Oleh karena itu sama sekali tak beralasan apabila kita menuntut lebih dari realitas yang ada, semua kekurangan dan keutamaan yang terjadi tidak lain karena keberagaman kapasitas eksistensial semua jagat raya. Dan oleh karena Tuhan kausa prima adalah maha pengasih, maha adil dan maha bijak, maka Dia tidak akan enggan memberi sesuai dengan kapasitas penerima.
—————————————————
Nepotisme Peng-ada-an
Oleh: Nasir Dimyati
Hati terasa kesal tidak menerima kenyataan ketika seseorang dihadapkan pada kekurangan dan keterbatasan dirinya. Suatu waktu menyalahkan orang tua dan terkadang memaki nasib, pada akhirnya berani memecahkan dogma kesucian Tuhan seraya bertanya-tanya sambil menyalahkan kenapa Dia meng-ada-kan dan men-jadi-kanku begini? Tampang kurang menarik, IQ tidak standar, kan-ker, lemah tak berdaya dst. Kenapa mesti aku menjadi korban nepotisme eksistensial ini? Lebih jauh lagi mengapa Dia meng-ada-kan satu dalam bentuk cahaya dan yang lain kegelapan, satu manis dan yang lain pahit, satu manusia dan yang lain binatang? Mana letak keadilan Tuhan?!.
Persoalan diatas senantiasa mengganjal dalam benak setiap individu khsusunya kalangan remaja yang berjiwa petualang menjelajahi semua wacana intelektual dengan sedikit perbekalan sehingga seringkali menjadi mangsa serigala-serigala barat melalui pencopetan identitas. Berangkat dari sinilah saya mencoba untuk membekali anda dengan solusi alternatif sebagai berikut.
Ini tidak lain adalah pemutarbalikan fakta dengan bermain kata-kata, realitas alam semesta adalah perbedaan bukan nepotisme, sementara yang berseberangan dengan keadilan adalah nepotisme peng-ada-an bukan perbedaan.
Nepotisme adalah sikap-tindak peng-ada-an yang membedakan atau mengutamakan satu hal dari selainnya di saat semuanya memiliki kapasitas, potensi dan kelayakan yang sama rata. Sedangkan perbedaan adalah sikap-tindak peng-ada-an yang membedakan atau mengutamakan! Satu hal dari selainnya sesuai dengan kapasitas, potensi dan kelayakan personal yang beragam. Artinya nepotisme berangkat dari pemberi sedangkan perbedaan dari sisi penerima.
Menuangkan sepuluh liter air kepada satu wadah dan lima liter pada wadah lain yang berkapasitas sama adalah nepotisme. Begitu pula memberi nilai A pada satu murid dan B pada selainnya di saat mereka memiliki potensi, usaha dan kapasitas intelektual yang sama adalah nepotisme, tidak adil dan buruk. Sedangkan apabila wadah kedua hanya berkapasitas lima liter dan juga murid yang lain tersebut memiliki potensi, usaha dan kapasitas intelektual di bawah murid pertama, maka dua tindakan tersebut adalah berbeda sesuai dengan kapasitas penerimanya. Dan tindakan ini adil dan baik.
Oleh karena itu sama sekali tak beralasan apabila kita menuntut lebih dari realitas yang ada, semua kekurangan dan keutamaan yang terjadi tidak lain karena keberagaman kapasitas eksistensial semua jagat raya. Dan oleh karena Tuhan kausa prima adalah maha pengasih, maha adil dan maha bijak, maka Dia tidak akan enggan memberi sesuai dengan kapasitas penerima.
Namun demikian, bukankah keberagaman itu sendiri di tangan Tuhan? Kenapa sejak awal Dia tidak menyejajarkan segala sesuatu dalam kapasitas keberadaan? Apa rahasia pluralitas ini?
Keberagaman segala sesuatu adalah zat (esensi) mereka dan merupakan konsekwensi sistem sebab akibat. Penjabaran kalimat filosofis tersebut adalah sebagai berikut; ada aturan tertentu didalam penciptaan, dan kehendak Tuhan terhadap ke-ada-an segala sesutu adalah kehendak sistem kausalitas itu sendiri. Segala sesuatu memiliki posisi tertentu, dan secara keseluruhan alam semesta terbagi pada dua macam sistem, vertikal dan horisontal. Sistem vertikal kausalitas berarti bahwa segala sesuatu terletak di bawah Kausa prima Tuhan secara gradual dan bertahap. Dia adalah Pemimpin tertinggi yang meng-ada-kan selainnya, makhluk pertama menjadi perantara peng-ada-an kedua dan begitulah seterusnya, berangkat dari murni kesederhanaan sampai pada puncak ketersusunan.
Apabila tidak ada aturan tertentu yang dominan diantara ada-ada, niscaya semua hal bisa menjadi sebab dari pada segala seuatu. Kekuatan kecil mampu menciptakan ledakan super dahsyat, nyala korek api bagaikan matahari dan lain sebagainya. Begitu pula sebab bisa menjadi akibat dan akibat menjadi sebab, Tuhan pengada menjadi yang di-ada, dan yang di-ada menjadi Tuhan pengada, makhluk pertama menjadi kedua dan kedua menjadi perantara peng-ada-an makhluk pertama bahkan penyebab itu sendiri tanpa perantara, api mengeluarkan suhu dingin dan es mengeluarkan panas dsb.
Persepsi ini merupakan dampak asumsi bahwa struktur diatas seperti halnya struktur sosial yang berdasarkan kontrak dan kesepakatan, sebagaimana seseorang kemarin adalah manager sementara hari ini tergusur menjadi orang biasa. Tuhan pun bisa tergusur menjadi yang dicipta, kambing menjadi manusia begitupula sebaliknya. Padahal struktur vertikal dan gradual di atas adalah eksistensial dan hakiki. Perubahan yang terjadi dalam struktur sosial mustahil terjadi dalam struktur eksistensial, karena tahapan setiap sesuatu adalah zat sesuatu itu sendiri yang tidak dapat di hindari. Sebagaimana tahap-tahap bilangan yang tidak bisa dirubah, bilangan lima yang berposisi di bawah bilangan empat tidak mungkin untuk mendahuluinya, satu tidak bisa menjadi dua, dua tidak bisa menjadi tiga begitupula seterus dan sebaliknya.
Oleh karena itu pluralitas sesuatu dalam perolehan ada merupakan kepastian sistem penciptaan sesuai undang-undang sebab dan akibat. Bahkan lebih lanjut lagi bahwa asumsi kesamaan mereka akan berujung pada ketiadaan penciptaan. Karena apabila semua orang wanita atau pria saja, niscaya manusia akan punah tidak berketurunan, apabila semua makhluk adalah manusia niscaya tidak terdapat pakaian, makanan dan segala kebutuhan lainnya, apabila semua binatang dan tumbuhan satu warna dan memiliki kriteria yang sama niscaya keindahan yang menakjubkan ini tidak akan ada. Maka dari itu tak satupun sebelum peng-ada-an berhak atas Tuhan agar Dia meng-ada-kannya begini bukan begitu, di sini bukan di sana, sekarang bukan dahulu, sehingga hal ini menjadi tolok ukur keadilan atau kezaliman-Nya.
Kesimpulannya bahwa alam ke-ada-an diatur oleh sistem kausalitas yang tidak mungkin berubah. Maka setiap fenomena tetap pada posisinya masing-masing. Konsekwensinya adalah ke-ada-an memiliki taingkatan-tingkatan yang menyebabkan keberagaman. Oleh karena itu keberagama tidak di-ada-kan, melainkan konsekwensi zat yang di-ada-kan. Maka tidaklah terjadi nepotisme peng-ada-an, tapi yang ada adalah perbedaan. Perbedaan dalam sikap-tindak peng-ada-an yang membedakan atau mengutamakan, satu hal dari selainnya sesuai dengan kapasitas, potensi dan kelayakan personal yang beragam adalah adil dan baik.[islamalternatif.net]
dapatkah setiap “ada” itu meningkatkan kapasitas eksistensinya atau berupaya lebih untuk aktualisasi potensi yang dimilikinya, khususnya manusia?
apakah setiap “ada” itu memiliki potensi yang sama, sehingga memperoleh kesempatan yang sama, khususnya manusia?
—————————————————
Islam Syiah:
Sesuai dengan ajaran Filsafat Transtendental Islam yang dipelopori oleh Mulla Shadra yang meyakini adanya Gradasi dalam ‘ada’ maka hal itu bisa sangat bisa dilakukan. Apalagi beliau juga mengajarkan adanya konsep ‘Gerak Substansi’ pada setiap ‘ada’ yang bersifat materi.
Gerak adalah proses. Ingat, apa yang anda singung itu berkaitan dengan ‘ada’ pada hal materi, adapun sesuatu ‘ada’ non materi yang tidak memiliki hukum material maka tidak memiliki proses semacam itu. Dari sini jelas bahwa, tidak bisa disamakan antara semua ‘ada’ yang ada di alam ini. Semuanya memiliki potensi yang berbeda-beda sesuai dengan tuntutan kesempurnaan yang harus ia raih.
Jelas keberadaan manusia tidak bisa disamakan dengan keberadaan batu (benda padat), hewan (yang hanya mengandalkan insting) dan pohon dalam mencapai kesempurnaannya masing-masing. Oleh karena itu Allah memberi potensi yang berbeda-beda pada makhluk yang diadakan-Nya sesuai dengan tuntutan kesempurnaannya. Maha BEsar Allah atas segala ciptaan-Nya.