Muslimin tidak pernah kalah melawan musuh-musuh eksternal, tapi ketika di dalam benteng mereka mulai bermunculan musuh dalam selimut baik disadari atau tidak, maka saat itulah kekalahan mereka berangsur-angsur datang. Serangan musuh-musuh Islam sekarang juga lebih terfokus pada serangan budaya dan peradaban, strategi mereka sama dengan strategi Muawiyah pada waktu itu, perbedaannya hanya dalam objek-objek parsial yang tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Target pertama mereka adalah memecah benteng sakralitas tiga tonggak keislaman, yaitu al-Qur’an, kesucian Nabi saw. dan akal budi.
————————————————————————–
Setiap Hari Asyura, Setiap Bumi Karbala
Oleh: Nasir Dimyati
Pengantar: Manusia dan Tuhan
Dahulu kala! Hanya Tuhan yang ada dan yang selain-Nya tiada. Suatu hari Tuhan Yang Baik ini ingin menciptakan hamba agar dia dapat mengenal dan mencintai-Nya. Selama hamba itu mencintai-Nya Dia pun senantiasa mencintai hamba-Nya, tapi ketika di antara hamba-hamba-Nya ada yang berlagak sombong dan mulai membangkang maka Dia pun mulai meninggalkan mereka.
Lama sudah Tuhan meninggalkan hamba-hamba-Nya, hanya sesekali waktu saja Dia menjalin hubungan mesra dengan sebagian hamba-Nya yang setia. Tentunya, ketika Tuhan tidak ada di tengah kerumunan hati hamba-hamba yang durhaka tersebut maka mereka mengobral berbagai kata yang dinisbatkan kepada Tuhan Yang Menciptakan mereka, mulai dari kata yang pantas sampai kata-kata yang tidak pantas.
Sampai akhirnya, segelintir hamba yang setia dan kekasih Tuhan datang mengingatkan mereka pada hakikat dan firman-firman-Nya. Ternyata, hamba-hamba yang sudah jenuh dengan omongan kotor seputar Tuhan terkejut, terjaga dan kemudian menerima apa yang disampaikan oleh utusan Tuhan tadi. Saat itu mereka kembali beriman dan mendengarkan firman-Nya dan Tuhan pun kembali damai dan karib dengan mereka.
Secara perlahan, gumpalan-gumpalan batu es penghalang mulai mencair sehingga hamba-hamba menjadi sangat karib dengan Tuhan, begitu dekatnya sehingga hamba-hamba yang baru lahir kembali ini dapat dengan mudah melihat dan mendengar-Nya, kala itulah mereka sadar betapa baiknya Tuhan mereka.
Tuhan rela melihat sikap hamba-hamba-Nya yang dengan senang hati mendengarkan dan mematuhi firman-Nya, Dia kembali bersahabat dengan mereka, dan pada waktu itulah mereka sadar betapa kotornya kata dan ulah yang pernah mereka ucapkan dan lakukan terhadap Tuhan dahulu, ternyata Tuhan bukan seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. Di saat bangun dari tidur panjang itu, mereka sadar bahwa banyak sekali umpatan dan kata-kata mereka tempo dulu yang harus dibuang ke tong sampah karena Tuhan sama sekali berbeda dengan yang mereka kenal saat ini.
Itulah gambaran singkat perjalanan hidup manusia di hadapan Tuhan. Sudah di manakah kita berada?
َبلِ الاِنسَانُ عَلَی نَفسِهِ بَصِیرَةٌ [1]
Agama dan Imamah
Agama, kata lain dari suratan hakikat dan firman Tuhan yang disampaikan oleh hamba-hamba terdekat-Nya. Muhammad datang mengumandangkan agama penutup semua agama dan paling sempurna sepanjang masa. Agama selalu diturunkan oleh Allah sesuai dengan kapasitas masyarakat. Terkadang agama yang disampaikan oleh kekasih Tuhan hanya mengatur personal keluarga karena kehidupan mereka yang masih sangat terbatas, masing-masing dari mereka mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan mereka sendiri sehingga tidak dibutuhkan perimbangan ekonomi sosial. Itulah sebabnya aturan yang turun pada agama ini hanya atau lebih menekankan sisi individual amal, contoh kongkritnya adalah perintah untuk berkorban di jalan Allah swt. supaya manusia tidak tergantung pada harta dunia. Zakat kala itu digunakan tidak lebih dari makna bahasanya dan sekedar untuk lebih mendekatkan manusia pada Tuhan serta membersihkan dirinya;
] وَاتلُ عَلَیهِم نَبَأَ ابنَي آدَمَ بِالحَقِّ اِذ قَرَّبَا قُربَانًا فَتُقُبِّلَ مِن اَحَدِهِمَا وَ لَم یُتَقَبَّل مِنَ الآخَرِ.2]
Pada tahapan dan periode berikutnya, yaitu kehidupan kabilah dan suku, zakat mempunyai fungsi tambahan yaitu fungsi sosial mengentaskan kemiskinan. Zakat bukan hanya berfungsi sebagai pembersih harta pemiliknya dan melepaskan dirinya dari ketergantungan pada dunia tapi juga berfungsi sebagai pembersih kehidupan masyarakat dari kemiskinan.
Selanjutnya puncak kehidupan manusia adalah kehidupan sosial-global tanpa batas teritorial. Oleh karena itu agama yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw, bersifat multi dimensi dengan beragam aturan yang sangat teliti dan detail seperti undang-undang perekonomian zakat, khumus, sedekah, muamalah, warisan, wasiat, diyah, kaffarah dan lain-lain yang selain dimaksudkan untuk menggunting pusar ketergantungan manusia pada dunia dan mengentaskan kemiskinan juga sekaligus untuk mengatur sistem perekonomian individu dan sosial. Memang benar, dalam periode-periode sebelumnya ada juga hukum-hukum muamalah tapi hukum itu besifat global dan kita tidak menemukan hukum-hukum yang terperinci dalam hal pertanian, penyiraman, mudhorobah, dan lain sebagainya.
Sudah jelas bahwa agama–dengan berbagai paket di dalamnya—diturunkan untuk dipraktikkan oleh umat manusia karena itulah satu-satunya jalan yang dapat menjelaskan hikmah dan kebijaksanaan Tuhan dalam menurunkan agama dan mengutus para nabi. Dengan kata lain, agama—khususnya yang paling sempurna dan terakhir—butuh pada kekuatan dan kekuasaan dalam penerapannya.
لَو اَنَّ لِي بِکُم قُوَّةً اَو آوِي اِلَی رُکنٍ شَدِیدٍ قال[3]
Jika dalam periode-periode sebelumnya seseorang atau satu kaum dapat berhijrah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mempraktikkan agama mereka, tapi pada puncak periode kehidupan manusia sekarang ini, hijrah tersebut tidak terlalu berguna, karena dari satu sisi dunia sudah menjadi desa kecil yang mudah dijangkau dan di sisi yang lebih penting agama yang diturunkan oleh hamba kekasih Tuhan Muhammad saw. adalah agama penutup yang abadi, universal, dan tidak mungkin mengalami distorsi secara total. Rahasia keabadiannya terletak dalam beberapa hal seperti elemen imamah, elemen ijtihad, undang-undang tetap dan berubah, pertalian erat dengan akal, komprehensivitas, keharmonisan dengan fitrah, dan ketidakterbatasan al-Qur’an untuk kaum dan masa tertentu.
وَ مَا اَرسَلنَاکَ اِلَّا رَحمَةً لِلعَالَمِینَ [4]
Hakikat imamah sangat jauh lebih mulia dan menjulang dari jangkauan akal pikiran dan pendapat manusia biasa sehingga secara otomatis juga berada di luar kemampuan masyarakat untuk memilih atau menentukan siapa yang layak menduduki posisi itu.
اِنِّي جَاعِلُکَ لِلنَّاسِ اِمَامًا [5]
Posisi imamah berhubungan erat dengan potensi diri imam yang dianugerahkan Tuhan kepada masyarakat; imam senantiasa menerima bantuan gaib dan ilham dari langit yang membuat mereka berada di puncak pengetahuan dan kesadaran; imam adalah hamba Tuhan yang mengawasi dan mendominasi semua fenomena alam serta tingkah laku manusia; imam adalah hamba Tuhan yang suci dari noda, dosa dan kesalahan; dari sisi kekuatan imam juga mampu melakukan hal-hal luar biasa yang disebut dengan mukjizat atau keramat baik dalam ilmu maupun amal; imam hanya ada satu pada setiap masa dan dialah pemimpin mutlak agama dan dunia masyarakat; imam selalu ada selama manusia masih ada di dunia; dan pada akhirnya ketaatan pada imam baik secara lahir maupun batin, baik dalam urusan dunia maupun akhirat menjadi sebab keselamatan dan kebahagiaan abadi manusia, sebaliknya pembangkangan terhadap imam mengakibatkan bahaya dan kesengsaraan yang abadi.[6]
Dari sekian dasar dan rasionalisasi imamah, ada tiga yang ingin saya singgung di sini karena erat hubungannya dengan tema pembahasan kita sekarang: yang pertama adalah tingginya makrifat agama yang disampaikan oleh hamba kesayangan Tuhan, Muhammad saw. dan terbatasnya kapasitas yang dimiliki oleh mayoritas mutlak masyarakat yang hidup pada zaman dan pasca wafat beliau. Yang kedua adalah pemeliharaan makrifat agama dari rembesan peradaban lain, pengurangan, penambahan, perubahan, dan pemutarbalikan makna. Dan yang ketiga adalah pemerintahan dan penerapan hukum serta pengadilan.
Keidentikan agama yang disampaikan oleh penutup para nabi dan rasul Muhammad saw. dengan imamah mewarnai semua periode dakwah beliau, mulai dari indzarul asyiroh [dakwah rasul terhadap sanak famili beliau untuk memeluk agama Islam] yang memuat pelantikan putra Abu Thalib menjadi imam setelah beliau sampai fenomena terbesar sejarah Islam di tahun terakhir kehidupan beliau, tepatnya sepulang beliau dari haji wada’ yaitu fenomena Ghadir Khum. Di sana beliau kumpulkan seluruh muslimin dan muslimat yang pulang dari haji untuk melaksanakan tugas maha penting, penyempurna agama dan pelengkap nikmat Tuhan, menyampaikan pelantikan putra Abu Thalib oleh Tuhan sebagai pengemban misi imamah setelah beliau dan mengambil baiat dari mereka semua.
یَا اَیُّهَا النَّبِيُّ بَلِّغ مَا اُنزِلَ اِلَيکَ مِن رَبِّکَ فَاِن لَم تَفعَل فَمَا بَلَّغتَ رِسَالَتَهُ وَ اللهُ یَعصِمُکَ مِنَ النَّاسِ اِنَّ اللهَ لَا یَهدِي القَومَ
[7] الکَافِرِينَ
اَلیَومَ اَکمَلتُ لَکُم دِینَکُم وَ اَتمَمتُ عَلیکُم نِعمَتِي وَ رَضِيتُ لَکُمُ الاِسلَامَ دِينًا[8]
Persiapan hari besar itu sudah beliau lakukan selama masa dakwah dengan menjelaskan keutamaan-keutamaan Ali, Fathimah, Hasan, Husain, atau Ahlul Bayt as. Mereka adalah hakikat yang tidak akan pernah terpisah dari al-Qur’an sampai mereka datang ke telaga surga, mereka senantiasa bersama kebenaran dan kebenaran senantiasa bersama mereka, mereka adalah satu-satunya bahtera keselamatan sebagaimana bahtera Nabi Nuh as. dan lentera hidayah, mereka dariku [Nabi Muhammad] dan aku dari mereka dan …[9]
Kisah Pembangkangan
Untuk kesekian kalinya langit dan bumi menyaksikan pengkhiantan manusia terhadap kebenaran dan pembangkangan mereka terhadap agama Tuhan. Bukan saja mereka abaikan jenazah suci kekasih Tuhan Muhammad saw. yang baru wafat dan tidak turut serta dalam upacara penyiapan jenazah dan pemakaman, bahkan sebaliknya mereka sedang berencana untuk menguburkan hidup-hidup agama yang telah beliau.
Kita tahu bahwa di dalam Islam—minimal—ada tiga tingkatan makrifat yang harus kita ketahui yaitu fikih kecil, fikih sedang dan fikih akbar, atau lebih akrabnya disebut dengan ilmu fikih, akhlak dan irfan. Di tingkat pertama, seorang muslim yang telah mencapai usia baligh harus mempelajari ilmu tentang amalan-amalan yang harus dikerjakan atau ditinggalkan. Ini disebut dengan ilmu fikih yang jika dibandingkan dengan makrifat di atasnya merupakan fikih kecil. Kemudian dia harus naik ke tingkat yang lebih tinggi yaitu ilmu tentang niat yang benar. Sebagai contoh, fuqaha berfatwa bahwa seorang muslim yang baligh harus mengeluarkan zakat sesuai dengan perincian yang ada dalam pembahasanzakat, dan hendaknya dia tidak melakukan amalan itu secara riya’ [ingin sanjungan atau imbalan selain dari Tuhan]. Tapi fikih tidak lagi memasukkan kakinya ke dalam ruangan yang menjelaskan apakah riya’? Standar apa yang dapat digunakan untuk menilai bahwa sebuah perbuatan adalah riya’ atau bukan? Lalu bagaimana cara menghindarinya? Dan lain sebagainya. Semua ini berhubungan dengan niat dan masuk ke dalam ruang lingkup ilmu akhlak serta berada di luar jangkauan ilmu fikih. Maka, untuk dapat mengerjakan amalan secara benar dan diterima di sisi Tuhan, seorang muslim juga harus menguasai ilmu akhlak. Setelah bergelut cukup lama di bidang akhlak dan mendapat taufiq dari Tuhan, dia akan memasuki kawasan baru yaitu fikih akbar atau yang disebut dengan irfan. Di tingkatan ini salik [penempuh jalan ruhani] mencapai maqam bagaimana caranya dia dapat menghapus amal bahkan dirinya sendiri di hadapan Khaliq. Perhatiannya bukan lagi tentang bagaiamana berbuat dan berniat melainkan bagaimana caranya agar dia sampai pada tingkatan yang tidak lagi memandang amal maupun ‘amil [pelaku]. Dia sudah fana sehingga tidak ada lagi artinya dia berbuat dan berniat. Kedudukan ini bisa diraih dengan cara pasrah total serta amalan-amalan sunnah, yakni bukannya meninggalkan dua tingkatan di bawahnya melainkan menyempurnakan dua tingkatan tersebut.
ما تحبب اليّ عبدي بشيء احب الي مما افترضته علیه، و انه لیتحبب اليّ بالنافلة حتی احبه، فاذا احببته کنت سمعه الذي یسمع به و بصره الذي یبصر به و لسانه الذي ینطق به و یده الذي یبطش بها و رجله التي یمشي بها، اذا دعاني اجبته و اذا سألني اعطیته.[10]
Coba kita perhatikan kondisi ummat setelah wafatnya Rasul dari ketiga sisi tingkatan makrifat Islam tersebut di atas. Ternyata, hukum fikih Islam yang jelas telah mereka campakkan, bukankah tangan mereka masih merasakan hangatnya baiat di Ghadir Khum ketika mereka mengakui kepemimpinan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan berjanji untuk tetap setia?! Tapi bai’at itu mereka langgar seakan tanpa dosa dan di saat yang sama mereka mengaku sebagai orang pertama setelah Nabi saw. dan menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan Islam.
Secara akhlak, mereka lebih mendahulukan tradisi jahiliyah daripada Islam, mereka lebih memilih fanatisme kabilah dan kedengkian rasial serta hasut daripada tunduk di hadapan realitas keutamaan Ali bin Abi Thalib as. beserta keluarganya yang suci. Mereka menghalangi Ali dari kepemimpinan umat Islam setelah Rasulullah saw. dengan alasan bahwa usia Ali yang terlalu muda untuk posisi ini dan karena Ali telah banyak membunuh orang di medan perang sehingga menimbulkan kedengkian sanak famili mereka terhadapnya dan …
Apa lagi dari sudut pandang irfan, mereka lebih senang meniru keangkuhan dan pembangkangan iblis saat iblis diperintah untuk sujud di hadapan Adam daripada meneladani ketaatan malaikat, mereka lebih mendahulukan pendapat mereka sendiri daripada firman Tuhan; terbukti agama samawi yang menjulang mereka putarbalikkan menjadi agama biasa dan agama Ilahi menjadi agama sekular.[11] Saya teringat surat jawaban ayah khalifah pertama yang berada di Tha’if pada saat Rasulullah saw. wafat sedang anaknya hendak mengambil bai’at dari sang ayah. Sang anak berkata dalam suratnya: “Ini adalah surat dari Abu Bakar khalifah Rasulullah, ketahuilah bahwa masyarakat telah mengangkat saya menjadi khalifah karena usia saya yang tua, maka kamu juga harus datang sebagaimana umumnya masyarakat dan berbaiat kepadaku, karena sekarang aku adalah khalifah Allah, dan semakin cepat kamu datang maka itu akan lebih baik bagimu”. Lalu sang ayah menjawab dalam suratnya: “Kau katakan dalam suratmu bahwa kau adalah khalifah Rasul, lalu kau katakan juga bahwa masyarakat mengangkatmu menjadi khalifah karena usiamu yang tua, lalu kau katakan dirimu adalah khalifah Allah. Membaca apa yang telah kau katakan, lebih tepatnya engkau adalah khalifah masyarakat dan bukan khalifah Rasulullah atau khalifah Allah …”[12] yakni, masyarakat tidaklah berhak menentukan khalifah Allah swt., mereka tidak punya hak dalam melegalisir pemerintahan Islam tetapi mereka dapat berperan penting dalam mendukung berdirinya pemerintahan tersebut.
Bukankah Allah swt. telah mengangkat Ali bin Abi Thalib as. sebagai khalifah-Nya setelah Rasulullah saw. di Ghadir Khum?! Bukankah mereka juga telah berbaiat kepada beliau di hadapan Rasulullah saw.?! Wilayah Ilahi, penjelasan dan penerapan firman-firman-Nya bukan hal biasa sehingga masyarakat dapat memilih sendiri khalifah Allah swt. Dalam Islam, tidak ada pemerintahan masyarakat atas masyarakat, memangnya masyarakat punya hak apa sehingga yang lain harus menerima pemerintahan mereka dan mentaati aturan-aturan mereka?! Mayoritas juga tidak mempunyai keistimewaan yang lebih dari minoritas.
Tapi itulah yang terjadi setelah Rasulullah saw. wafat; ternyata mereka belum mengenal beliau secara baik dan memahami agama yang beliau sampaikan secara benar. Kebodohan mereka yang beraneka ragam dalam tiga tingkatan; fikih, akhlak dan irfan menjadi titik tolak penyimpangan dalam sejarah Islam, dimulai dari kejadian Saqifah yang menguburkan akal, lalu berkembang hingga mereka berani membakar rumah Fatimah putri Rasulullah saw., mematahkan tulang rusuk beliau, menggugurkan janin yang ada dalam rahim suci beliau, dan pada akhirnya luka itu pula yang membuat beliau menyusul kepergian ayahnya yang tercinta di usia muda dan mempercepat keyatiman dua penghulu pemuda surga, Hasan dan Husain. kebodohan mereka terus membabi buta sehingga membuat 40 ribu musuh-musuh Islam yang dipelopori oleh Musailamah berani menunjukkan batang hidung dan bersiap-siap untuk menghapus Islam dari muka bumi. Untungnya Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. menangkap niat busuk mereka yang ingin memanfaatkan pengkhiantatan dan fitnah dalam tubuh Islam. Era sebelumnya, ketika beliau dihadapkan pada pilihan berbaiat kepada yang tidak berhak atau pengorbanan keluarga dan harta, beliau lebih memilih pengorbanan. Tapi ketika beliau dihadapkan antara dua pilihan berbaiat kepada yang tidak berhak atau kematian agama untuk selama-lamanya maka beliau menjamin kehidupan agama dengan memilih pilihan pertama.[13] Ketertindasan beliau terus berlanjut sampai sabetan pedang Ibnu Muljam mengakhiri kehidupan satu-satunya putra Ka’bah ini di mihrab ibadahnya. Seiring dengan itu, penyimpangan senantiasa memperluas kawasannya dan membuka lembaran baru pengkhianatan terhadap imam Hasan, cucu Nabi serta meracuninya sampai mati syahid. Kemudian penyimpangan itu sampai pada puncaknya ketika orang-orang yang mengaku sebagai pengikut Rasulullah saw. dan pemeluk agama Islam menyayat-nyayat tubuh cucu Rasulullah saw., lalu menyembelih lehernya, menusuk kepalanya dengan tombak, melucuti pakaiannya, menginjak-injak jenazahnya dengan kuda, dan kemudian memajang tapal kuda yang pernah mereka gunakan untuk menginjak-injak tubuh suci tersebut di rumah mereka dengan keyakinan dapat membawa berkah dan kebanggaan bagi mereka.
Pengkhianat Profesional
Semua orang yang sedikit banyak membaca buku sejarah Islam tahu bahwa Yazid adalah orang jahat. Tahun pertama menjabat sebagai khalifah, dia menggelar tragedi Karbala yang sangat memilukan dan pada tahun kedua menggelar tragedi Harrah di Madinah; selama tiga hari kota Madinah ditaklukkan dan dia menghalalkan pasukannya untuk membunuh siapa saja, merampas harta apa saja, dan merenggut kehormatan wanita di sana. Menurut catatan Thabari, lebih dari seribu wanita penduduk Haram [kota Madinah] melahirkan anak tanpa ayah, sedikitnya 700 sahabat muhajirin dan ansar, 1000 masyarakat muslim yang lain, dan 700 hafidz [penghapal] al-Qur’an melayang nyawanya.[14] Lalu pada tahun ketiga dia perintahkan pasukannya untuk melempari baitullah Ka’bah dengan batu katapel dan ballista. Tapi, bukan Yazid yang saya maksud dengan pengkhianat profesional dalam sejarah awal Islam, karena sebagaimana pernyataan sebagian ulama’ dia hanyalah satu kejahatan dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh pengkhianat profesional[15]. Pengkhianat profesional itu adalah Muawiyah putra Abu Sufyan. Dialah profil yang ingin saya singgung sedikit dari sekian pengkhianat yang ada dalam sejarah umat Islam.
Orang akan tercengang ketika menelaah praktik-praktik Muawiyah, karena ternyata cara-cara yang dia gunakan untuk memperdaya masyarakat pada 1400 tahun yang lalu sampai sekarang masih digunakan oleh Zeonisme internasional. Sebetulnya cara-cara itu diwahyukan oleh setan dari alam kasar [bukan alam gaib] kepada antek-anteknya dalam rangka menjauhkan manusia dari jalan yang lurus [shirothul mustaqim]. Siapa saja dan kapan saja ia melangkah di jalannya pasti akan mendapatkan wahyu-wahyu itu. Kurang lebih 1400 tahun yang lalu Muawiyah paling banyak menerima wahyu tersebut dan sekarang zeonisme internasional yang menggantikannya.
اِنَّ الشَّیطَانَ لَیُوحُونَ اِلَی اَولِیَائِهِم[16
Sedikit banyak, akar perbuatan-perbuatan Muawiyah bersambung dengan apa yang pernah dilakukan oleh tiga khalifah pertama. Sebagai contoh, khalifah pertama adalah orang pertama yang melarang periwayatan sabda-sabda Rasulullah saw. dan tradisi itu dilanjutkan oleh khalifah kedua serta ketiga. Khalifah pertama berkata: “Telah terjadi banyak perbedaan di tengah masyarakat, oleh karena itu jangan kalian meriwayatkan satu hadis pun dari Rasulullah saw., dan jika ada yang bertanya kepada kalian maka katakan saja di antara kami dan kalian terdapat al-Qur’an”.[17] Padahal Rasulullah saw. selalu menganjurkan umatnya untuk mencatat sabda-sabda beliau baik pada waktu rela maupun murka, karena sebagaimana yang beliau tekankan beliau tidak berkata kecuali yang haq.[18] Bahkan al-Qur’an memerintahkan kita untuk mematuhi apa saja yang beliau perintahkan dan menghindari apa saja yang beliau larang.
مَا آتَاکُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاکُم عَنهُ فَانتَهُوا[19
Setelah berhasil agama Islam disekulerkan melalui pemilihan khalifah Tuhan oleh masyarakat, mereka sebar luaskan pluralisme dalam agama melalui cara melarang periwayatan hadis-hadis Nabi saw. Pada dasarnya, larangan itu mereka maksudkan untuk dua target; memboikot hadis-hadis tentang kedudukan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. dan keutaman Ahlul Bayt as., dan membuka gerbang masuknya varian-varian interpretasi bawah bumi atas agama samawi.[20]
Tapi, apa yang mereka lakukan masih tergolong berantakan, dan motivasi mereka juga tidak lebih dari kekuasaan, sedangkan Muawiyah tidak hanya berkuasa namun dia adalah orang yang mensistemasikan sekaligus menginstitusikan penyimpangan tersebut dengan motivasi menghapus agama Islam untuk selama-lamanya. Di balik layar, ketika Mughirah bin Syu’bah mengusulkan pada Muawiyah yang sudah lanjut usia untuk bersikap lebih lunak kepada Bani Hasyim karena mereka masih terhitung sanak familinya, Muawiyah menjawab: “Celakalah dirimu! Ini adalah harapan yang tidak mungkin aku realisasikan. Abu Bakar memimpin dan bersikap adil serta memikul berbagai jerih payah, demi Allah ketika dia mati dan namanya pun ikut mati bersamanya, walaupun terkadang ada orang yang menyebut namanya. Begitu pula selanjutnya, Umar memimpin dan berusaha selama sepuluh tahun, tapi tak lama setelah dia mati dan tidak ada satu bekas pun yang terkenang darinya, hanya kadang-kadang saja ada orang yang menyebut namanya. Kemudian Usman menjadi khalifah, tidak ada orang yang bernasab seperti dia, dia pun berbuat sesuai kehendaknya dan masyarakat juga bersikap padanya sebagaimana kehendak mereka, tapi ketika dia mati, demi Allah, namanya juga mati dan semua perbuatannya terlupakan. Sedangkan nama lelaki ini, yakni putra Abu Kabsyah[21], setiap hari lima kali dikumandangkan di seluruh penjuru dunia, dan dengan agung disebutkan اَشهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ . Kau kira, perbuatan apa yang bisa lestari dalam situasi dan kondisi seperti ini dan nama baik apa yang akan terkenang wahai manusia tak beribu?!! Tidak, aku bersumpah demi Allah! Aku tidak akan berdiam diri selama aku belum bisa menaklukkan nama ini dan aku kubur zikir ini”.[22]
Satu ucapan ini saja cukup untuk membuktikan pengingkarannya terhadap Islam. Berbeda dengan pendahulunya yang menawarkan interpretasi bawah bumi atas agama samawi, dia sama sekali tidak meyakini agama samawi tersebut. Dan kalau pendahulunya melarang masyarakat untuk meriwayatkan hadis-hadis Nabi saw., dia bahkan memproduksi mesin-mesin pencetak dan pemalsu hadis. Allamah Amini di dalam kitab al-Ghodir menyebutkan 700 nama pemalsu hadis, lalu beliau mengatakan bahwa ada 684.408 hadis palsu hadis-hadis palsu yang meupakan produksi 41 orang dari 700 orang pemalsu hadis. 23] Oleh karena itu, sebetulnya, untuk mendengar atau membaca pelecehan terhadap Rasulullah saw. anda tidak perlu menunggu dan mendengar pelecehan karikatur media Denmark atau membaca buku Salman Rusydi, anda bisa langsung merujuk ke buku-buku induk hadis termasuk yang dipercaya oleh mayoritas muslimin sebagai sebaik-baik buku setelah al-Qur’an [yakni Sohih Bukhori]. Di sana Nabi digambarkan lupa tentang al-Qur’an, salah dalam mempraktikkan shalat, pernah junub [berjenabah] dalam tempo yang lama dan lupa kalau dirinya junub, tidak menjaga batas-batas kemuhriman, suka mendengar nyanyian wanita, hobi menonton tarian wanita, mudah terpengaruh oleh jampi-jampi sihir, orang yang terbelakang sehingga tidak tahu cara pengawinan pohon kurma dan terkadang kencing berdiri di dekat tempat sampah sebelah tembok dan … .
Ideologi Muawiyah mempunyai tiga ciri; mengumpulkan harta, menipu massa, dan memeras mereka untuk keuntungannya sendiri dengan menghalalkan segala cara dan berapapun harganya. Pertama-tama dia kumpulkan harta sebanyak mungkin, lalu memasuki pikiran masyarakat. Setelah menguasai pikiran mereka dan menyuburkan nafsu ammarah mereka [24] barulah dia memeras dan memperbudak.
اِنَّ النَّفسَ لَاَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ[25
Politik yang dia terapkan dapat disimpulkan dalam suap, teror, ketidaksetiaan atau ingkar janji, pemutarbalikan norma dan fakta di tengah masyarakat, serta pemalsuan hadis. Taktik dan strategi ini pula yang sekarang sedang diterapkan oleh Zeonisme internasional dan mukalid-mukalidnya, contoh lebih jelasnya adalah “mengutarakan persoalan yang sama sekali tidak memiliki kenyataan di alam luar lalu menyodorkan jawaban untuk persoalan tersebut”. Muawiyah menggunakan taktik ini untuk memprovokasi massa dalam gerakan menuntut balas darah Usman yang teraniaya dan perang melawan khalifah yang sesungguhnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Zeonisme dan sejawatnya juga menggunakan taktik ini untuk membangkitkan feminisme di tengah para wanita sehingga mereka lebih mudah menjadikan wanita sebagai barang dagangan dan memanjakan gairah nafsu ammarah mereka. Masyarakat pun terlena dan melupakan jati diri mereka yang sesungguhnya. Mereka mengobok-obok perasaan wanita dalam berbagai persoalan seperti hak waris dan lain sebagainya, mereka mulai menguasai pikiran wanita dan mempertanyakan kenapa kau yang mesti terkurung dalam rumah? Kenapa kau yang harus jadi ibu? Kenapa tidak lelaki saja yang merawat anak? Kenapa kau harus berhijab dan tidak boleh berpakaian bebas seperti lelaki? Kenapa dalam urusan seks kau harus dibatasi hanya dengan satu suami sementara lelaki boleh poligami? Kenapa…?
Gerakan anti Islam dan praktik-praktik kotor dilakukan oleh Muawiyah tanpa mengotori sedikit pun kedudukannya dalam keislaman dan kekhalifahan di mata mayoritas umat Islam pada waktu itu. Karena selain tetap menjaga sifat-sifat lahiriah keislaman dalam dirinya seperti kostum, al-Qur’an, masjid, muhrim, dan menghindari minuman keras, dia telah mengubah Islam dari cetak birunya sehingga tugas utama agama Islam terliburkan, daya tariknya hilang dan berubah menjadi momok yang menakutkan, dan agama bagaikan bunglon yang berubah-ubah warna sesuai dengan situasi dan kondisi.
Yazid adalah salah satu karya Muawiyah yang istimewa, tapi sayangnya! Dia lebih mewarisi kebusukan pendahulunya daripada kelicikan dalam beroperasi sehingga Yazid keliru dalam meneruskan misi dekonstruktif yang telah disusun secara rapi oleh Muawiyah. Dia tidak menjaga sifat-sifat lahiriah keislaman sebagaimana ayahnya dan dengan gegabah, dia melupakan wasiat ayahnya agar jangan memerangi putra Ali bin Abi Thalib as. dan membunuhnya.
Darah Mengalahkan Pedang
Ibarat pohon yang sudah layu, agama Islam membutuhkan siraman kehidupan. Bedanya, pohon hidup dengan air bersih sedangkan agama hidup dengan darah suci. Tanzil yang disampaikan Nabi saw. terbelenggu dalam varian-varian interpretasi dan takwil yang diperjuangkan oleh Ali as. terhalang oleh kabut hadis-hadis palsu. Semua sudah tenggelam di lautan tradisi jahiliah. Hanya ada satu lentera yang dapat memberi penerangan dan hanya ada satu bahtera yang dapat menyelamatkan, dialah tsarulloh [darah Allah] yang memancar dari sekujur tubuh kekasih Allah swt., Imam Husain as.
Imamah untuk agama Islam bagaikan DNA untuk tubuh manusia dan ayat mukjizat untuk al-Qur’an. Yang sering dibacakan adalah lembaran hitam sejarah dan tragedi memilukan yang dimainkan oleh prajurit-prajurit Iblis di samping sungai Furat, tapi lembaran putih sejarah yang dimainkan oleh kekasih Allah swt. di padang Karbala untuk menyelamatkan agama dan keadilan yang hampir mati dikubur hidup-hidup oleh Iblis mulai dari saat Saqifah diselenggarakan, jarang dibacakan. Bagi Ali as. kepala boleh merekah karena pukulan pedang beracun, bagi Fatimah as. tulang rusuk boleh patah dan kandungan gugur karena perintah putra Quhafah, bagi Hasan as. isi perut boleh terkuras dalam bentuk gumpalan-gumpalan darah karena racun putra Abu Sufyan, dan bagi Husain as. kepala boleh terpisah dari tubuhnya karena sembelihan pedang, asalkan dengan semua pengorbanan itu agama tetap terjaga dan baik-baik saja.
مِنَ المُؤمِنِینَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهُ عَلَیهِ فَمِنهُم مَن قَضَی نَحبَهُ وَ مِنهُم مَن یَنتَظِر وَمَا بَدَّلُوا تَبدِیلًا [26
Saat itu Imam Husain as. dihadapkan pada dua pilihan, hidup hina atau mati mulia. Jawaban untuk pilihan pertama adalah هَیهَاتَ مِنَّا الذِّلَّة[27], adapun jawaban untuk pilihan kedua adalah اِنِّي لَا اَرَی المَوتَ اِلَّا السَّعَادَةَ وَ لَا حَیَاةَ مَعَ الظَّالِمِینَ اِلَّا بَرَمًا[28] . Tapi yang lebih penting adalah kematian yang bagaimana? Ditangkap di Madinah? Di teror di Mekkah? Di pengasingan dan pegunungan Yaman sambil menanti datangnya ajal? Atau dibantai secara keji di Karbala beserta kafilahnya yang suci dan setia?
Begitu sempurnanya Imam Husain as. mendesign fenomena itu sehingga Yazid dan prajurit Iblis lainnya tidak sadar bahwa mereka sedang gagal dalam meraih tujuan, sebaliknya tujuan-tujuan mulia Imam Husain as. terlukis dengan darah suci di hamparan udara yang senantiasa dihirup oleh manusia sampai akhir zaman. Itulah sebabnya beliau memilih kematian yang terakhir dengan segala ketulusan, kemurnian, ketelitian, kebenaran, kejelasan, dan perasaan yang sangat dalam.
اِنَّ اللهَ شَاءَ اَن یَرَاکَ قَتِیلًا[29]
Imam Husain as. telah menyatakan bahwa revolusi berdarah di padang Karbala ini bertujuan Islami yaitu amar makruf dan nahi munkar serta memperbaiki umat kakekku. Agama yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw. tidak lain adalah untuk menerapkan firman-firman Allah swt. di muka bumi. Agama ini memiliki banyak sekali undang-undang untuk mengatur kehidupan bermasyarakat karena agama ini adalah agama terakhir dan penutup semua agama maka agama ini harus memimpin. Tapi, karena masyarakat keliru dalam memahaminya dan mereka sudah jauh menyimpang dari jalan yang sesungguhnya maka aku (Imam Husain) bangkit untuk menyadarkan umat manusia sepanjang masa akan posisi agama Islam yang sebenarnya.
Revolusi ini merealisasikan tiga tujuan jangka pendek, sedang dan panjang. Yang pertama adalah menyibak muka Muawiyah dan Yazid yang sesungguhnya sehingga sejak saat itu masyarakat membenci mereka dan pemerintahan beralih ke tangan dinasti lain. Yang kedua adalah mencegah sikap anti agama secara terang-terangan dari para penguasa zalim. Itulah sebabnya khalifah-khalifah dari dinasti Umayah dan Abbasiyah tetap menjaga penampilan Islami mereka di depan umum. Adapun yang ketiga adalah yang paling penting yaitu menerangkan Islam sesungguhnya yang telah disampaikan oleh Muhammad Rasulullah saw. dan menghidupkan kembali urgensitas pemerintahan agama Islam—dalam kapasitasnya sebagai agama yang terakhir, sempurna dan penutup semua agama lain—bagi seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Tujuan jangka panjang ini bersifat dinamis sehingga sejak kesyahidan Imam Husain as. sering terjadi perjuangan anti kezaliman dan 14 abad kemudian, Ruhullah Khomaini menyambut pesan Imam Husain dengan memimpin revolusi Islam yang menentang kezaliman barat maupun timur. Ruhullah Khomaini yakin bahwa Asyura’lah yang senantiasa menghidupkan Islam dan revolusi Islam Iran adalah salah satu buahnya. Perjuangan ini senantiasa bergejolak dan akan sampai pada puncaknya dengan kemunculan Imam Zaman (afs) yang akan memenuhi bumi dengan keadilan.
Penutup: Bersama Kafilah
Kasih sayang Tuhan tidak terbatas, agama Islam sudah Dia sempurnakan, dan nikmat-Nya terhadap hamba telah Dia lengkapi. Tinggal kita sekarang. Sudahkah kita menjadi hamba-Nya yang setia? Sudahkah kita beragama? Kalau iya, bagaimana kita beragama? Bagai batu yang bertaklid buta atau layaknya anak Adam yang berbekal akal, fitrah dan syahwat?
Sejarah menjadi salah satu keistimewaan kita sekarang. Setelah menyaksikan dua model sejarah; yang satu manivestasi kebenaran dan yang lain manivestasi kebatilan, sudahkah kita menyeberang dari pulau ilmu sejarah ke filsafat sejarah dan menyebrang dari realitas dalam diri kita sendiri ke realitas yang sedang kita hadapi di luar? Dengan kata lain, dari “bagaimana terjadi” melangkah pada “bagaimana menjadi”, yakni setelah menyaksikan bagaimana pelaku-pelaku sejarah itu bergerak dan berakhir, seseorang harus bisa menjadi pelaku sejarah kontemporer secara bijak dan seimbang. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. berkata: “Sebelum kalian dijadikan bahan pelajaran oleh generasi yang akan datang, ambillah pelajaran dari generasi pendahulu kalian”.[30] Dan “Alangkah banyaknya pelajaran tapi sangat sedikit orang yang mengambil pelajaran”[31]. Dan “Orang yang celaka adalah orang yang tidak mendapat keuntungan dari akal dan percobaan”.[32]
Firman-firman Tuhan, baik yang langsung [ayat-ayat al-Qur’an] maupun yang tidak langsung [hadis-hadis sahih] masih otentik dan terbentang luas di hadapan semua orang. Kafilah Asyura dan Karbala mengumandangkan perjuangan haq menentang kebatilan tanpa mengenal batasan waktu dan ruang. Tapi sayang, penyimpangan dan pembangkangan masa lalu masih saja terulang. Mulailah dari diri sendiri, seberapa besar kesadaran dan kepedulian kita terhadap ajaran Islam dan seberapa jauh jarak kita dengan kebodohan? Jujurlah pada diri sendiri, apakah kita tergolong pasrah pada hukum-hukum fikih sebagai langkah pertama orang muslim? Jangankan pasrah, berapa persen dari kita yang mau tahu akan ilmu itu?
Bicara soal apa yang harus ditinggalkan dan dilakukan sehari-hari saja kita masih kelabakan, apalagi mau masuk dunia akhlak yang menyaring banyak dari perbuatan kita di mata Tuhan, terlebih lagi jika irfan kita yang persoalkan. Ironisnya, tidak sedikit orang yang mengaku dirinya muslim dan pengikut Rasulullah saw. tapi secara praktis mereka sedang mengikuti jejak para pembangkang, pengkhianat dan Iblis. Dari satu sisi ada yang membekukan teks-teks agama Islam dalam peti arti literal sehingga di mata mereka Tuhan menjadi boneka bertangan dan berkaki, di sisi lain ada juga yang merasa dirinya cendekiawan atau reformis muslim dengan mencopy-paste pemikiran dunia barat dalam dunia Islam. Dengan bangganya mereka menulis, mengajar dan menyeminarkan pluralisme agama, toleransi beragama, demokrasi liberal serta menyekulerkan Islam. Dua-duanya bukan hal yang baru dalam sejarah umat Islam, tapi jelas dua-duanya adalah penyimpangan yang ditentang oleh para imam suci setelah Nabi saw.
Muslimin tidak pernah kalah melawan musuh-musuh eksternal, tapi ketika di dalam benteng mereka mulai bermunculan musuh dalam selimut baik disadari atau tidak, maka saat itulah kekalahan mereka berangsur-angsur datang. Serangan musuh-musuh Islam sekarang juga lebih terfokus pada serangan budaya dan peradaban, strategi mereka sama dengan strategi Muawiyah pada waktu itu, perbedaannya hanya dalam objek-objek parsial yang tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi setempat. Target pertama mereka adalah memecah benteng sakralitas tiga tonggak keislaman, yaitu al-Qur’an, kesucian Nabi saw. dan akal budi. Mereka berusaha agar al-Qur’an diyakini sebagai kata-kata Muhammad dan bukan firman Tuhan, di saat yang sama kesucian Nabi saw. juga berusaha mereka cederai agar penyampaian firman-firman Tuhan oleh Muhammad dan sabda-sabdanya tidak lebih berarti dari pikiran dan perkataan manusia biasa dan kelompok jumud dimanfaatkan untuk terus memuja hadis-hadis palsu yang meneror pribadi Rasulullah saw. dan menggambarkannya lebih rendnah dari manusia biasa. Begitu pula kalangan cendekiawan dimanja dengan istilah-istilah populer, misalnya bahwa wahyu Nabi saw. hanya sebuah eksperimen religius yang bisa juga dialami oleh orang lain sehingga praktis nabi seperti orang buta yang sedang menceritakan interpretasinya tentang gajah, dan yang terakhir mereka definisikan akal secara sangat terbatas menjadi akal yang materialis dan positivis.
Intinya, pada zaman kita sekarang tengah terulang kembali kebodohan dan penyimpangan seperti pasca Rasulullah saw. Fikih sering kali dianaktirikan khususnya oleh mereka yang menduduki bangku kecendekiawanan, akhlak juga disalahartikan sehingga terkesan berseberangan dengan fikih lalu diambil keputusan untuk merancang fikih lintas agama atau sebaiknya mendahulukan akhlak atas fikih agar kita lebih luwes dan bebas dari jeratan hukum, atau sudah saatnya kita menjadi arif sehingga tidak disibukkan lagi dengan hal-hal sepele dalam ilmu fikih yang identik dengan kekerasan. Padahal, irfan Islam tidak sama dengan irfan Budha atau Barat, di antara elemen-elemennya terdapat kepasrahan terhadap firman Tuhan, pendekatan diri pada-Nya bukan saja dengan melaksanakan perintah dan menghindari larangan-Nya melainkan juga dengan rutinitas hal-hal yang dianjurkan [sunnah] seperti shalat malam. Di sisi lain, fikih sama sekali tidak identik dengan kekerasan, bahkan secara singkat saya katakan bahwa fikih jauh lebih lunak daripada akhlak dan irfan. sebagai contoh, anda bisa bandingkan tolok ukur kafir dan syirik menurut tiga tingkatan disiplin ilmu-ilmu Islam tersebut.
Oleh karena itu, disadari atau tidaki, mereka itu sedang menikam Imam Husain as. dari belakang dan mengeksekusi Islam secara perlahan-lahan atas nama Islam, lebih buruk mana antara teror terhadap jasad Rasulullah saw., Ali, Fatimah, Hasan dan Husain as. dengan teror terhadap ruh dan kepribadian mereka?! Artinya, setiap hari Asyura dan setiap hari Karbala adalah jika seseorang ingin bergabung bersama kafilah kebenaran, bersama Rasulullah saw. dan Imam Husain as. Hendaknya dia mensubstansikan dirinya dengan ideologi dan tujuan mereka Rasulullah, bukan hanya sekedar membaca al-Qur’an, hadis dan doa ziarah tapi tidak menampakkan hakikat keberadaannya. Sebaliknya, sejauh orang masih menikmati kebodohan dan menyuburkan nafsu ammarahnya dengan harta, tahta dan wanita, atau masih saja melakukan praktik-praktik para pembangkang yang telah disebutkan di atas maka sejauh itu pula dirinya berada di barisan Iblis bersama Muawiyah dan Yazid.
اَللهُمَّ اجعَل مَحیَانَا مَحیَا مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّد وَ مَمَاتَنَا مَمَاتَ مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ . []
Rujukan:
[1] . QS. al-Qiyamah: 14.
[2] QS. al-Ma’idah: 27.
[3] QS. Hud: 80.
[4] QS. al-Anbiya’: 107. begitu pula ayat 40 surat al-Ahzab.
[5] QS. al-Baqarah: 124.
[6] Adapun perincian lebih lanjut, anda bisa baca dalam buku-buku induk hadis seperti al-Kafi jilid pertama bab hujjah.
[7] QS. al-Ma’idah: 67.
[8] QS. al-Ma’idah: 3.
[9] Fadho’il al-Khomsah karya Firuz Abadi menjadi saksi semua keutamaan mereka dari referensi-referensi hadis Ahli Sunnah.
[10] Mahasin karya Barqi: 1/291; Mizan al-Hikmah: 1/503; Ushul Kafi: 2/82. Adapun keterangan hadis ini Anda bisa dapatkan dalam buku Empat Puluh Hadis Imam Khomaini.
[11] Perintah-perintah khalifah kedua merupakan salah satu contoh yang jelas untuk sekularisasi agama Islam pasca wafatnya Rasulullah saw., Anda bisa lihat kitab: al-Bidayah wa an-Nihayah: 8/115; al-Mushonnaf (Shan’ani): 11/262; Adlwa’ ‘ala as-Sunnah al-Muhammadiyah: 552; Tarikhu Madinati Dimasyq: 67/344; Siyaru A’lami an-Nubala’: 2/601; Umar bin al-Khottob: 174; Makatibu ar-Rosul: 1/646; Syeikhu al-Mudliroh, Abu Huroiroh: 105; Wasa’ilu as-Syi’ah: 1/11.
[12] Masalah ini disepakati oleh para sejarawan dari dua kelompok Syiah dan Ahli Sunnah, adapun ringkasan surat-surat itu bisa juga Anda rujuk dalam buku-buku seperti Hadiqoh as-Syi’ah halaman 259, al-Ihtijaj: 1/115, Bihar al-Anwar: 29/95.
[13] Anda bisa baca dalam surat ke62 Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. di Nahjul Balaghah beserta keterangan-keterangan yang ditulis oleh para komentator tentang surat itu.
[14] Tarikh Ya’qubi: jilid 2, halaman 250; al-Bidayah wa an-Nihayah: 8/262, 8/238 dan 241.
[15] Al-Arba’in (Qumi): 346, menukil dari Damiri penulis Hayatu al-Hayawan; an-Nasho’ih al-Kafiyah: 79.
[16] QS. al-An’am: 121.
[17] Tadzkirotu al-Huffadz: 1/3; al-Khilaf: 1/29; Wudlu’u an-Nabi: 2/20; Adlwa’ A’la as-Sunnah al-Muhammadiyah: 46; Wasa’ilu as-Syi’ah: 1/9; Kasyfu al-Yaqin: 11; Tadwinu al-Qur’an: 383; Adlwa’ ‘ala as-Shohihayn: 13; Ma’alimu al-Madrosatayn: 2/44; Makatibu ar-Rosul: 1/633; Mustadrok al-Wasa’il: 1/9; Naqsye A’immeh dar Ihyoye Din: 1/150. Dan kalau Anda ingin tahu lebih banyak tentang para sahabat, khususnya tentang tiga khalifah pertama maka lihatlah kitab al-Ghodir karya Allamah Amini, jilid 6, 7 dan 8.
[18] Musnad Ahmad bin Hanbal: 2/192, 162, 207 dan 215; Mustadrok al-Wasa’il: 17/288; Tarikh Madinati Dimasyq: 31/259; Shohih Ibnu Khuzaimah: 4/26, Syarhu Ma’ani al-Atsar: 4/319; al-Haddu al-Fashil: 364; al-Kamil: 4/318; Usud al-Ghobah: 3/233; Biharu al-Anwar: 2/147.
[19] QS. al-Hasyr: 7.
[20] Jika Anda menyangsikan kenyataan ini dan masih terkesan ada fanatisme pada diri penulis, maka saya sarankan Anda untuk menelaah argumentasi-argumentasi! yang diutarakan oleh khalifah pertama terhadap Fatimah putri Nabi saw. dalam permasalahan tanah Fadak.
[21] Maksud Muawiyah adalah Rasulullah saw.. Abu Kabsyah adalah julukan yang digunakan oleh orang-orang kafir Quraisy untuk menyebut dan menhina beliau.
[22] Al-Muwaffaqiyyat: 476 cetakan 1392; Arba’in (Mahwazi): 88; Kasyfu al-Ghummah: 2/46; Biharu al-Anwar: 33/169; al-Ghodir: 10/284; Kasyfu al-Yaqin: 474.
[23] Al-Ghodir: 5/142-143.
[24] Nafsu yang memerintahkan orang untuk berbuat buruk.
[25] QS. Yusuf: 53.
[26] QS. al-Ahzab: 23.
[27] Tuhaful Uqul: 85; Fiqhus Shodiq: 11/379; Mizanul Hikmah: 2/983; Luhuf: 59; Biharul Anwar: 45/9 dan 74/162.
[28] Ma’alimul Madrosatayn: 3/73; Majma’uz Zawa’id: 9/192; Maqtalul Husain (as.): 86; Shohifatul Husain (as.): 278.
[29] Luhuf: 85; Lawa’ijul Asyjan: 254; Kalimatul Imam al-Husain: 329; Biharul Anwar: 44/364.
[30] Nahjul Balaghoh: pidato ke32.
[31] Ibid: kata mutiara ke297.
[32] Ibid: surat ke78.
Tinggalkan komentar