Yang lebih memalukan adalah ketika Mahkamah Agung Inggris membebaskan Salman Rusdi dari jeretan hukum pengadialan, dengan dalih bahwa penghinaan terhadap kesucian dan kehormatan nilai-nilai agama hanya berkaitan dengan Kristen, tidak mencakup Islam. Maka, kecurigaan terhadap keutuhan ilmiah pluralisme agama bukan tanpa alasan. Tindakan Mahkamah Agung Inggris itu ternyata tidak mampu menarik suara kritis perjuangan-perjuangan prularis.
——————————-
Menimbang Kejujuran Pluralisme
Oleh: Amar Fauzi Heryadi
Kendati *censored*uyama menyatakan bahwa “agama” sosialisme itu telah punah, nyatanya kapitalisme-demokrasi Barat praktis bersanding dengan sosialisme ketika menempatkan agama langit sejajar dengan shabu-shabu dan putaw bagi masyarakat, meskipun modus operandinya berbeda.
Kisah-kisah tragis fanatisme akan mudah ditemukan dalam sejarah agama. Sejak Pilatos yang Yahudi itu membidikkan telunjuknya kearah Isa Al-Masih, sambil berteriak: “Ecco homo !” (Lihatlah manusia ini!) sampai kasus getir Ambon-Maluku. Kaum agamawan dan para cendikiawan berkompetisi mengusulkan solusi-solusi teoritis, bahkan praktis, mulai dari liberalisme agama abad ke-15, Protestanisme liberal abad ke-19, hingga pluralisme agama abad ke-21. Jhon Hick, konseptor sejati isme ini, mengamati dampak religious zeal (kecemburuan agama) yang terlihat lebih dahsyat di abadnya.
Disamping liberalisme modern yang diyakini Jhon Hick sebagai ramuan mujarab untuk menuntaskan masalah fanatisme agama ini, secara moral-praktis, Hick melengkapi dalil-dalil teoritis pluralisme agama dengan mengembangkan fragmen-fragmen syair persia-nya Jalaluddin Rumi yang mengiaskan perspektivitas hakikat dengan gajah ditengah sekelompok manusia buta. Analogi ini pernah diriwayatkan oleh Abu Sulaiman dengan sanadnya yang berakhir pada Plato, filsuf Yunani abad 4 SM. Sayangnya, justru teori-teori dan metode-metode filosofis Plato sendiri tidak akan pernah bisa mendukung pesan analogi itu. Episteme, archea (apathon) atau fondasionalisme-nya.
Mungkin pandangan epistemologis Plato terhadap herata (alam materi) sedikit bisa menghibur Hick. Menurut Plato, pengetahuan sensual tentang alam itu tidak lebih dari doxa (dugaan) yang parsial dan berubah-ubah. Namun, nampaknya Hick layak kecewa lagi disaat Plato menyatakan bahwa doxa itu bisa dikatrol menjadi episteme (kebenaran mutlak) ketika manusia “berhubungan” dengan apathon (kebaikan mutlak) hingga dapat merekolaksi (mengingat kembali) ide-ide mutlak yang terlupakan.
Dalam theaetetos, Plato melandasi teori epistemologinya itu dengan pandangan filosofis hera*censored*us bahwa segala sesuatu selalu bergerak dinamis, pandangan yang juga dimanfaatkan Protagoras untuk menggagas relativisme: manusia adalah standar segala sesuatu. Bagi Protagoras, apa yang menurut anda benar, itulah kebenaran dan apa yang menurutku benar, juga kebenaran. Sampai disini, ternyata pluralisme agama berinduk pada pandangan si sophis itu dan Hick harus puas dengan relativismenya.
Selanjutnya, kendati banyak terjadi benturan antara Plato dan Protagoras, keduanya bermotif sama. Plato membangun academy untuk menyinggasanakan filsafat di ‘arsy kekuasaan. “Penguasa harus filsuf dan filsuf harus penguasa”, demikian ujarnya. Sementara itu, Protagoras bersama sophis-sophis membentuk “LSM terbang” sebagai fasilitator popularitas dan kemenangan klien-klien mereka, para elit politik. Sejatinya, relativisme mereka bukan kejujuran murni ilmiah. Pada zamannya, profesi retorika dan kemampuan eristika mereka dalam melayani interest politik tertentu membuat mereka dipandang busuk dan hina.
Bertrand Russel meloparkan betapa reinkarnasi fenomena sophestika itu telah bangkit di Amerika. Sejumlah pemikir digalang kedalam satu jajaran intelektual yang signifikan. Mereka aktif melakukan pambenaran atas kebijakan-kebijakan pemerintah disana. Demikian juga Michael Foucoult. Ia mengeluhkan prilaku elit-elit bule yang mempolitisir fisika. Sementara itu, Michael Howard, sejarawan modern dari universitas Oxford, membeberka bahwa selama kurang lebih 200 tahun, dunia barat dan (khususnya) Amerika berusaha mengabadikan isu dan doktrin masa Aufklaruung (pencerahan). Sebagaimana kita ketahui, liberalisme politik menempati deretan puncak isu-isu dan doktrin masa Aufklaruung tersebut yang ditengarai ahli ahli sejarah filsafat agama sebagai embrio pluralisme agama.
Berdasarkan studi komparatif Peter Donovan, kedua isu tersebut menyimpan kesamaan. Liberalisme politik dan pluralisme menyelundupkan pesan toleransi sekaligus penolakan terhadap agama. Jurgen Multman bahkan menyebut bahwa toleransi itu tidak lebih sebagai pemberangusan. Ia menyetarakan pluralisme agama dengan konsumerisme masyarakat barat, satu gaya hidup pemujaan produk, sebagai berkah proyek admass dan imajinatisasi Amerika. Plularisme adalah sebuah fenomena ambisi ekonomi dan sosial. Maka naif sekali jika Huntington menyanjung negaranya sebagai kampiun kebebasan, demokrasi, dan pluralisme, karena umumnya Barat benar-benar tidak jujur.
Kenyataan membuktikan, kebijakan-kebijakan politik luar negri Amerika terhadap beberapa negara muslim lebih dari sekedar permusuhan. Selama lebih dari dua puluh tahun usia revolusi, Iran telah menanggung berbagai embargo politik dan ekonomi yang dipaksakan. Motif dari kebijakan Amerika itu adalah masalah keyakinan agama. Karenanya tidaklah aneh jika menteri pertahanan kabinet Clinton Wiliam Cohen pernah menyatakan bahwa, “Masalah kami dengan Iran hanya karena Wilayatul Faqih” (Harian Umum Kayhan, 22 April 2001). Wilayatul Faqih adalah sebuah doktrin yang penting dan serius dalam teologi, fiqih, dan -lebih dari itu-pemerintahan serta struktur sosial masyarakat Syiah.
Di belahan benua Eropa, Turki harus menahan sabar dengan penangguhan Uni Eropa. Motif penangguhan itu, selain karena veto dari Yunani yang sedang bersengketa, juga karena mayoritas penduduk Turki yang muslim. Belum lagi kasus-kasus pengharaman jilbab di sejumlah sekolah segeri di Prancis, negara yang mencekal beberapa buku Islam dan mendeportasi rohaniawannya.
Yang lebih memalukan adalah ketika Mahkamah Agung Inggris membebaskan Salman Rusdi dari jeretan hukum pengadialan, dengan dalih bahwa penghinaan terhadap kesucian dan kehormatan nilai-nilai agama hanya berkaitan dengan Kristen, tidak mencakup Islam. Maka, kecurigaan terhadap keutuhan ilmiah pluralisme agama bukan tanpa alasan. Tindakan Mahkamah Agung Inggris itu ternyata tidak mampu menarik suara kritis perjuangan-perjuangan prularis. Hick, sang komandan, hanya merasa cukup dengan menulis dan berteori Birmingham. Pkuralisme dan reformasi teologi kristiani Hick, tutur Lagenhosen, tidak steril dengan aktifitas politiknya yang liberal. Kentalnya sisi politik dari pemikiran Hick ini bisa dilihat pada sebuah karyanya “On Grading Religion in Problems of Religious Pluralism”. Di sana ia mempertanyakan, “Bisakah perilaku sadis pembantaian masal ditengah disintegrasi India atau hukum potong tangan dalam Islam sebanding dengan penganiayaan berabad-abad–khususnya di abad ini-kaum kristen terhadap bangsa Yahudi?” Hick sampai merasa perlu menuliskan kata-kata “khususnya di abad ini”. Ini jelas merupakan hiburan bagi zionisme Israel; pembabtisan fiksi pogrom (gerakan anti Yahudi) perang dunia kedua didalam koridor diskusi-diskusi keagamaan; atau bahkan justifikasi atas keserakahan zionesme di tanah-tanah Kristen (dan Muslim) Palestina.
Sekali lagi, tidak ada komentar terhadap pengadilan konspiratif Roger Garaudy di Prancis dan rekan-rekannya di Jerman dan Austria hanya karena membongkar fakta sejarah dibaik genocide (pembasmian etnis). Ternyata, “Cujus regio, ejus relegio”. Kekuasaan seseorang adalah agama bagi dirinya. Noam Chomski menguraikan, meski teologi sekarang tidak lagi serumit dahulu, ada kemiripan rupa dan subjek di antara ketuhanan modernkan klasik, sehingga pemujaan kepada negara telah menjadi agama bumi. Sementara itu, kaum intelektual, layaknya pastur-pastur kepada gereja, aktif sebagai pengabdi “agama kekuasaan” itu.
C.H. Harris mengidentifikasi agama berikut pengabdinya itu lewat judul bukunya tahun 1998 ” Karl Marx; Socialism as Secular Theology”. Pada tahun yang sama, Imam Khomeini dalam suratnya kepada Gorbachev (yang marxis) mengatakan: ” Krisis serius Anda hanya ketidakpercayaan yang sesungguhnya kepada Tuhan, krisis yang telah dan akan menyeret Barat ke arah dekadensi dan kebuntuan”.
Kendati *censored*uyama menyatakan bahwa “agama” sosialisme itu telah punah, nyatanya kapitalisme-demokrasi Barat praktis bersanding dengan sosialisme ketika menempatkan agama langit sejajar dengan shabu-shabu dan putaw bagi masyarakat, meskipun modus operandinya berbeda. Dan Hick, jika ia tidak berkeberatan mencatat sosialisme sebagai agma dan sebuah pintu sorga, tentu akan lebih tangkas lagi mengkategorikan kapitalisme Barat ke dalamnya. Hanya masalahnya, mungkinkah ia melakukan pengkategorian ini sementara ia penganut Protestan Presbiterian? Atau ia tetap menjadi seorang pluralis tanpa perlu cemas pada penilaian Lagenhausen di atas?
Ada baiknya kita menyimak petuah Pascal, “Ingatlah kondisi paling buruk, di sana akan Anda temukan yang terbaik”. Jadi, jangan terialu percaya pada orang-orang yang meneriakkan keadilan dan kebabasan. Sasaran dan penantian mereka mungkin lebih dari sekedar itu.[islamalternatif]
Tinggalkan komentar