Di mata sebagian kaum humanis, agama dan pencerahan pemikiran merupakan dua kutub yang saling bertentangan, agama adalah milik masyarakat awam, sedangkan bagi para pemikir kepatuhan kepada agama merupakan perilaku yang menyalahi kebebasan berpikir. Mereka bukannya melenyapkan bencana akibat penyalahgunaan agama, yaitu kerakusan dan despotisme sistem gereja yang telah membendung nilai, ikhtiar, dan kebebasan manusia abad pertengahan, tetapi malah sekaligus menyerang dan mencabut akar-akar agama dan keberagamaan.
————————————
Humanisme (1); Selayang Pandang
Oleh: Musa Musawir
Mukaddimah
Untuk mengkaji setiap fenomena secara lebih cermat, diperlukan telaah latar belakang kemunculan dan pertumbuhannya. Kajian mengenai gerakan filsafat humanisme juga demikian. Bab ini akan mentelaah sejarah ringkas kemunculan dan terbentuknya paham humanisme. Mula-mula bab ini akan menjelaskan situasi yang dominan pada abad pertengahan dan yang telah menciptakan arus perlawanan terhadapnya. Setelah itu, bab ini baru akan menerangkan keadaan era Renaisans yang telah membidani lahirnya humanisme.
Ringkasan Mengenai Abad Pertengahan
Pada abad pertengahan masyarakat memandang dunia ini sarat dengan kekuatan-kekuatan transendental. Dalam persepsi mereka, setiap kejadian yang luar biasa dan menakjubkan memiliki makna tertentu sehingga mereka menantikan munculnya kekuatan-kekuatan ini dan berusaha menciptakan semacam mukjizat. Kehidupan orang-orang yang pada abad pertengahan mereka sucikan dan yang mereka anggap sebagai sumber keagungan tanah kelahiran mereka, serta karya-karya lukis dan patung para seniman telah membuat dunia seakan penuh dengan keajaiban. Syarat utama keajaiban-keajaiban ini ialah sakralisasi.
Masyarakat menganggap setan dan para tentaranya sebagai wujud nyata yang dekat dengan mereka. Oleh sebab itu, masyarakat selalu memerlukan Tuhan dan tempat-tempat ibadah untuk berperang melawan setan dan tentaranya, dan karena itu pula peninggalan-peninggalan suci dan berkah gereja serta keutamaan doa dan semangat altruisme dianggap sebagai penolong dan pendukung mereka yang terbaik. Gigi Santo Peter, darah Santo Basil, rambut Santo Denys, sobekan kain baju Santa Maria yang terdapat di atas pedang besar Roland yang bernama Durendal, jasad Santo Markus yang dicuri oleh para pelaut Venezuela dan dibawa ke gereja mereka yang penuh dengan permata, dan rumah gadis Santa Maria yang terbang secara ajaib di atas angkasa laut hingga ke Loreto, semua ini adalah benda-benda yang dijadikan masyarakat sebagai jimat-jimat guna mempersiapkan alam ini untuk pertempuran antara manusia dan setan.
Masyarakat sangat antusias mencari peninggalan-peningggalan suci seperti ini sampai-sampai raja Prancis Louis Agung yang kalah dalam Perang Salib masih tetap bergembira dan menganggap serangannya sukses kendati dia gagal menyaksikan tanah suci, sebab dia merasa telah membawa sepotong salib yang asli. Roh-roh jahat bersemayam di jahanam yang tempatnya sangat menakutkan, namun anggapan masyarakat awam tidak menentukan dimana letaknya dan malah membiarkannya tidak jelas. Hanya saja, mereka beranggapan bahwa ruh-ruh itu dekat dengan manusia dan menanti orang yang tidak melaksanakan tugasnya di depan Tuhan. Banyak hal yang ditambahkan menyangkut jahanam. Bahkan segala sesuatu yang dianggap menyeramkan oleh masyarakat karena pengaruh yang berasal dari masyarakat Yunani dan Sumerian banyak didekorasi. Dari sisi lain, langit sangatlah jauh dan lebih lebih jauh dari kubah kelabu dan bintang-bintang yang terjauh, tetapi kekuatan Tuhan menjangkau seluruh makhluk-Nya…..Langit dan jahanam adalah dua perkara pasti karena penuaan dan kematian tidak bisa lari darinya. Maka dari itu, rintihan dan keguncangan tidak akan berguna. Perasaan ini tidak mendorong amal perbuatan masyarakat, dan secara umum hanya berpengaruh pada kebiasaan dan pikiran mereka.[11]
Pada abad pertengahan manusia sepenuhnya berada dalam posisi pasif dan merasa tidak memiliki daya apapun tanpa ada kekuatan gaib. Bahkan untuk menyelamat diri dari kejahatan pun tidak ada jalan lain untuk mereka kecuali mengandalkan peninggalan-peninggalan suci. Rasionalisasi secara logis dan konseptual terhadap keyakinan mereka dan segala sesuatu yang terjadi menyangkut urusan dunia mereka anggap sebagai pembangkangan terhadap ketundukan kepada kekuatan-kekuatan gaib yang menguasai alam.
Manusia abad pertengahan meyakini dirinya berada di tengah konflik yang terlihat dalam berbagai bentuk antara dua kota setan dan Tuhan. Konflik ini adakalanya terjadi dalam bentuk pertikaian antara dua ajaran moral dimana yang satu berbasiskan alam natural dan yang lain berbasiskan ketuhanan, kadang juga terjadi dalam bentuk pergumulan antara filsafat rasional dan filsafat samawi, konflik antara keindahan jasmani dan keindahan ruhani, dan pertentangan antara kebanggan yang fana dan kebanggaan yang abadi, dan akhirnya masyarakat abad pertengahan menyaksikan dirinya berada di tengah konflik antara institusi dunia dan institusi gereja. Adakalanya kedua institusi ini berkompromi, namun antara mereka tetap ada perbedaan naluriah. Konfrontasi antar mereka telah mewarnai berbagai generasi dan masa sampai tiba saatnya mereka membuat garis tengah dan membagi wilayah tempat mereka berperang…. Pertikaian antara kota setan dan Tuhan ini terjadi tak lain karena adanya perbedaan fundamental pada diri mereka. Dengan demikian, setiap kota akan membuahkan hasilnya sendiri serta merefleksikan karakteristik hakikinya sendiri.[12]
Dalam paradigma abad pertengahan, dua wilayah agama dan dunia terpisah total satu dengan yang lain sehingga tidak ada peluang bagi ekspansi satu terhadap yang lain atau pembauran antar keduanya. Seorang manusia kalau tidak ‘melangit’ haruslah ‘membumi’, atau kalau tidak meyakini kekuasaan alam gaib terhadap segala urusan hidupnya, maka dia harus memutuskan hubungan secara total dengan Tuhan dan ruh-ruh kudus, dan jika dia menghargai jasmani dan urusan materinya maka dia bukan lagi seorang ruhaniwan dan berarti telah memutuskan hubungan dengan kota Tuhan. Kata Augustine, siapapun yang mahir dalam kesenian, perang, dan filsafat adalah orang yang bejat dan sesat, karena dia berasal dari kota setan dimana kebahagiaannya tak lebih dari sekadar topeng yang menipu, dan keindahannya hanya merupakan wajah alam kubur. Kota inilah yang tidak diterima oleh Tuhan dan fitrah manusia. Karena orang yang sombong dan angkuh adalah merupakan kepekatan hari dan orang yang memiliki pengetahuan tentang segala yang harus diketahui oleh orang-orang terpuji. Dan ketika melihat kota setan ini tenggelam ke dalam kesesatan dan kesombongannya, maka semua sudut kegelapannya akan terlihat.[13]
Dengan demikian, kerangka berpikir yang dominan pada abad pertengahan dan tekanan kuat para elit gereja yang menganggap dirinya pengawas tatanan yang menguasai dunia dan telah menginterogasi ideologi para ilmuan dan menyeret mereka ke pengadilan serta menganggap kegiatan ilmiah sebagai campurtangan setan, kemudian faktor-faktor lain yang berada di luar pembahasan ini telah menjadi latar belakang munculnya Renaisans yang telah melahirkan teriakan protes terhadap kondisi yang dominan pada abad pertengahan.
Renaisans dan Berbagai Arus Pemikirannya
Renaisans bukanlah gerakan kerakyatan, melainkan gerakan para tokoh dan pakar yang dimotori oleh para pendukung kebebasan berpikir, khususnya keluarga Medici dan para Paus humanis. Petrarch dan Baccaccio di abad 14 secara pemikiran bersentuhan dengan era Renaisans, namun karena perbedaan faktor politik zaman mereka pengaruh langsung mereka tidak lebih sedikit dari pengaruh para humanis abad ke 15. Metode perlakuan para tokoh Renaisans terhadap gereja tidak mudah untuk dijelaskan. Sebagian mereka yang berpikiran bebas terlihat mengambil sikap mendua. Kendati sangat tersiksa oleh kejahatan para paus pada zamannya, mereka tetap menerima dengan lapang dada pelayanan para pemimpin agama Katolik tersebut. Mereka turut menyelenggarakan acara-acara peminyakan suci dan berkompromi dengan gereja karena ancaman kematian seakan ada di depan mata. Sejarawan Kicardini pada tahun 1529 menuliskan:
“Tak seorang yang sepertiku sedemikian membenci ketamakan, kerakusan, kebobrokan orang-orang gereja. Kebencian ini bukan hanya karena semua keaiban itu memang memuakkan, tetapi juga karena mereka semua yang termasuk orang-orang yang mengaku memiliki hubungan khusus dengan Tuhan sangat tidak pantas. Selain itu juga karena keaiban-keaiban ini berbenturan satu dengan yang lain dimana sebagian darinya hanya mungkin terjadi pada orang-orang yang memiliki karakteristik yang sangat luar biasa. Meski demikian, posisi yang saya miliki menyangkut beberapa orang paus telah mendesak saya untuk menghendaki kebesaran mereka hanya demi kepentingan diri saya sendiri. Jika tidak ada masalah ini, maka saya mencintai Martin Luther seperti saya mencintai jiwa saya sendiri. Ini bukan karena kita ingin melepaskan diri kita dari undang-undang yang dibebankan ke pundak kami oleh kekristenan dalam pengertian yang ditanamkan kepada masyarakat umum, melainkan supaya kami bisa menyaksikan suatu hari dimana prajurit yang pandir itu bisa menunjukkan kedunguan mereka sendiri sehingga mereka terpaksa hidup tanpa keaiban atau jika tidak mereka harus hidup tanpa kekuasaan”.[14]
Pernyataan tegas ini memperlihat alasan mengapa kaum humanis tidak bisa memulai reformasi. Lebih dari itu, sebagian besar mereka tidak bisa menemukan garis tengah antara keyakinan penuh dengan pikiran bebas. Keadaan seperti keadaan Martin Luther tidak memungkinkan mereka, sebab mereka tidak memiliki kecenderungan-kecenderungan abad-abad pertengahan kepada hikmat ketuhanan.[15]
Situasi sebelum era Renaisans sedemikian buruknya sehingga para elit gereja yang mengumbar klaim-klaim keagamaan justru tak segan-segan melakukan praktik-praktik tirani, ketidakadilan dan glamorisme serta menjadikan agama sebagai media untuk meraih kekuasaan dan kedudukan duniawi. Bahkan orang-orang yang saat itu ingin mendapatkan kekuasaan harus menjalin relasi dengan mereka serta harus tunduk kepada kebesaran dan keagungan kedudukan mereka. Para elit gereja seakan-akan raja-raja untuk langit dan bumi. Pintu sorga dianggap tertutup bagi rakyat yang tidak tunduk kepada mereka, dan bahkan rakyat yang tidak tunduk juga diasingkan dari dari jabatan-jabatan duniawi. Tak cukup dengan mengaku sebagai pengampun dosa, para penguasa di gereja juga mengaku bahwa penjualan tanah sorga ada di tangan mereka.
Dalam situasi sedemikian inilah Martin Luther membahanakan teriakan protes dan pernyataan bahwa kunci keselamatan hanyalah kehendak Tuhan dan bahwa keselamatan bisa dicapai tanpa adanya perantara insitusi-institusi sedemikian rupa. Diantara sekian banyak acara-acara gereja, Luther hanya menerima upacara pembaptisan. Menurutnya, pengampunan bukanlah pekerjaan para penguasa gereja. Tuhan ada di semua tempat dan menyaksikan segala keadaan. Karena itu, hanya Tuhanlah yang mengetahui hamba-hambanya yang salih, dan bukan para elit gereja. Luther menegaskan ikhtiar dan kebebasan manusia.
Munculnya Humanisme
Di bawah komando keluarga Medici atau setidaknya pada zaman merekalah para humanis mulai menarik perhatian dan mewarnai opini masyarakat Italia. Kaum humanis menggiring perhatian rakyat dari agama ke filsafat dan dari langit ke bumi. Kekayaan pikiran dan seni masa-masa kesyirikan dikembalikan kepada sebuah generasi yang terpukau. Sejak zaman Ariosto Ludovico, orang-orang yang gila ilmu pengetahuan ini mulai tenar dengan nama kaum humanis, sebab mereka membaca telaah kebudayaan klasik tentang humanitas (berkaitan dengan dunia manusia) atau humanuras (kesusasteraan yang lebih manusiawi, dan bukan berarti kesusasteraan yang lebih berprikemanusiaan, melainkan berarti kesusasteraan yang lebih banyak berkaitan dengan dunia manusia). Jadi, tema kajian yang paling tepat ialah manusia itu sendiri dengan kemampuan yang terpendam di dalam dirinya, dan keindahan jasmani dengan segala kesenangan dan penderitaan panca indera dan perasaannya dan dengan segala kekuatan akalnya yang menakjubkan. Poin-poin inilah yang mendapat perhatian penuh seperti yang pernah terjadi dalam kesusasteraan dan seni Yunani dan Romawi kuno.[16]
Erasmus adalah salah seorang pelopor humanisme yang telah melakukan reformasi keagamaan dalam menghadapi eksklusivitas dan monopoli para elit gereja. Dia berjuang keras untuk menghapus peranan para penguasa gereja sebagai perantara antara Tuhan dan manusia. Dia mengatakan, “Jalan itu mudah dan terbuka untuk siapa saja. Bekal perjalanan kalian hanya jiwa yang bersih dan lapang serta adanya keimanan yang cemerlang dan murni di dalam hati kalian.”[17]
Erasmus berpendapat bahwa kitab suci harus disosialisasikan kepada masyarakat dengan bahasa yang mudah. Dia mengecam keras penyimpangan-penyimpangan teologis yang dilakukan kalangan ahli, yaitu para elit gereja. Dia mengatakan, “Dunia berada dibawah kekuasaan para rahib yang bergaya pengemis. Walaupun mereka adalag abdi-abdi istana Roma, namun kekuatan dan jumlah mereka yang cukup banyak telah membuat takut pribadi Paus dan bahkan para raja….. Saya tidak mengutuk semua ini, walaupun sebagian besar dari mereka layak mendapat kutukan. Hanya demi keuntungan dan kekuasaan otoriter, mereka telah menjebak hati rakyat secara piawai. Mereka bicara dengan tanpa rasa malu, dan perlahan-lahan mereka mengeluarkan AlMasih dari wilayah kekristenan. Nasihat-nasihat mereka tak lebih dari dosa-dosa yang terjadi dalam setiap perkataan tanpa rasa malu mereka. Mereka memberikan pengampunan dengan kalimat-kalimat yang bahkan tidak patut untuk orang-orang yang buta huruf…”[18]
Dari sisi lain, Erasmus juga berusaha menciptakan ikatan yang erat antara era klasik dan ajaran-ajaran Kristen. Dia melontarkan pertanyaan, “Bukankah filsafat AlMasih, yang disebutnya sendiri sebagai kelahiran kembali, tidak lain adalah pengembalian fitrah manusia yang pada zaman azali sudah diciptakan dengan bentuk yang sesuai?. Oleh sebab itu, dalam buku-buku kaum politeis banyak kita temukan sesuatu yang sesuai dengan ajaan-ajaran AlMasih. Kaum stoicisme, Socrates yang mengenal Plato, Aristoteles dalam buku politiknya, dan bahkan Epicurus, semuanya membuktikan adanya keselarasan ini.”
Menurut Erasmus, ajaran-ajaran era klasik menunjukkan kesucian fitrah manusia. Karena itu tidak sepatutnya ajaran-ajaran itu dihindari dengan alasan mengandung politeisme. Erasmus termasuk pencetus pandangan mengenai kompromisasi atau pandangan tentang tolerasi.[19] Dia pernah mengatakan, “Dunia Kristen pada akhirnya akan kembali kepada ketakwaan yang benar, para teolog dan pemberi nasihat akan menyingkirkan pertikaian mereka untuk kemudian melaksanakan tugas mereka yang sebenarnya, dan itu ialah pengajaran segala sesuatu yang berdasarkan kemufakatan umum di dalam AlMasih.”[20]
Di dalam suratnya kepada Gerard dia menyatakan, “Apakah dengan dalih adanya kebejatan kita harus menyensor segala sesuatu yang mengandung ekspresi yang memikat dan puitis.” Mengutip kata-kata otentik Santo Jerome, Erasmus mengatakan, “Para petinggi itu hanya mengenakan tirai untuk menutupi ketidak berbudayaan mereka, akibatnya mereka memandang hina segala sesuatu yang membuat mereka pessimis terhadap perolehannya Kalau mereka ini memperhatikan surat-surat Jerome dengan cermat, setidaknya mereka akan tahu bahwa ketidak berbudayaan, pengultusan, dan kecerdasan sama-sama bukan sumber pencemaran.”[21]
Menurut kacamata Erasmus, karya-karya para penulis besar, baik yang beragama maupun yang kafir, sebenarnya tenggelam dalam rahasia-rahasia kalimat dan merupakan latihan yang akan membersihkan jiwa manusia serta menggiring fitrah manusia kepada suatu tujuan yang baik dan suci.[22]
Adapun Martin Luther, murid Erasmus yang juga menentang kekuasaan gereja, mengkritik gurunya. Dia mengatakan, “Hari-hari ini aku tengah mempelajari (pikiran) Erasmus, tetapi pikiranku malah semakin jauh darinya. Saya menyayangkan sikapnya yang tidak memperlihatkan pelimpahan Tuhan dan AlMasih di luar…Dia malah lebih banyak menekankan manusia ketimbang Tuhan”.[23]
Luther bukan satu-satunya orang yang heran kepada sikap Erasmus yang tampak tidak mengindahkan sebagian masalah dogmatis dalam tradisi Kristen. Keheranan ini semakin membengkak ketika Erasmus menyatakan kesiapannya untuk menyatakan keraguannya terhadap masalah-masalah tersebut. Kecenderungan seperti ini mana mungkin sejalan dengan segala penafsiran otentik kitab-kitab Injil Yasus?[24]
Pada abad-abad pertengahan, manusia diposisikan sebagai makhluk yang pasif dan tak punya ikhtiar apapun di depan para elit gereja. Akibatnya, pada era Renaisans lahirlah sebuah gerakan dengan misi mengembalikan kebebasan manusia yang telah dinistakan. Mula-mula gerakan ini memprioritaskan reformasi keagamaan, dan setelah beberapa lama secara ekstrim gerakan ini menentang segala sesuatu yang dipaksakan dengan atas nama agama. Pencorengan citra agama yang dilakukan para penguasa gereja pada abad pertengahan telah menimbulkan sebuah gerakan bernama humanisme yang bermula pada era Renaisans, sebuah gerakan yang manganggap kebahagiaan manusia hanya bisa dicapai dengan kembali kepada era klasik, atau dengan kata lain era politeisme. Kaum humanis meyakini bahwa manusia pada era klasik telah mengandalkan potensi-potensi wujudnya tanpa keterikatan kepada agama, gereja, dan para penguasa gereja. Jalan kembali kepada era klasik bisa ditempuh melalui perhatian kepada kebudayaan dan kesusasteraan klasik.
Kaum humanis memandang penekanan kepada ilmu logika dan ilmu-ilmu teoritis seperti ilmu metafisik sebagai sikap yang kurang patut. Mereka hanya berminat kepada kepada bidang-bidang yang berfungsi langsung di dalam kehidupan masyarakat, seperti retorika dan cabang-cabangnya termasuk politik, sejarah, dan syair. Selain itu, mereka juga tertarik kepada bidang dialektika atau seni dialog. Secara lebih umum, kaum humanis terikat kepada pemikiran mengenai kedudukan dan potensi manusia di dunia tanpa mempertimbangkan nasib manusia di alam azali.[25]
Bath yang berperan sebagai pembela ajaran politeisme, dalam pembelaannya mengatakan, “Saya yakin tidak ada satupun pengetahuan kecuali yang sifatnya mendunia (inilah nama yang mereka sebutkan untuk pengetahuan orang-orang di era klasik), atau paling tidak fondasinya adalah tulisan-tulisan yang menduia ini…..Kecederungan manusia kepada ketakwaan dan keselamatan tidak hanya ada pada orang-orang Bani Israil, tetapi dalam batas tertentu juga pada para penguasa politeis.”[26]
Pada masa kemunculan humanisme, dalam waktu singkat karya-karya sastra dan filsafat Yunani klasik sudah diterjemahkan ke bahasa Latin. Semua ini tentu karena banyaknya para ilmuan dan murid-murid mereka yang aktif di Italia. Terjemahan-terjemahan ini memiliki kecermatan yang lebih tajam ketimbang terjemahan yang dilakukan pada abad ke 12 dan 13. Guvarino menerjemahkan sebagian karya Strabon dan Plotarckh ke bahasa Latin. Sedangkan Travarsori menerjemahkan karya-karya Divagnos Lairitos, Valla menerjemahkan karya-karya Herodotus, Tosidid, dan Iliad Homer, Proti menerjemahkan karya-karya Polybius, dan Ficino menerjemahkan karya-karya Plato dan Platinus.
Diantara sekian karya-karya klasik itu, karya-karya Plato yang paling banyak memukau para humanis. Kaum humanis mengapresiasi dan cemburu menyaksikan kebebasan orang-orang Yunani zaman Socrates yang bisa dengan leluasa mengupas berbagai persoalan agama dan politik yang paling sensitif. Carlo Masopini sedemikian besar mengapresiasi kebudayaan klasik era politeis sampai-sampai dia berangan untuk berpaling dari kekristenan….Tokoh humanis Italia yang paling berkarya dan kontroversial ialah Pod Ju Bratcolini…yang menulis surat-surat kepada Paus Martin V untuk melakukan pembelaan sengit terhadap dogma-dogma gereja, tetapi kemudian dalam sebuah pertemuan ekslusiv dengan segenap karyawan istana Paus dia tak segan-segan menertawakan keyakinan-keyakinan Kristen. Dia menulis surat-suratnya dengan bahasa Latin yang tidak fasih namun memikat. Lewat surat-surat ini mencemooh ketidak sucian para ruhaniwan. Dia keberatan melakukan perbuatan ini selagi dia mampu…..
Kekristenan, baik dari aspek teologi maupun moral, sudah kehilangan pengaruhnya terhadap sebagian besar kaum humanis Italia. Kebebasan berpikir dan aktivitas masyarakat Yunani era Pericles atau masyarakat Romawi zaman Augustine sedemikian membangkit kecemburuan mayoritas kaum humanis sehingga mengguncangkan keyakinan-keyakinan mereka sebelumnya kepada prispi-prinsip Kristen menyangkut kerendahan diri, hasrat kepada dunia, dan ketakwaan. Mereka sendiri keheranan mengapa jiwa, raga, dan akal mereka harus tunduk kepada komando gereja sementara orang-orang gereja sendiri bersenang-senang dan memuja dunia… Bagi kaum humanis selang waktu sepuluh abad antara Constantine dan Dante merupakan masa yang tragis dan penyimpangan dari jalan yang benar. Legenda mengenai Santa Maria dan orang-orang suci lainnya terhapus dari benak mereka untuk kemudian digantikan dengan lagu-lagu dua jenis Horace, sedangkan gereja-gereja dengan segela kemegahannya mereka anggap sebagai barbarisme……Inilah secara umum sikap kaum humanis dimana kekristenan seakan-akan merupakan mitos yang hanya bisa kompromi dengan kebutuhan-kebutuhan moral dan imajinasi masyarakat kecil, tapi bagi mereka yang berpikiran bebas tidak perlu memandang kebutuhan-kebutuhan ini dengan serius. [27]
Dengan kata lain, di mata sebagian kaum humanis, agama dan pencerahan pemikiran merupakan dua kutub yang saling bertentangan, agama adalah milik masyarakat awam, sedangkan bagi para pemikir kepatuhan kepada agama merupakan perilaku yang menyalahi kebebasan berpikir. Mereka bukannya melenyapkan bencana akibat penyalahgunaan agama, yaitu kerakusan dan despotisme sistem gereja yang telah membendung nilai, ikhtiar, dan kebebasan manusia abad pertengahan, tetapi malah sekaligus menyerang dan mencabut akar-akar agama dan keberagamaan.
Kehidupan kaum humanis mencerminkan keyakinan-keyakinan mereka yang sebenarnya. Dalam praktiknya, tak sedikit diantara mereka yang memberlakukan kriteria-kriteria moral era politeisme, itupun banyak dari segi hawa nafsunya, bukan dari sisi stoicismenya.[28] Satu-satunya keabadian yang mereka kenal ialah keabadian berupa terekamnya karya-karya besar mereka. Tanpa peranan Tuhan, keabadian seperti ini bisa dipersiapkan untuk seseorang dengan kekuatan pena yang akan membuahkan nama baik atau buruk. Setelah Cozimo satu generasi kemudian datang menampilkan para seniman yang andil dengan membuat lukisan atau patung-patung para pemilik nikmat (keabadian) tersebut, atau dengan mendirikan bangunan-bangunan megah dengan nama mereka demi mengabadikan mereka. Harapan untuk mendapatkan keabadian seperti ini adalah salah satu stimulan terkuat yang telah memotivasi kreativitas dalam seni dan kesusasteraan Renaisans. Akhirnya humanisme berhasil mempengaruhi segala seni karena kebangkitan humanisme lebih memfokuskan rasio ketimbang perasaan. Sebelumnya, gereja adalah sponsor utama gerakan seni dimana tujuan utamanya adalah sosialisasi kisah-kisah Kristen para jemaat yang buta huruf serta dekorasi Tuhan. Santa Maria dan anaknya, penderitaan dan tersalibnya Kristus, para nabi dan rasul, para bapa gereja dan orang-orang suci lainnya tentu merupakan obyek utama gerakan seni patung, lukis, dan bahkan aliran-aliran seni lainnya yang lebih kecil.Tetapi kemudian, perlahan-lahan kaum humanis mempromosikan makna keindahan yang lebih bernuansakan hawa nafsu kepada masyarakat Italia sehingga pujian kepada postur tubuh yang indah, baik lelaki maupun perempuan, apalagi dalam keadaan telanjang, akhirnya menjadi tradisi di kalangan terdidik.[29]
Awalnya, kaum humanis menjadikan seni sebagai media untuk mempengaruhi perasaan kalangan awam dan tak berpendidikan, karena pada awal-awal kebangkitan humanisme kesenian masih ada di tangan kalangan agamis yang menjadikan kekristenan sebagai tema-tema seni. Ketika para humanis merasakan kebutuhannya kepada seni, maka seni akan diarahkan kepada obyek-obyek materialistik, kebendaan, dan sesuatu yang profan. Karena itu, semaraklah pembuatan patung-patung atau lukisan-lukisan telanjang yang mempertontonkan keindahan fisik wanita dan pria. Dengan demikian, sedikit sekali faktor spiritual yang terlihat dalam gelanggang seni humanistik. Sebaliknya, seni dipertontonkan dengan mengerahkan kecenderungan naturalistik yang semata-mata memfokuskan kepada keindahan-keindahan materi.
Sebagian besar kaum humanis sudah tidak lagi berpikir tentang alam transendental. Karena mengira pahala hanya terbatas pada kehidupan dunia, kaum humanis berusaha membuat patung-patung orang-orang yang sukses sebagai hadiah untuk mereka. Oleh sebab itu, seni humanistik banyak mengacu kepada apa yang apa yang mereka saksikan dan jarang sekali memperlihatkan hasrat kepada ide-ide yang gaib dan tak tampak oleh mata. Dengan kata lain, seni humanistik lebih merupakan seni realisme yang tidak ada hubungannya dengan hakikat.
Arus kecenderungan humanistik bahkan juga telah mengimbas sebagian para pemuka gereja. Tak kurang, Nicholas V (1447-1455), Paus humanis yang pertama, menyerahkan jabatan-jabatan kerohanian kepada para tokoh ilmuan dan sangat menghormati kepakaran dan pengetahuan mereka tanpa mengindahkan pertimbangan-pertimbangan lain. Lorenzo Valla yang notabene penganut ajaran Epicurus dan yang telah membuktikan kepalsuan dokumen anti Constantine, mencemooh prosa terjemahan resmi kitab suci Vulgate, menuduh Augustine sebagai ateis, justru diangkat sebagai ajudan khusus Paus. Pengangkatan ini jelas memberi semangat kepada humanisme dan diprioritaskannya humanisme daripada keberagamaan dengan segala iman dan keyakinannya hingga dikuasainya Roma pada tahun 1527. Aplaus untuk humanisme kendati telah membuat masyarakat utara benar-benar terpesona, kata Bertrand Russel, bisa jadi terpuji, sebab kebijakan haus perang dan gaya hidup amoral sebagian Paus memang tidak bisa dibela dari segala aspek, kecuali dari aspek politik permainan kekuasaan yang mutlak. Reformasi yang dimulai pada masa penobatan Louis X (1512-13) merupakan hasil yang alami dari kebijakan tidak agamis para Paus era Renaisans.[30]
Boleh jadi putusnya hubungan kaum humanis dengan gereja agaknya telah menempatkan mereka di bawah kekuasaan rasio, namun kenyataannya tidak demikian. Sesuai pernyataan Russel, sebagian besar kaum humanis ternyata mempertahankan mitos-mitos yang pernah diyakini masyarakat era klasik. Astrologi, khususnya di kalangan yang berpikiran bebas, sedemikian digemari sehingga lebih lebih popular ketimbang masa-masa klasik. Dampak pertama pembebasan dari kekangan gereja bukan berupa adanya masyarakat yang berpikir secara benar, melainkan terbukanya benak masyarakat untuk kembali kepada segala hal-hal yang nonsens dan absurd. Dari segi moralitas, keterlepasan dari gereja ini juga menimbulkan dampak yang sedemikian tragis. Undang-undang moral klasik akhirnya kehilangan nilanya.[31]
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas tampak bahwa gerakan humanistik merupakan manifestasi dari perlawanan dan protes para cendikiawan Italia terhadap pemerintahan diktatorial para elit gereja dan kaum feodalis. Mengenai ciri-ciri kondisi saat itu, ada beberapa poin yang bisa dicatat sebagai berikut:
1. Manusia dipandang sebagai makhluk pembuat dosa dan kekejian.
2. Kemampuan danikhtiar manusia tidak diindahkan.
3. Manusia tidak memiliki kelayakan menjalin hubungan dengan Tuhan tanpa peranta, karena itu manusia memerlukan perantara para pemuka gereja.
4. Penyalahgunaan agama telah menjadi faktor stagnasi dan kejumudan.
5. Ilmu dan akal dianggap bersebarangan dengan agama oleh para elit gereja. Ativitas di bidang keilmuan mereka anggap sebagai campurtangan syaitan di dalam urusan alam dunia dan bertolak belakang dengan pengabdian kepada Tuhan.
6. Agama dan dunia, kenikmatan ruhani dan jasmani, alam baka dan alam fana, serta alam natural dan alam supranatural, adalah dua kutub yang kontras dan sama sekali tidak memiliki titik persamaan satu dengan yang lain.
7. Sifat pemarah Tuhan ditekankan secara berlebihan, sedangkan sifat-sifat pemaaf dan pengasih Tuhan dilupakan.
8. Para penguasa gereja menekan dan mengintimidasi rakyat, serta menginvestigasi keyakinan masyarakat. Dengan kata lain, kebebasan rakyat dinistakan, baik dari aspek perbuatan maupun pemikiran.
9. Para pemuka gereja mengaku memiliki hubungan spesifik dengan dengan Tuhan. Mereka menyeru rakyat supaya berkonsentrasi kepada urusan-urusan spiritual, sedangkan mereka sendiri hanyut ke dalam sifat-sifat haus kekuasaan, tirani, dan ketidak adilan.
10. Para elit gereja tidak hanya mengaku memiliki hak dan urusan samawi, pengampusan dosa, dan penjualan tanah sorga tetapi juga menjadi pihak yang harus lobi orang-orang yang ambisius dan haus jabatan duniawi.
Dalam lingkungan sedemikian inilah Renaisans, yang merupakan hasil protes para cendikiawan humanis dan yang telah membidani dan memelihara pertumbuhan humanisme, terbentuk. Ciri-ciri Renaisans antara lain ialah sebagai berikut:
1. Renaisans bangkit bukan dari rakyat melainkan dari para tokoh serta seniman pendukung Renaisans.
2. Para elit gereja menjadi sasaran kebencian karena telah memperagakan praktik-praktik kelaliman, ketidakadilan, dan ambisius. Mereka dilawan agar tidak lagi memonopoli urusan jasmani dan ruhani.3. Keyakinan bahwa manusia tidak memerlukan perantara untuk menjalin hubungan dengan Tuhan menjadi popular.
4. Ikhtiar dan kebebasan manusia mendapat penekanan.
5. Agama menjadi sasaran protes, sedangkan kekayaan pemikiran dan seni masa-masa politeis Yunani kuno dipandang sebagai model yang tepat untuk membina dan mengembangkan potensi manusia.
6. Masyarakat diwarnai kecenderungan secara berlebihan kepada ilmu-ilmu yang memiliki akses langsung di tengah masyarakat seperti tehnik, retorika, politik, sejarah, dan dialektika. Ilmu logika dan teoritis serta ilmu mengenai metafisik dihindari.
7. Terdapat kecenderungan kepada keindahan-keindahan dan kenikmatan jasmani yang tadinya terabaikan.
8. Perhatian terkonsentrasi kepada kemampuan akal manusia yang tadinya dipandang bertolak belakang dengan agama oleh para pembesar gereja.
9. Kandungan syair banyak diperhatikan dari aspek amoralnya.
10. Tuhan dan urusan ketuhanan terabaikan karena manusia dan urusan kemanusiaan mendapat penekanan secara ekstrim.
11. Tradisi-tradisi keagamaan disorot dengan sikap skeptis dan dogma-dogma agama ditentang.
12. Pendidikan-pendidikan berbau feodalisme menjadi marak. Pengetahuan-pengetahuan profan menjadi perhatian sebagaimana perhatian yang diberikan masyarakat era klasik kepadanya, sementara hal-hal yang mengarah keapda kenikmatan hawa nafsu pada era politesme klasik justru dijadikan sebagai kriteria moralitas.
13. Kebendaan dan faktor duniawi dijadikan obyek kesenian, sementara spiritualitas dijauhkan dari sentuhan seni. Seni-seni patung dan lukis antara lain dijadikan media untuk memuja keindahan bentuk tubuh wanita dan pria.
14. Alam gaib dilupakan sementara alam fisik dijadikan sebagai satu-satunya obyek perhatian.
Dalam era Renaisans, sebagian kaum humanis mengambil sikap yang moderat dalam masalah kebebasan berpikir. Tetapi sebagian lain adalah kelompok yang sudah tidak lagi memiliki kecenderungan kepada agama. Mengenai kaum humanis beragama, kita bisa sebutkan ciri-ciri mereka sebagai berikut:
1. Mereka mengupayakan reformasi keagamaan yang antara lain dengan cara menghapus peranan para penguasa gereja sebagai perantara antara Tuhan dan manusia.
2. Mereka memandang penafsiran-penafsiran para pemuka gereja mengenai kitab suci banyak diwarnai dengan tendensi-tendensi untuk memegang kekuasaan.
3. Ajaran-ajaran era klasik mereka anggap sebagai jaran-ajaran yangs ejalan dengan fitrah sebagaimana ajaran Kristen.
4. Mereka mengajukan gagasan toleransi demi keharmonisan antar berbagai agama.
5. Menurut mereka, agama adalah agama untuk dunia fana ini.
Adapun ciri-ciri para humanis yang tak beragama ialah:
1. Mereka melepaskan agama dan memilih dunia karena agama dan dunia mereka pahami sebagai dua kategori yang kontras satu dengan yang lain.
2. Mereka menganggap kekristenan sebagai semacam mitos, dan menentang sikap rendah diri, ketakwaan, dan keterikatan batin kepada dunia akhirat.
3. Mereka menentang keabadian yang dijanjikan Tuhan. Keabadian di mata mereka ialah berupa karya-karya monumental di dunia. Nama baik, lukisan, dan patung-patung orang-orang yang berkarya besar mereka anggap sebagai manifestasi keabadian tersebut.
4. Keyakinan kepada astrologi, khurafat, dan kekuatan-kekuatan magis mereka jadikan sebagai nati keyakinan kepada alam supra natural.[islamalternatif]
Rujukan:
[11] Saer-e Takamul-e Aql-e Nouin ( Evolusi Akal Baru) oleh Herman Randall terjemahan (Persia) oleh Abol Qasim Painde jilid I halaman 37-40.
[12] Hosea, VI,6.
[13] Ibid, halaman 25
[14] Dikutip dari buku Renissance in Italy, bagian IV, bab II
[15] Sejarah Filsafat Barat, Bertrand Russell, terjemahan (Persia) oleh Daryabandari, buku ketiga halaman 18-19.
[16] Will Durant dalam buku The Story of Philosophy edisi Persia terjemahan Safdar Taqi Zadeh dan Abu Thalib Sharimi, jilid V halaman 88.
[17] Erasmus, karya James Mack Konica terjemahan bahasa Persia oleh Abdullah Katsiri, hal 72.
[18] Ibid, halaman 105.
[19] Ibid, halaman 75
[20] Ibid, halaman 115
[21] Ibid, halaman 102
[22] Ibid, halaman 40
[23] Ibid, halaman 102
[24] Ibid, halaman 113.
[25] Ibid, halaman 15
[26] Ibid, halaman 23-24
[27] The Story of Civilisation…, halaman 98
[28] Menurut paham stoicisme, ikhtiar manusia akan terwujud apabila hawa nafsu sudah dikalahkan oleh akal. Amal baik dan budi luhur merupakan perkara yang sejalan dengan akal. Para penganut paham ini menentang sikap menuruti hawa nafsu
[29] Ibid.
[30] The Story of Philosophy, Bertrand Russel, edisi Persia terjemahan Najaf Daryabandari halaman 14-15.
[31] Ibid, halaman 20-21
Dan berbagai sumber
Tinggalkan komentar