Pertanyaan “Dimanakah Allah?” adalah pertanyaan salah yang tidak perlu terhadap jawaban, bahkan tidak memiliki jawaban sama sekali. Pertanyaan yang salah harus diluruskan terlebih dahulu, bukan dijawab. Karena memaksaan diri untuk memberi jawaban dari pertanyaan yang salah akan mengarah kepada jawaban yang salah pula. Ini pun merupakan salah satu bukti akan keotentikan hukum kausalitas.
——————————–
Dimanakah Allah?
Hukum kausalitas (sebab-akibat) merupakan hal yang aksiomatis di alam semesta ini. Dengan hukum ini pula alam semesta tercipta. Hukum ini terdiri dari dua hal; ‘sebab’ dan ‘akibat’. Dalam kajian filsafat disebutkan beberapa kekhususan yang dimiliki oleh hukum ini termasuk bahwa; ‘sebab’ harus ‘ada’ (eksis) terlebih dahulu dari ‘akibat’. Dan, segala kesempurnaan eksistensial ‘akibat’ harus dimiliki oleh ‘sebab’, bahkan ‘sebab’ harus memilikinya dengan bentuk yang lebih sempurna dari apa yang dimiliki oleh ‘akibat’.
Dalam kajian teologi falsafi telah disebutkan bahwa, mata rantai penciptaan alam harus berakhir pada satu titik dimana tiada lagi esensi lain yang menjadi pencipta titik tersebut. Jika tidak, niscaya akan berakhir pada terjadinya dua kemungkinan; ‘mata rantai penciptaan yang tiada berakhir’ (tasalsul) dan atau ‘perputaran mata rantai penciptaan’ (daur) dimana kedua hal tersebut –dengan berbagai argumen yang telah dijelaskan secara terperinci dalam berbagai buku teologi dan filsafat- dinyatakan sebagai hal yang mustahil terjadi. Titik akhir dari mata rantai penciptaan itulah yang dalam bahasa agama disebut dengan Tuhan, atau dalam agama Islam biasa disebut dengan Allah SWT.
Allah SWT adalah kausa prima, prima dalam arti yang sesungguhnya. Oleh karenanya, segala atribut kesempurnaan eksistensial makhluk di alam semesta yang merupakan obyek ciptaan-Nya harus pula dimiliki oleh esensi-Nya, bahkan dengan bentuk yang lebih sempurna. Karenanya, semua atribut kesempurnaan Allah SWT selalu didahului dengan kata ‘Maha’. Kata itu (Maha) meniscayakan ketiadaan segala bentuk ‘kekurangan’ pada esensi sejati-Nya. Sekecil apapun kekurangan yang akan disematkan pada Allah SWT maka akan meniscayakan ketidaklayakan-Nya untuk menyandang titel ‘Maha’. Salah satu bentuk kekurangan adalah memiliki ‘sifat-sifat kekurangan’ yang dimiliki oleh hasil ciptaan-Nya (makhluk), termasuk sifat ‘membutuhkan kepada selain-Nya’ dan atau ‘memiliki sifat kekurangan makhluk-Nya’.
Salah satu hasil ciptaan (makhluk) Allah SWT adalah tempat. Pertanyaan tentang tempat selalu dimulai dengan ‘dimana’. Jika ditanya tentang dimana Allah SWT maka hal itu sama dengan menyatakan bahwa Allah SWT membutuhkan tempat dan atau esensi diri-Nya memerlukan sesuatu yang lain yang bernama ‘tempat’. Padahal tempat adalah salah satu makhluk-Nya. Apakah mungkin Allah SWT Pemilik segala bentuk kesempurnaan dan Yang dijauhkan dari segala bentuk kekurangan lantas memerlukan terhadap selain-Nya, padahal segala sesuatu selain Allah SWT adalah makhluk dan hasil ciptaan-Nya? Dengan kata lain, apakah mungkin Allah SWT memerlukan terhadap makhluk-Nya? Tentu jawabannya adalah, mustahil Allah SWT memerlukan terhadap selain-Nya. Itu kemungkinan pertama.
Kemungkinan kedua adalah, Allah SWT memiliki sifat kekurangan, persis seperti makhluk-Nya (padahal dalam ayat al-Quran disebutkan bahwa, “Tiada satupun yang menyamai-Nya”). Bagaimana tidak? Sewaktu Allah ada di suatu tempat maka hal itu meniscayakan bahwa Ia seperti makhluk-Nya; perlu terhadap tempat, bisa di tunjuk dalam arti berada di suatu arah tertentu dan dalam waktu yang sama tidak ada di arah lain dimana hal itu memberikan konsekuensi bahwa Allah SWT tersusun dan memiliki anatomi tubuh (jisim), persis keyakinan anthromorpisme Yunani klasik.
Kemungkinan ketiga adalah, jika Allah SWT bertempat maka hal itu meniscayakan ketidak-aksiomatisan hukum kausalitas yang telah disinggung di atas. Karena bagaimana mungkin Allah SWT harus bertempat sedang tempat adalah hasil ciptaan-Nya yang pastinya ‘ada’ (eksis) pasca keberadaan Allah SWT? Lantas sebelum Allah SWT menciptakan tempat, dimanakah Allah bertempat?
Oleh karenanya, pertanyaan “Dimanakah Allah?” adalah pertanyaan salah yang tidak perlu terhadap jawaban, bahkan tidak memiliki jawaban sama sekali. Pertanyaan yang salah harus diluruskan terlebih dahulu, bukan dijawab. Karena memaksaan diri untuk memberi jawaban dari pertanyaan yang salah akan mengarah kepada jawaban yang salah pula. Ini pun merupakan salah satu bukti akan keotentikan hukum kausalitas.
Atas dasar itu, para Imam Ahlul Bayt menjelaskan bahwa ‘tempat’ adalah makhluk Allah SWT yang Allah tidak akan pernah membutuhkan selain-Nya (makhluk). Dalam menjawab pertanyaan “Dimanakah Allah?”, Imam Ahlul Bayt -seperti yang disinyalir dalam kitab tauhid as-Shoduq- mengatakan: “Allah adalah Dzat yang menjadikan dimana sebagai dimana. Lantas apakah mungkin Allah disifati (ditanya tentang) dengan kata dimana?”. Yang benar adalah, Allah tidak menempati sesuatu apapun dan Dia Maha meliputi atas segala sesuatu, sebagaimana yang dinatakan dalam al-Quran dengan ayat “Wa Kaanallahu bikulli Syai’in Muhiith” (Dan Allah melingkupi segala sesuatu /QS an-Nisaa:126). Adapaun ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah SWT dalam mengatur alam semesta duduk di atas Arsy (singgasana), maka ayat-ayat itu harus ditakwil –spt: singgasana sebagai simbol kekuasaan- sehingga tidak bertentangan dengan ayat “Tiada apapun yang menyamai-Nya” (Laisa Kamistlihi Syai’) dan ayat yang telah disinggung di atas tadi. Jika ayat al-Quran harus ditakwil agar tidak bertentangan dengan ayat lainnya, apalagi hadis-hadis yang menjelaskan tentang hal itu, lebih utama untuk ditakwil. Jika tidak mampu untuk ditakwil maka kita singkirkan jauh-jauh hadis tersebut dari file kita, walaupun hadis tersebut terdapat dalam kitab standart dan pustaka agama kita, karena bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. [FI/ISLAT]
jika seperti ini, berarti anda merubah kabar yg telah diberitakan allah dlm al-quran. Kalo allah mengabrkan dlm al-qur’an begitu atau begini kenapa kita tdk menerimanya sj dg lapang jika memang kt mengaku beriman ? seperti halnya allah menggambarkan surga yang menurut akalpun tidak masuk akal. apkh anda juga akan mentakwilkan syurga itu dg pengertian yg lain? ALLAHU MUSTA’AAN !
——————————————————–
Islam Syiah:
Merubah kabar dari Allah ataukah menjelaskan hakekat di balik teks kabar, dua hal yang berbeda lho!? Ketika kita menerima secara literal/tekstual maka justru akan menjerumuskan kita pada Anthropomorpisme (jismiyah/musyabbihah) yang bertentangan dengan kehendak Ilahi yg disampaikan-Nya dalam ayat al-Quran dan melalui hadis-hadis Rasul, sesuai dengan pemahaman para ulama Islam. Akal pun menguatkan apa yang telah dijelaskan oleh teks-teks agama tadi.
Memang, pemahaman dan metodologi para Ahli Hadis dari mazhab Hambali yang cenderung tekstual/literal menyebabkan terjadinya perbedaan mereka dengan Syiah dan mayoritas Ahlusunah.
AsS aLkm?… SLm sHoLaWaT?.. SbLm aNda brTanya “Di Manakah Allah sWt”? TrnyaTa jawaban aNda teLah d jawab oLeH Allah sWt ber abad-abad LamaNya YaiTu dLm aLQuran. Allah sWt brfirMan: “JIKA HAMBA HAMBAKU BERTANYA TENTANG AKU KEPADAMU (Muhamad) MAKA KATAKANLAH AKU INI DEKAT KEPADANYA” (Q.S al-BaQarah 186) dlm ayaT Lain allah sWt brfirMan: ” DAN AKU LEBIH DEKAT KEPADAMU DARI PADA URAT LEHERMU” (Q.S Qaf 16) jd sSungGuhnya Allah sWt aMat dekat dGn kiTa Sesuai ayaT d aTas URAT LEHER DENGAN LEHER MASIH ADA ANTARANYA (jarak) jd Allah dngan kiTa sudah akrob. Contoh kecilnya..!! kita bisa bernafas, mata bisa berkedip, mulut bisa mengucap, tangan & kaki bisa bergerak. Itu smua karena Allah swt. Apa kiTa bisa tdk bernafas dlm 1 hari saja?.. Apa kiTa bisa dlm 1 jam saja mata kiTa tak berkedip?.. Lahaulla wala kuata ila bilah… Tdk ada daya & upaya keCuali Allah sWt. Jd jGnLah d perdebatkn TnTang Allah swT, & jGnLah d perdebatkn TnTang nabi muhamad saw. CariLah soLusiNya dngan cara yg ma’ruf yaiTu dgn cara bermusyawarah. WasaLam aLkm wr-wb? SLm sHoLawaT?…
————————————————–
Islam Syiah:
Benar apa yang anda nyatakan. Namun, terkadang -bahkan seringnya- kata ‘dekat’ itu sering diartikan sebagai ‘jarak materi’, terkhusus buat yang memiliki ajaran teks book thingking dari Ahli Hadis, sebagaimana disaat mereka memahami ayat dan hadis yang menyatakan bahwa Allah berada di langit yang diartikan dengan apa yang otak mereka pahami. Padahal langit tidak mesti memiliki arti yang dipahami oleh awam, lawan dari bumi materi yang bulat ini. Padahal jika ditarik ke atas maka langit Amerika berbeda dengan langit Indonesia, karena bumi bulat. Lantas di langit sebelah manakah Allah? Dan jika Allah di langit maka di bumi ‘kosong’ dari Allah donk?
MmaNg benar Allah tu ad d langit, tp langit yg mana?.. Ap langit yg ada d atas kepala kita?.. Subhanallah.. Maha suci allah ats mereka sifatkn. Dlm hadist “kenali dirimu maka akan mengenal tuhanmu” dlm hadist lain “barang siapa yg menal dirinya yg sejati, maka akan mengenal tuhanya, dan barang siapa yg sudah Mengenal tuhannya maka dia akan merasa bodoh” mksud kata bodoh dlm hadist dsini bknlah yg bodoh pikiranya, ttapi bodoh d sini LAHAULA WALA KUATA ILABILAH, hidup & mati hanyalah milik Allah, tidak ad sdikitpun yg d miliki oleh manusia. Dlm hadis lain “jgn Lah kamu mencari Allah keluar dari diri, Ttpi cariLah Allah dalam diri” dlm hadis lainya “mengenal Allah di dunia bkn lah dgn mata dhohir, Ttpi mengenal Allah d dunia adlh dgn aWasnya MATA HATI” Allah adlh ZAT yg maha tinggi, mustahil Allah brada d atas kepala kita. Langit d atas kepala kita bisa d lihat dgn mata dhohir sdngkn allah maha goib, yg tdk bs d liat dgn mata kepala(dhohir)
lalu mengapa timbul pertanyaan seperti itu??
kembali ke antromorphisme, mengapa mengatakan sesuatu yang tidak bisa dibalut kata2 dengan kata2??
———————————————
Islam Syiah:
Pertanyaan bisa muncul dari benak manusia jutaan jumlahnya, atau bahkan tak terhingga…tetapi tidak mesti semua itu dijawab…karena sebagiannya rancu, termasuk pertanyaan di atas.
Dimana itu berarti menanyakan tempat. Sedang Allah Maha kaya yang tidak memerlukan apapun, termasuk tempat. Jika tidak, maka Allah perlu terhadap tempat tersebut. Sewaktu perlu berarti Allah ‘miskin’ (baca: perlu) terhadap sesuatu yang lain, yang bernama tempat. Selain itu, jika Allah bertempat maka ia terbatas, karena hanya di tempat itu saja, dan tidak ada ditempat lain. Selain itu, jika Allah bertempat maka Allah bisa ditunjuk, ke arah tempat itu, dan ini meniscayakan keterbatasan Allah.
Oleh karenanya dalam banyak teks disebutkan, terkadang dinyatakan bahwa Allah dekat, terkadang Allah di atas, dan terkadang Allah meliputi segala sesuatu yang berarti dimana-mana. Allah dekat bukan berarti kedekatan jarak dan tidak berada di kejauhan. Allah di atas bukan berarti Allh di bawah, di kiri, kanan, depan, belakang tidak ada. Allah dimana-mana bukan berarti Allah banyak atau bergentayangan. Ini semua yang tidak mungkin terjawab hanya berbekal metodology tekstual sebagaimana pengikut mazhab Ahli Hadis. Hanya kajian dengan metology pengawinan antara teks dan akal saja yang bisa menjawabnya. Ini yang diajarkan dalam mazhab Ahlul Bait AS.
carilah Allah sebagaimana Nabi Ibrahim dan Nabi Musa mencari Allah.
dunia keilahian tentusaja tidak dapat di analisa dan diukur dengan dimensi kemanusiaan. karena dimensi kemanusiaan adalah serba terbatas, sehingga bagaimana mungkin dapat menjangkau yang Maha.
Sebagai khasanah dalam hal ini bisa dijadikan renungan tulisan Dimitri MAhayana di http://haidar-alhawa.blogspot.com/2009/01/bukti-bukti-ketunggalan-realitas.html
Maksudnya Allah Dimana? adalah pertanyaan yg salah n ga perlu dijawab? so Allah meliputi segala sesuatu yang menciptakan tempat dimana-mana karena tempat itu sendiri adalah hasil ciptaan Allah begitu ya… !!?? . Allah ada dilangit, dibumi, Allah itu dekat mksudnya bukan Allah itu banyak tetapi menunjukkan kemahaan Allah pencipta tempat sumber segala sesuatu?
———————————————-
Islam Syiah:
Kata ‘Dimana’ adalah pertanyaan mengenai tempat. Allah menciptakan ‘tempat’ sehingga bisa dikatakan bahwa Allah-lah yang menciptakan kata ‘dimana’. Apakah mungkin Allah akan ditanya dengan pertanyaan yang ‘ada’ (eksist) karena Allah, atau dengan kata lain, apakah mungkin Allah ditanya dengan suatu pertanyaan yang datangnya setelah Allah dan ia tergolong makhluk Allah? Itulah maksud kami. Apakah mungkin ‘akibat’ akan menjadi ‘tempat’ bagi ‘sebab’?
Sy pernah diajukan sebuah pertanyaan oleh kelompok Mujassimah, yg cukup membuat sy terhenyak.
Begini. Ketika sy menyanggah bahwa Tuhan itu tidak bertempat (di langit) dgn berbagai argumen yg mungkin agak sulit diterima oleh mereka. Mereka kemudian pada akhirnya bertanya ke saya; “Jika Tuhan tdk berada di satu tempat (di langit) berarti Tuhan berada dimana-mana??? Itukah keyakinan antum??? (pake tanda tanyanya 3 X). Masya Allah…!
Jadi rupanya selama ini mrk menganggap bahwa Tuhan ini suatu materi yg sangat super dan kehebatannya melebihi dari manusia umumnya.
Benar-benar jahil!
Salam
NB. Senang membaca paparan ini.
Umumnya mereka mengatur-atur Allohnya.
Dan kewajaran-kewajarannya pun ditentukan.
Aneh menurutku! Bagai memasungNya kurengok.
Salam Damai!
Tuhan itu misteri bagi kita manusia. Tidak cukup otak kita menampung kebesaranNya. Saya setuju Tuhan adalah Primacousa, oleh sebab itu dimana ada ciptaannya disitulah Tuhan ada termasik di dalam diri kita.