swt. Hal inilah yang selalu dianjurkan oleh Rasul dalam sabda beliau: “Berakhlaklah dengan akhlak Allah.“
Dalam konteks ibadah4 sehari-hari, kita selalu dianjurkan berniat untuk taqarrub, yaitu mendekatkan diri kepada-Nya. Taqarub di sini mengisyaratkan pada tasyabbuh (penyerupaan diri dengan sifat-sifatNya). Semakin bertambah kualitas dan kuantitas manisfestasi sifat-sifat kesempurnaan Ilahi dalam diri asyiq (seorang pecinta Tuhan), niscaya ia semakin dekat dengan ma’syuq-nya (kekasih), begitu pula sebaliknya. Jika manifestasi itu minim dan pudar, atau bahkan tidak ada sama sekali, ia akan selalu jauh dari penciptanya.
Berbicara tentang penyerupaan sudah menjadi hal yang wajar bagi seseorang mencintai sesuatu. Ia akan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang mengingatkan dirinya kepada kekasihnya seperti; meniru gaya hidup, mencintai apa yang dicintai kekasihnya dan seterusnya. Begitu juga jika ia membenci sesuatu, maka ia selalu berusaha untuk melupakan dan menjauhkan diri dari apa yang ia benci. Demikian pula yang dialami oleh pecinta Ilahi.
Perlu ditekankan bahwa jauh-dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya bukan berupa jarak materi, tapi merupakan tingkat manifestasi sifat-sifat Ilahi pada diri hamba tersebut, karena kesempurnaan Ilahi tidak teratas, sementara manusia diliputi oleh berbagai macam keterbatasan. Oleh sebab itu, perjalanan untuk liqa’ (bertemu) dengan Allah swt5 pun tidak berbatas.
Untuk sampai dan bertemu dengan Tuhannya, para salik akan melalui banyak rintangan, berupa hijab (tabir-tabir penghalang) yang harus ia singkirkan untuk sampai pada tujuan yang dia rindukan. itu semua perlu usaha optimal, baik berupa pengetahuan yang bersifat teoritis ataupun aplikatif nyata. Karena, tanpa pengetahuan yang maksimal, suluk seorang hamba tidak akan bisa terwujud. Bekal ilmu seorang salik yang terbatas akan menjauhkan diri dari tujuannya. Imam Shadiq a.s. bersabda, “Seorang pelaku perbuatan tanpa landasan pengetahuan ibarat berjalan di luar jalur yang akan ditempuh. Semakin cepat ia bergerak, tidak akan menambah (cepat sampai tujuan), akan tetapi malah semakin menjauh (dari tujuan).” (Ushul al-Kafi)
Kegagalan perjalanan seorang hamba dalam mencapai tujuannya disebabkan oleh bekal pengetahuan yang tidak cukup, karena pengetahuan yang minim menyebabkan kerancuan memilah baik dari buruk, keyakinan yang benar dari yang salah, juga niat yang tulus dari yang tercemar oleh syirik atau bisikan setan; memperdaya dan menipu dengan berbagai angan dan khayalan, sehingga menerjang apa yang harus dihindari dan meninggalkan apa yang harus dilakukan. Maka, bagaimana mungkin seorang hamba yang rindu bertemu dengan kekasih sejatinya dan mendapatkan keridhoan-Nya, sementara ia menempuh jalan yang tidak diridhai, bahkan dibenci oleh sang kekasih.
Seperti yang telah kita ketahui ilmu tanpa amal ibarat pohon tak berbuah. Ilmu tidak akan memberi manfaat apapun bila tidak diamalkan. Allah swt berfirman dalam surat Al-Jatsiah ayat 23, “Maka pernahkan kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya.” Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu tidak menjamin orang untuk mendapatkan hidayah (petunjuk). Sedangkan penyesatan yang dilakukan oleh Allah swt terhadap orang yang berilmu tadi, hanya karena ketaatan mereka kepada hawa nafsu dan ketidaksesuaian amal mereka dengan pengetahuannya.
Allamah Thabatha’i r.a. dalam tafsir al-Mizan dalam mengomentari ayat di atas menjelaskan bahwa pertemuan ilmu –tentang jalan yang harus ditempuh– dengan kesesatan bukan suatu kemustahilan. Bukankah Allah swt berfirman, “Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan, padahal hati mereka sungguh meyakini kebenarannya” (an-Naml:14)..
Tidak ada konsekuensi antara ilmu dan hidayah atau antara kejahilan dan kesesatan. Akan tetapi, petunjuk (hidayah) merupakan penjelmaan ilmu di mana si empunya (alim) selalu komitmen dengan ilmunya, namun jika tidak, maka kesesatan akan menimpanya walaupun ia berilmu.
Dalam kehidupannya, terkadang manusia melupakan apa yang disebut dengan maslahat universal yang harus ia raih, sehingga ia lebih mengedepankan maslahat7 semu di depan matanya dibanding
maslahat jangka panjang yang hakiki. Dalam meraih hal semu tersebut tak jarang ia menggunakan dengan cara-cara yang bertentangan dengan perintah Allah dan lebih mengikuti hawa nafsunya, “Terangkan kepadaku tentang orang-orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya…” (Q.S. Al-furqan : 43).
Oleh karena itu, dalam menuju kesempurnaan abadi dan maslahat hakiki, selain diperlukannya ma’rifat sebagai pondasinya, juga tarbiyah yang dalam bahasa al-Quran disebut tazkiyah (penyucian diri) sebagai salah satu fungsi diutusnya rasul, “…Yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka dan mengajarkannya ….” (Q.S. Al-jum’ah : 2). Tazkiyah inilah sebagai pilar utama dari tegaknya bangunan kesem-purnaan jiwa manusia.
Semoga Allah swt selalu memberi taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dengan perantara Rasul dan keluarga suci beliau. Amin.
Daftar pustaka:
1. Asykewari. Mabani-e nazari wa amali-e ahlaq.
2. Jawad Amuli. Tafsir-e maudhu’i.
3. Allamah Thaba’thaba’i. Tafsir Al-mizan.
4. Syuja’i. Maqolaat.
________________________________________
1. Wajib mengenal Allah telah ditetapkan oleh argumen akal ataupun nash Islami ( Al Quran dan hadis) sebagaimana tercantum dalam pembahasan akidah. Bagi ikhwan yang ingin menelaah argumen-argumen tersebut bisa merujuk pada buku-buku dan bahasan-bahasan tentang akidah.
2. Ada satu kaidah yang berbunyi, “Apa yang tidak bisa diketahui semuanya jangan ditinggal semuanya.”
3. Khususnya dalam pembahasan “tauhid fil hakimiyah” (salah satu topik dalam akidah).
4. Ibadah yang dimaksud di sini lebih umum dari bentuk peribadatan seperti salat, puasa, haji dan seterusnya, tapi mencakup perilaku kita sehari-hari.
5. Yang dimaksud “bertemu dengan Allah” ialah dikarenakan Dia hadir dalam setiap tingkatan (maqam) kesempurnaan yang dilalui oleh setiap musafir Ilahi dan dalam setiap maqam itulah sang musafir mendapati penampakkan (tajalliat) perwujudan Ilahi. Tentu dengan kadar dan tingkatan yang berbeda-beda. Jadi yang dimaksud dengan bertemu dengan Allah bukanlah sampainya tujuan akhir bagi sang musafir, karena Allah Zat yang tidak berawal dan berakhir.
6. Hal tersebut karena ia telah diperbudak nafsu dan setan : “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah swt melainkan dalam keadaan musyrik.” (Q.S. Yusuf : 106)
7. Pada hakekatnya bukan maslahat tapi mafsadah yang telah dihiasi oleh setan seakan-akan adalah maslahat.
Tulisan bagus dan mencerahkan……..
kemanakah saya kalau ingin lebih jauh mengenal syiah di Jakarta. Terus terang kalau harus lgs ke kedutaan Iran saya sedikit segan dan mungkin terkendala bahasa. Bisakah email ke saya infonya?.
Terima kasih sebelumnya
——————————————–
Islam Syiah:
Bisa hub ICC-Alhuda Jakarta yang terletak di Jl Buncit Raya
Ini adalah salah satu kelebihan yang dimiliki Syiah. Ma’rifat (pengetahuan) diletakkan sebagai dasar segala sesuatu. Ma’rifat adalah awal agama. “Awal agama adalah mengenal Allah”. Yang pada syariat (aturan)pun akhirnya didasari dengan pengetahuan (ma’rifat). Hakikat didasari Ma’rifat (pengetahuan). Thariqat (jalan) juga didasari ma’rifat. Bukan malah sebaliknya, dimana ma’rifat diposisikan pada akhir setelah syari’at, thariqat dan hakikat.
Maka Syiah Imamiyah adalah jalan yang lurus. Karena didasari dengan ma’rifat (pengetahuan).
Salam hormatku untuk situs Islam Syiah.
berjuang tanpa pamrih dan tegar menghadapi rintangan, dengan tujuannya hanya agar umat menjadi tahu.
Aku aku menjadi malu terhadap diriku sendiri. Dari ilmuku, juga dari usahaku untuk menyampaikan kebenaran Islam ini.
Salam…
Tuhan menciptakan Muhammad sbagai Rahmat untuk sekalian Alam..
“Dan kepada dirimu mengapakah kamu tidak memperhatikan??”
Kamu juga rahmat itu…
Bnar aP kTa aNda.. Rosululllah saw pNy ilmu 4 paNgkaT yaiTu 1. SyariaT 2. Hakikat 3. Ta’rikat 4. Ma’ripat. Ma’rifat adlh ilmu pamungkas, Arti kTa ma’rifat adlh (mengenal) mengenal zat Allah.. Dn benar aP kTa aNda TenTang penampakan (Tajalliat) perwujudan ilahi. Yang saya Tanyakan.. Apa anda sudah berma’rifat?… Apa saaT ini anda sudah ma’rifat?.. Tolong d jwb.. Anda bs kiriM LewaT email pribadi saya. iduy_valentine@yahoo.com
—————————————-
Islam Syiah:
Jika anda memahami betul kandungan tulisan di atas, serta memahami betul relasi antara syariat, tarekat, hakekat dan makrifat dalam kajian tasawuf maka anda seharusnya paham bahwa, kajian makrifat di atas bukan ada kaitannya dengan kajian tasawuf yang berkaitan denga relasi keempat hal tadi.
Maksud dari kajian di atas tentang pentingnya ‘makrifat’, makrifat dalam arti pengetahuan agama secara umum. Jadi gak ada kaitannya dengan kajian tasawuf yang anda singgung itu. Amal tanpa ilmu tidak akan membawa hasil yang maksimal, bahkan seringnya menyesatkan. Itulah singkatan dari kajian di atas.
Ass..
Kalo di jogjakarta dimana ya saya bisa mengenal syiah lebih jauh? Bagi saya, syiah sangat menarik dan menambah keimanan saya. Tp saya masih sangat awam dalam ilmu agama. Tolong Infonya ya..
Allahummasoliala muhammad wa ali muhammad
——————————————-
Islam Syiah:
Waalaikumsalam
Ada yayasan Rusyan-Fikr di Yogyakarta. Saya sendiri belum pernah ke sana sehingga tahu alamatnya. Silahkan hubungi ICC-JKT utk menanykan almat yayasan tersebut. Buka situs ICC, http://www.icc-jakarta.com
SUFI – SYI’AH – YAHUDI+NASHRANI= BENAR-BENAR BAGAIKAN PINANG YANG TAK TERBELAH.
—————————————
Islam Syiah:
Anda bisa tetapkan secara ilmiah dengan argumen yang kuat? Ataukah anda hanya karena cemburu intelektual dan spiritual terhadap kaum Syiah saja, sehingga daripada gak bisa fitnah Syiah dengan cara yang baik, ya pakai jalur asal tuduh aja? Mas, Syiah akan terus berkembang sebagaimana perkembangan intelektual dan spiritual dalam diri Syiah sendiri…Syiah semakin dicaci semakin dcari…
Silahkan lanjutkan sakit hati dan fitnah anda…karena itu akan menjerumuskan diri anda sendiri. Ingat, ada siksa kubur sebelum siksa neraka!
ada juga yang masih sakit hati dengan perkembangan syiah?
ada-ada saja.
Artikel yang sangat bagus…
Saya sangat setuju dengan kajian Bapak diatas …….beribadah tanpa mengenal Zat yang kita sembah menjadi musryik adanya…..mari kita renungkan bersama……Apakah kita hanya menyembah Asma tanpa tahu yang disembah…moga situs ini menjadi penyambung silaturachmi dan tukar pikiran kita bersama bukan ajang debat…seperti komentar Mas Abu Jufri…. ada masih perlu membersihkan Kalbu Anda
Asalamualaikum wr-wb?
Salam sholawat?
Sya Ngerti aP mksud islam syiah, sya dpt memahami it.
“awalidin wajibin alal insani makrifatulah bil istiqon”
(awalnya agama wajib mengenal zat allah ta’ala dgn seyakin2nya)..
bwt ap kita shalat (nyembah) klo tdk tau yg pny shalatnya (yg di sembahnya).
Bwt ap kita Mencari sorga klo tdk tau yg pny sorganya.
“Ashadu anlailahailallah”
(aku bersaksi tiada tuhan selain Allah)
semua orang tau “Bersaksi” itu dgn penglihatan bkn dgn ucapan..
Ttp dgn pnglihatan yg bgaimana?
Dlm hadist: “Man aropa nafsahu pakod aropa robahu”
(Barang siapa mengenal dirinya pasti Mengenal tuhanya) knali dirimu pasti knal tuhanmu.
Dlm hadist: mengenal Allah didunia bkn lah dgn Mata kasarmu (dzohir), tetapi Mengenal Allah didunia dgn maTa Hatimu (Batin).
Jd jlas ksMpurnaanya Manusia adlh Mengenal tuhanya..
Ass..saya kagum dengan artikel nya…
Begitu saya membaca Artikel ini saya terkagum-kagum gembira….ada orang yg baik hati untuk memberi tau apa yg tidak orang lain ketahui… Saya cuma mau tambah sedikit …artikel yg bagus ini…maaf ya mas..
Syariat = fitnah ..gak perlu di perdepatkan lagi itu rahasia allah..
Makrifat itu bukan teori tapi praktek..
Sekiranya saya mohon ampun pada allah. saya tidak bermaksud merusak tali silatur rahmi.. Saya mohon maaf pada pembuat artikel.. Saya cuma mau shering,mungkin bisa bermanfaat.
Weleh weleh seru…. Mantep. Semua hidayah Allah … Jangan mudah menyalahkan orang lain mari belajar bersama, dengan izin Allah… Insa’ Allah hidup lebih terang dan tentram….
sy bersyukur dan bertrimakasih kepada dzat yg suci, rohman rohim, dan yg agung bawasanya saya tlah di sadarkan atas apa yg sy lakukan pada masa lalu sangatlah tercela dan sy bersyukur tlah di pertemukan dgn seorang guru yg marifatnya yg hampir mencapai tingkat kesempurnaan dan mau mengajari dan membimbing saya ke jalan dzat yg suci dan sempurna.
MARIFAT ADALAH MENAL ALLOH KALAU MARIFAT TULLOH ADALAH ia yakin apa yang di kerjakan atas perintal alloh dan ia benar benar iman dan menjalan kannya . kalau marifat tu…l..loh 7 yang ia harus ia patuhi .1) patuhilah kedua orang tua kita . 2)patuhilah kedua mertua kita baiik buruk jelek bodoh kerena dia yg membesarkan istri kita atau suami kita. 3)patuhilah orang tua angkat kita .4) patuhilah dan hormatilah orang 2x tua di sekeliling kita. patuhilah guru petunjuk kita yg mengajarkan ahlah yang baik kepada kita. 6)patuhilah pemimpin negara kita atau ikutilah peraturanya .(7 adalah artinya dari semua yg tadi di bukan patu lagi tapi imanlah kepada alloh insa alloh kamu selamat dunia akirat. kalau kamu tidak patuh dari yg salah satu tadi gimana kamu bisa dikatakan selamat di dunia klw kamu tidah mematuhi pemimpin negara karena dia sebagian adalah wakil alloh juga mengurus alam ini yg kita tinggal.klw di antara kita ada yg membangkang sama pemimpin negara apa lagi atas nama ormas itu udah salah besar berarti dia bukan orang islam .jubah nya aja yg islam tapi manusianya dan sifatnya adalah iblis dan dajal bewujud manusia. klw islam yg sesunguh nya ia cinta damai .di sinilah kiayi ,habib.ulama yg salah meracuni anak cucunya nabi adam ya kita kita ini anak cucunya .disitulah kita bercerai berai ullah kiyaii, habib dan ulama maka tanpa kita sadari iblis dan dajal sudah turun ke muka bumi. semua agama benar engga ada yang salah yg salah adalah manusianya . pada sekarang ini semua agama pada menunggu kehadiran para Nabi nya masing masing ia pada ingin menunjukan semua nya pada benar . gimana para Nabi dan ROSUL membenar kan kita semua tapi kalau ulah dan pikiran kita banyak merugikan orang. sedang kan ROSUL sendiri tidak mengakui semua umat nya benar tapi hanya sebagian kecil lah yg ia akui ber fikirlah semua umat
Blognya bagus sekali…
pencerahan ttg amal dan ma’rifat,,
Syariat, tharikat, hakikat dan ma’rifat adalah jalan yang lurus kembali pd Allah.SWT…
jadi, sebatas yg bisa kita tempuh adalah karena Allah menghendaki..
Tiada Ilmu yang salah, setelah pengetahuan itu datang kepadaMu.^^