Ibnu Sina mengatakan, realitas noumenal ‘Aku’ tidak bisa didemonstrasikan melalui citra-citranya, karena citra-citra tidak akan ada dan nyata, dan tidak akan pula difahami kecuali dengan menyadari realitas ‘Aku’ terlebih dahulu. Kendati demikian, Suhrawardi berusaha mendekatkan kehudhurian realitas ‘Aku’ dengan dua argumen. Salah satunya mirip dangan dalil Kierkegaard tersebut dahulu, yaitu jika realitas ‘Aku’ diketahui dengan pencerapan, dengan perantara, dan sebatas fenomena dan refleksi, maka realitas dan noumena ‘Aku’ tidak tersentuh dan berada di luar diri (ghaib). Dengan demikian, realitas ‘Aku’ bukan ‘Aku’, tetapi ‘Dia’, karena ‘Dia’ berarti Yang di luar dan selain diri. Sebuah implikasi yang bertentangan dengan identitas ‘Aku’.
———————————————————————–
ILMU HUDHURI : Basis Kebenaran
Oleh: Ammar Fauzi Heryadi
ADAKAH sesuatu yang jelas yang tidak bisa lagi digugat atau ditolak? Pertanyaan ulangan sepanjang ribuan tahun. Klasik dan kuno. Kata Thabatabai, “Tidak setiap yang kuno itu ketinggalan jaman”. Banyak dari yang kuno-kuno yang selalu menghadirkan kebaruan tanpa kehilangan kekunoannya. Barangkali bukan sebuah keterlaluan menyebut pertanyaan itu bagian dari yang kuno tapi baru. Di sinilah terungkap satu arti keunikan. Kita akan temukan pertanyaan tersebut sampai dalam sederetan karya terakhir era sekarang. Dan, ukuran ‘sepanjang ribuan tahun’ dimulai hitungannya dari abad ini sampai epik Gilgamesh itu ditulis.
Kalau saja sejenak diseriusi, mungkin tidak sejenak kita memikirkannya. Di Baghdad, Al-Ghazali pernah melakukannya. “Batinku tergugah untuk mencari fitrah yang sesungguhnya, dan memeriksa kebenaran hakiki dari kepercayaan-kepercayaan yang diterima dengan cara taklid dari dua orang tua dan dua ustaz” . Ulama ini malah jadi mutahayyir, bimbang. Secara sungguh-sungguh dia meragukan dan pempersoalkan bukan hanya kepercayaan-kepercayaan agamanya yang diterimanya secara taklid dari orang tua dan ustaznya itu, tetapi juga segala sesuatu yang mungkin dipikirkannya. Ia sendiri menyebut kondisi ini da’, yakni penyakit yang mu’dhil, akut. Selama dua bulan merahasiakan dirinya sebagai skeptis hebat, sampai ia mensyukuri penyakit itu sebagai karunia besar. “Itulah nur yang Allah hidupkan dalam diriku”. Cara Al-Ghazali menemukan nur dan keyakinan kuat membuatnya menjadi ulama yang besar.
Kalaulah tidak keberatan memakai metode Delthay, ada baiknya kita menyimak riwayat Al-Ghazali di atas tadi secara hermeneutis, yakni memasukkan dan menyatukan kesadaran kita ke dalam pengalamannya dan melihat diri kita layaknya dia kala itu. Tidak lagi sebatas membaca teks dan memahami maksud, tetapi berusaha meresapi dan menghayati pengalamannya tersebut. Jelas sekali, periwayatan di atas tidak cukup untuk hal ini. Tapi, ada yang bisa dimanfaatkan dari yang sedikit itu, setidaknya pertanyaan di atas. Maka, seandainya kita adalah Al-Ghazali, bagaimana kita menghadapi pertanyaan itu?
Dengan cara hermeneutis ini, kiranya kita bisa memahami pertanyaan terdahulu sebagai persoalan kita sendiri, sekarang ini. Cara ini pula yang memperlihatkan keunikan pertanyaan itu, ia kuno tapi baru dan segar, setidaknya bagi orang-orang yang punya latar belakang keimanan yang sama dengan Al-Ghazali.
Jika ada segenggam kesiapan, sisakan seujung jari untuk menghadapi kemungkinan da’ mu’dhil. Karena keimanan, seperti kata Kierkegaard, menuntut risk. Ini menjadi penting kalau dipandang sebagai imtihan. Meski begitu, tidak mesti kehilangan apa yang disebut Paul Tillich sebagai ultimate concern, tidak pula mesti berakhir pada Fideisme-nya Kierkegaard, karena ujian tidak sekadar memberikan satu-dua alternatif. No pain, no gain. Menguji berarti membukakan banyak jalan. Komit pada satu jalan yakni berani mengadapi resiko. Maka itu, memeriksa keimanan tampak sukar. Apapun kesukaran itu tidak berarti menutup segala kemungkinan. Sokeates bilang, “Hidup yang tak diuji tidak ada artinya”. Untuk itu, perlu –sekali lagi- kesiapan walau seujung jari. Apakah itu? Dalam sebuah judul bukunya, Tillich menyimpulkan, To be Courage.
Menjajaki Kemungkinan
Al-Ghazali menuturkan: “Sesungguhnya manusia yang tidak meragu niscaya tidak akan berfikir, tidak akan pula melihat kebenaran, maka ia hidup dalam buta, bimbang dan sesat. Tidak ada pintu keselamatan untuknya selain di dalam kemerdekaan”. Penuturan akan falsafah hidupnya yang dilirisnya dengan cara meragukan, sekali lagi, akan segala sesuatu.
Ada kesepakatan yang tidak disengaja dari Sokrates. Bukankah dialektika dan maieutike techne-nya itu selaras dengan falsafah hidup Al-Ghazali ini. Meski begitu, harus diakui bahwa Sokrates menolak caranya menyikat sana sini, sampai-sampai meragukan segala sesuatu, apapun. Ia menyakinkan kita: “Hanya satu hal yang aku tahu, bahwa aku tidak tahu”.
Menurut Socrates, ada kenyataan atau kebenaran yang tersisa di sepanjang usaha meragukan segala sesuatu, bahwa meragukan adalah tindakan; sesuatu yang nyata dan tidak bisa diragukan. Seandainya tindakan meragukan itu juga diragukan kenyataannya, maka tidak akan ada satu bentuk pun dari tindakan meragukan. Sokrates hendak menjelaskan bahwa skeptis sejati itu tidak pernah sejati. Penjelasan ini menyanggah tegas komentar Archelaues atas ungkapan Sokrates di atas. Archelaues mengatakan, “Adapun Aku, bahkan kata ‘Aku tidak tahu’ ini pun tidak bisa Aku pastikan”.
Alih-alih mempertentangkan, masih ada sisa kemungkinan mengislahkan Al-Ghazali dengan Socrates, yaitu dengan menyatakan, “Aku bisa meragukan segala sesuatu kecuali (tindakan) meragukan ini”. Pernyataan ini mengingatkan kita pada diktum-nya Descartes; Cogito ergo sum. “Aku berfikir, maka Aku ada”. Ia ditahbiskannya sebagai kaidah fundamental kebenaran, setelah melalui delapan tahapan menjajal segala sesuatu untuk diragukan, termasuk kenyataan dirinya sendiri. Maka itu, ada sedikit perbedaan. Socrates dan pendahulu lainnya meragu dan berfikir untuk membuktikan adanya sisa kebenaran atau kenyataan pada diri mereka, sementara Descartes melakukan hal sama untuk membuktikan kenyataan dirinya sendiri kemudian selainnya.
Kaidah Cartesian ini lebih menarik dan disoroti oleh banyak filsuf, karena –paling tidak- lebih mutawatir ketimbang pendahulunya. Tidak terlalu cepat membandingkan sanggahan Immanuel Kant. Berbekal dua belas kategori, forma, dan dikotomi noumena (realitas hakiki) dan fenoumena (yang tampak dari realitas hakiki), sebagaimana dalam Critique of Pure Reason, Kant mempermasalahkan kaidah itu. Baginya, ‘Aku’ yang terdapat dalam kaidah cartesian itu adalah kondisi niscaya dari pengalaman. maka itu, ia tidak diperoleh dalam pengalaman; ia merupakan ego transendental, bukan ego empiris. Oleh karena itu, kendati secara psikologis mungkin berfikir tentang ‘Aku’ sebagai substansi tunggal, kategori-kategori seperti; substansi dan kesatuan, tidak dapat diaplikasikan lalu menghadirkan pengetahuan dalam konteks ini. Karena fungsi kognitif ini berada dalam aplikasinya pada fenomena, bukan pada noumena.
Dengan kata lain, jika Kant menyodorkan pilihan kepada Descartes, apakah ‘Aku’ yang Anda ketahui lewat kegiatan berfikir itu noumena ataukah fenomena? Kemungkinan besar ia menjawab yang pertama. Bahwa tindakan berfikir-ku menunjukkan diriku sebagai kenyataan hakiki (noumena). Inilah yang ditentang Kant. Berdasarkan filsafat kritiknya, noumena itu –meski diakuinya ada dan nyata- tidak bisa diketahui, karena struktur bangunan pikiran manusia –dalam rangka pengetahui- hanya dibekali forma (ruang dan waktu) serta 12 konsep dasar rasional (kategori). Dan, forma bersama konsep apriori ini hanya dapat berurusan –lewat intuisi indera- dengan tampakan-tampakan (fenomena) dari realitas hakiki, bukan dengan realitas hakiki (noumena) itu sendiri, karena bekal pikiran manusia tidak memadai untuk berhubungan (mengetahui) dengan yang belakangan ini. Jadi, manusia hanya dapat mengetahui dunia fenomena.
Dengan begitu, hanya ada satu pilihan kita memahami ‘Aku’ dalam kaidah cartesian, yaitu ‘Aku’ fenomenal (empirikal). Ini artinya kita tidak mengetahui ‘Aku’ yang hakiki dan sejati. Di sini Kant menegaskan bahwa tidak ada alasan yang bisa meloloskan pikiran kita berhubungan dengan dan mengetahui ‘Aku’ noumenal.
Untuk mencermati ‘Aku’ secara lebih dalam, perlu dibahas pula ihwal kaidah Cartesian itu dari sisi ‘berfikir’. Yang bisa kita mengerti dari berfikir ialah tindakan ‘Aku’. Tindakan ini adalah realitas. Jelas, realitas ini berbeda dengan realitas atau afirmasi sebagai dua kategori Kant. Dimanakah akan ia tempatkan? Alih-alih ia mengatakan tidak ada tempat dalam pikiran, justru realitas berfikir ini –setidaknya- salah satu kasus yang tidak tunduk pada supremasi kategori Kant.
Kalau pun Kant menafsirkan ‘Aku’ noumenal itu hanya sebagai subjek logika atau sebatas term dalam proposisi “Aku berfikir maka Aku ada”, ini artinya tidak ada sentuhannya dengan realitas hakiki. Masalahnya menjadi serius manalaka Kant memberikan penjelasan dan keterangan mengenai hal ihwal ‘Aku’ noumenal, padahal ia sendiri percaya bahwa noumena itu, apapun ia, tidak bisa diketahui. Bagaimana sesuatu yang tidak bisa diketahui tapi dijelaskan, diterangkan dan difahamkan? Tidak begitu jelas apakah Kant hendak menyelaraskan dirinya dengan sang sofis, Georgias, yang menyatakan, “Sesuatu itu tidak ada. Seandainya ada sesuatu, niscaya tidak akan bisa diketahui. Kalau pun bisa ia bisa diketahui, niscaya tidak akan bisa diinformasikan”, mengingat itikad baiknya dalam menyelamatkan Metafisika. Namun begitu, tidak juga berlebihan tatkala sebagian menilai usahanya sebagai succes de scandale. Pernyataan ‘noumena itu ada tapi tidak bisa diketahui’ membawa kita pada lembaran-lembaran pertama Tractatus-Logico Philosophicus. Di sana, Ludwig Wittgenstein menegur kaum skeptis,…. Barangkali kaidah terakhirnya di buku itu jadi coup de grace yang melesak tepat di titik awal pembukaan kisah indah Kant mengenai noumena, bahwa “Terhadap apa saja yang tidak bisa dikatakan semestinya diam”.
Sesungguhnya ‘Aku’ nomenal dan ‘Aku’ fenomenal tidak mesti digariskan secara horizontal dan vis-a-vis. Tapi, memetakan keduanya secara vertikal sama artinya mengasumsikan adanya hubungan konsisten di antara keduanya. Adakah kemungkinan Kant mengakui hubungan demikian ini antara noumena dan fenoumena? Jawaban Kant bisa kita tunggu tatkala ia dihadapkan pada pertanyaan, Anda yang mengulas kritis ‘Aku’ noumenal, dengan perangkat apa Anda memperlihatkannya sebagai realitas hakiki yang tidak bisa diketahui? Tampaknya, tidak ada yang perlu diajukan olehnya, karena pikiran manusia punya dua intuisi; intusi inderawi/empiris yang menangkap fenomena dan intuisi murni/formal yang menyediakan secara apriori dua forma dan dua belas kategori. Oleh karena ini, Kant hanya memberikan satu kemungkinan untuk pertanyaan di atas, bahwa ‘Aku’ sebagai realitas hakiki tidak dapat diketahui kecuali melalui kontak intuitif langsung dengannya. Kalau kita tanya Kant, adakah intuisi yang berhubungan langsung dengan ‘aku’ dan noumena-noumena lainnya? Kant mungkin akan mempersalahkan pertanyaan ini. Ada tidak adanya tidak lagi berarti, karena intuisi macam itu di luar batas-batas pikiran dan rasio.
Barangkali jawaban inilah yang membawa kita memahami penilaian Heidegger atas usaha Kant sebagai langkah pertama membangun Metafisika, ketimbang menenggarainya sebagai penghancur. Heidegger sendiri mencoba menyempurnakan langkah-langkah berikutnya lewat da-sein. Sebagai eksistensialis, ia cukup terpikat pada sang pendiri mazhab; Soren Kierkegaard. Yang belakangan ini secara langsung mempertimbangkan Cogito cartesian tersebut. Jika ‘Aku’ dalam kaidah itu menunjuk pada manusia sebagai maujud personal, maka ini tidak membuktikan sesuatu apapun. “jika aku berfikir, adakah gerangan Aku ini sungguh aku!”. Badawi, benih eksistensialis di dunia Arab, menjelaskan bahwa Cogito ergo sum sama artinya dengan “Aku; si subjek yang berfikir, adalah ada”. Di sini, tidak ada lompatan (kognitif) dari Berfikir ke ada, tetapi dari subjek ke ada. Jika berfikir ini dipakai untuk menunjukkan keberadaan ‘Aku’, justru tahshilul hashil, usaha pemborosan yang sia-sia. Atau anggaplah ‘Aku’ dalam cogito itu tidak lebih dari sebuah kata ganti yang tidak lagi memberikan arti apapun, selain untuk mempermudah dalam merangkai kaidah. Sebuah tawaran Russell untuk Descartes yang tidak lebih baik dari kritik Kierkegaard.
Sampai di sini bapak Eksistensialisme belum menuntaskan perkara. Bila kita bertanya, apakah benar adanya lompatan kognitif dari ‘Aku’ ke ada? Kant dengan hazanah filsafat kritiknya masih berhak mengingatkan kita, bahwa lompatan kognitif itu tidak akan terjadi. ‘Aku’ tidak bisa menjadi satu sisi lompatan pengetahuan, karena ‘Aku’ sebagai noumena dan realitas hakiki –untuk kesekian kalinya- tidak dapat diketahui kecuali melalui kontak intuitif langsung dengannya.
Berbeda dengan Kierkegaard. Ia justru menekankan adanya intuisi yang langsung tersebut. Ia menyebutnya sebagai keputusan eksistensial. Meski nyaris sepakat dengan Kant tatkala menyatakan bahwa ‘Aku’ bukan objek pikiran, namun alasan Kierkegaard untuk pernyataan ini mempertajam perbedaan di antara keduanya. ‘Aku’ bukan objek pikiran karena seketika ‘Aku’ berfikir dan dipikirkan, seketika itu pula ‘Aku’ keluar dari keberadaannya. Padahal, keterpisahan ‘Aku’ dari keberadaannya adalah ketiadaaan diri sendiri. Maka, ‘Aku’ adalah subjek dalam arti yang seutuh-utuhnya. “Aku’ adalah keberadaannya, tanpa perlu penalaran rasional kecuali pengalaman langsung atau intuisi mistis.
Tampak ada kesepakatan di antara Kant dan Kierkegaard. Pertama, bahwa tidak ada hubungan vertikal dan konsisten antara ‘Aku’ noumenal dan ‘Aku’ fenoumenal. Kedua, Kierkegaard tidak mengakui adanya lompatan kognitif antara ‘Aku’ dan ‘ada’, bukan karena di luar kapasitas rasio seperti kata Kant, tetapi karena ‘Aku’ seutuh dengan keberadaannya. Kalaulah mesti ada lompatan, sebut saja “lompatan dari ada ke ada’.
Kesepakatan itu boleh jadi terganggu dengan catatan Kant berikut ini, “jika memang benar tidak ada lompatan rasional, dan jika memang benar ada intuisi yang langsung berhubungan (mengetahui) ‘Aku’ noumenal, bagaimana memahami dan menginterpretasikan secara rasional apa yang terungkap oleh intuisi terebut? Sementara Kant jauh sebelumnya sudah menolak intuisi langsung dalam wacana rasionalitas tanpa perlu repot-repot menanggapi pertanyaan, Kierkegaard secara kesatria menolak usaha menalarkan ‘Aku’ noumenal secara rasional. Selanjutnya, ia menyadari kecenderungan eksistensialistiknya kepada subjektivitas. Dan akhirnya, ia pun kembali nyaris sepakat dengan Kant –minamalnya-untuk membuang Ontologi Metafisis.
Ilmu Hudhuri dan Ilmu Hushuli
Baik Kant maupun Kierkegaard, sama-sama mengambil pendirian yang berlebihan dalam menanggapi ‘Aku’ noumenal Cartesian. Keduanya tidak merestui kehadiran dan hubungan ‘Aku’ noumenal itu dalam diskusi rasional. Kant –kata Yusuf Karam- membangun dinding sebegitu tebal antara ‘Aku’ noumenal dan ‘Aku’ fenomenal, sehingga tidak lagi menyisakan celah. Semantara, Kierkegaard –kata Badawi- menerima ‘Aku’ noumenal sepenuh-penuhnya sampai menyia-nyiakan ‘Aku’ fenomenal. Sayangnya, Karam dan Badawi sendiri selaku dua pemikir Arab yang akrab dengan literatur filsafat Islam tidak melakukan elaborasi. Misalnya melalui karya-karya Ibnu Sina, terutama Al-Ta’liqot; satu dari sekian karya falsafi Ibnu Sina yang direvisi Badawi sendiri.
Di beberapa tempat dari Al-Ta’liqot, Ibnu Sina cukup aktif mengulas pengetahuan ‘Aku’ akan dirinya sendiri. Coba kita memulai dari filsafat kritik Kant. Asumsikan saja sallamna (kita terima) forma (ruang dan waktu), 12 konsep dasar (kategori) itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi sebagaimana yang dipaparkan Kant. Ibnu Sina mengingatkan kita, sekiranya benar bahwa kita tahu forma (ruang dan waktu) serta konsep-konsep dasar (kategori) itu sudah tersedia pada pikiran kita juga fenomena-fenomena yang dicerap intuisi inderawi, tentunya semua itu hadir dan ada pada diri kita. Kehadiran ini menujukkan bahwa kaitan semua itu langsung dalam relungan diri. Tidak ada lagi dualisme dan rentang. Diri secara langsung meliput forma, konsep dan cerapan-cerapan inderawi sebagaimana adanya. Dalam bahasa Kant, ia mengatakan, forma, konsep dan cerapan indrawi dalam kapasitas sebagai noumena hadir langsung pada diri pengetahu, dan diri ini mengetahui atau menyaksikan langsung akan hal ihwal mereka dalam kapasitas yang sama. Maka, ada serangkaian noumena dan bisa diketahui.
Seandainya forma, dua belas konsep dan semua cerapan inderawi itu diketahui oleh diri pengetahu masih juga sebagai fenomena, maka diri pengetahu perlu suatu perangkat kognitif (apakah semacam intuisi inderawi, formal ataukah lainnya) yang dengannya ia mengetahui semua itu. Jika demikian, bagaimana dengan hasil pencerapan intuisi yang terakhir ini, apakah masih juga sebagai (berupa) fenomena pada diri pengetahu? Mempertahankan ke-fenomena-annya malah akan terus dicecar tanpa henti oleh pertanyaan seperti ini. Yakni, memilih fenomena tidak akan mungkin menuntaskan persoalan, karena harus selalu dan selalu mengandaikan fenomena di atas fenomena dan intuisi di atas intuisi, pengandaian ini berlanjut terus dan terus, tanpa akhir (tasalsul).
Dengan kata lain, bila semua konsep dan lain-lainnya yang ada pada diri dianggap sebatas fenomena, maka mesti adanya jarak kognitif (cognitive gap) antara diri pengetahu dan konsep itu.
Sama sekali tidak pernah menyentuh dan tahu fenomena (konsep dan selainnya) itu. Bukankah Kant sendiri yang mempercayai adanya noumena dan fungsinya sebagai sebab kemunculan fenomena. Oleh karena ini, forma, konsep-konsep dasar dan semua cerapan indera diketahui noemena-nya oleh subjek pengetahu secara langsung. Suhrawardi menyebut pengetahuan langsung ini dengan istilah isyraqi yang selalu disandingkan dengan istilah hudhuri.
Dalam kaitannya dengan ‘Aku’ Kant, uraian Ibnu Sina menjadi lebih jelas lagi. Yakni, kalau saja forma dan lainnya itu adalah noumena-noumena yang secara langsung diketahui diri pengetahu tanpa melalui perangkat (rasio dan indera) ataupun refleksi (gambaran), sudah barang tentu ‘Aku’ pun diketahui sebagai noumena oleh dirinya sendiri secara langsung. Konsep-konsep dasar dan lain-lainnya itu ialah citra-citra ‘Aku’ yang diketahui secara noumenal dan langsung, tentunya ‘Aku’ mengetahui kenyataan dirinya sendiri secara noumenal dan langsung pula.
Oleh karena ini, Ibnu Sina mengatakan, realitas noumenal ‘Aku’ tidak bisa didemonstrasikan melalui citra-citranya, karena citra-citra tidak akan ada dan nyata, dan tidak akan pula difahami kecuali dengan menyadari realitas ‘Aku’ terlebih dahulu.
Kendati demikian, Suhrawardi berusaha mendekatkan kehudhurian realitas ‘Aku’ dengan dua argumen. Salah satunya mirip dangan dalil Kierkegaard tersebut dahulu, yaitu jika realitas ‘Aku’ diketahui dengan pencerapan, dengan perantara, dan sebatas fenomena dan refleksi, maka realitas dan noumena ‘Aku’ tidak tersentuh dan berada di luar diri (ghaib). Dengan demikian, realitas ‘Aku’ bukan ‘Aku’, tetapi ‘Dia’, karena ‘Dia’ berarti Yang di luar dan selain diri. Sebuah implikasi yang bertentangan dengan identitas ‘Aku’.
Ba’dal-lutayya wallati, baik Ibnu Sina maupun Suhrawardi menentang cara Decartes membuktikan realitas aku melalui citranya, yakni berfikir. Aku adalah realitasku, jauh sebelum berfikir, dipikirkan, didalilkan dan dinyatakan. Mereka sama-sama menyatakan bahwa pengetahuan hudhuri manusia pada dirinya adalah dasar segenap pengetahuan. Bahwa pengetahuan sesorang akan keraguan, pengetahuan, perasaan, dan konsep-konsep di mental berlandaskan pada pengetahuan dirinya akan dirinya sendiri.
Pengetahuan hudhuri sebagai perasaan, peresapan dan penjiwaan ini bersifat sederhana dan tidak terbagi-bagi. Ia bukan layaknya proposisi “Aku berfikir” atau “Aku ada” yang tersusun dari dua konsep. Dua proposisi ini atau proposisi lain semacamnya berfungsi sebagai pengungkap dan pengurai pengetahuan itu dalam bentuk-bentuk logika (proposisi) dan bahasa (kata-kata). Ia menggambarkan apa-apa yang dirasakan, diresapi dan dijiwai oleh seseorang. Maka, ‘Aku’ dan citra-citranya adalah noumena-noumena atau hakikat-hakikat yang bisa ditangkap oleh pikiran untuk lalu diungkapkan dan dipahamkan. Hakikat yang ditangkap oleh pikiran itu bukan lagi hakikat, namun gambaran, refleksi, fenomena, shurah zihniyah. Jadi, pikiran bisa menyadari dan memahami ‘Aku’ serta citra-citranya melalui gambaran dan refleksinya. Secara istilah, pengetahuan tentang sesuatu melalui gambaran mentalnya adalah pengetahuan hushuli. Sejak saat itu, yakni Suhrawardi, sampai generasi filsuf muslim terakhir sekarang, secara jelas dan tegas pengetahuan manusia dibagi kepada dua macam; hudhuri (langsung) dan hushuli (berperantara).
Pernyataan ini tidak mesti berakhir pada Subjektifisme sebagaimana Kierkegaard. Yakni, sampai di sini jelas bahwa ada noumena-noumena pada diri manusia dan bisa diketahuinya secara langsung dan hudhuri. Tidak dengan refleksi ataupun perangkat inderawi dan rasional, tetapi dengan penyaksian dan kesadaran jiwa. Kant boleh saja mengkritik, bagaimana memahami secara rasional dan meniterpretasikan ‘Aku’ dan citra-citranya yang terungkap oleh penyaksian jiwa tersebut? Sebagaimana yang lalu, Kierkegaard berpandangan bahwa –setidaknya- ‘Aku’ tidak bisa dirasionalkan, karena tidak bisa dijadikan objek pikiran dan rasio. ‘Aku’ adalah subjek pikiran.
Bagaimana dengan Ibnu sina dan Suhrawardi serta filsuf-filsuf Muslim lainnya? Barangkali hal yang amat sederhana untuk dikatakan bahwa ‘Aku’ yang subjektif dan hudhuri ini diketahui oleh semua subjek secara sama, rata dan mufakat; mereka sepakat dan tegas akan keakuan dan keberadaannya. Sebuah usulan sederhana yang –memang barangkali- menyimpan penuntasan awal. Waalahu a’lam. [ISLAT]
ooo syiah ya…
SYIAH, terlalu banyak mengadopsi ilmu-ilmu keyakinan model BARAT…
AWAS, ANDA BISA SESAT dan MENYESATKAN !
Apa yang anda maksud dengan Barat? Adopsi Barat ataukah meluruskan apa yang di Barat? Apakah ilmu akal hanya milik Barat dan Islam tidak punya sedang Islam (dalam banyak ayat dan riwayat) sangat menjunjung tinggi akal dan proses pemakaian potensi akal?
Selain itu, apakah jika kita berbicara dengan non muslim -untuk memahamkan mereka- juga tetap menggunakan ayat al-Quran dan hadis Nabi sedang mereka belum meyakini Penurun al-Quran dan kenabian Nabi Muhammad? Orang yang bijak adalah yang berbicara sesuai dengan kapasitas pemahaman mereka, bukan memaksakan pemahamannya kepada pihak lain.
@Suratan
Ga ngerti deh….jenis manusia-manusia seperti mas ini sudah terlalu penuh (baca: overload) dengan prasangka buruk. Sedikit-sedikit bilang “Awas sesat…Awas sesat!”
Sudah berapa banyak “Awas sesat…Awas sesat!” yang mas keluarkan?
Sepertinya mas sangat memahami kompleksitas objek (masalah) yang dibahas serta tau benar kemampuan dan kapasitas keilmuan (keimanan) dari penulis dan pembaca yang tertarik dengan objek bahasan di atas sehingga keluar ucapan itu?
Salam
maksudnya kalo mau ber”islam” ga perlu pakai akal, pakai dengkul aja…wekekek…ups astgfirullah…